Liputan6.com, Jakarta - Gerakan Pakai Masker (GPM) melakukan kegiatan Penyuluhan untuk Penyuluh (PuP) kepada para pedagang pasar di 277 pasar kawasan Jabodetabek. Ini adalah kegiatan awal sebelum nantinya diperluas ke 9.200 pasar tradisional di seluruh Indonesia.
PuP sendiri dilakukan secara daring, selain masih dalam masa transisi PSBB, juga agar bisa menjangkau partisipan lebih banyak.
Baca Juga
Ketua Gerakan Pakai Masker (GPM) Sigit Pramono menjelaskan, dipilihnya pasar tradisional sebagai tempat penyuluhan karena intensitas keramaiannya yang tinggi. Selain itu, baru-baru ini juga banyak ditemukan kasus baru Covid-19 di area pasar.
Advertisement
"Kita sengaja mulai dengan pasar tradisional karena kita tahu bahwa pasar tradisional ini adalah urat nadi dari perekonomian kita, apalagi dalam beberapa minggu terakhir ini banyak kasus-kasus baru yang menyebabkan pasar harus ditutup, sehingga gerakan kita mulai di pasar tradisional," ujar Sigit dalam Penyuluhan Pakai Masker secara daring, Rabu (24/6/2020).
Adapun beberapa pasar yang sempat ditutup sementara akibat kasus Covid-19 diantaranya; Pasar Lontar, Gondangdia, Petojo Enclek, Serdang, Rawasari, Tomang Barat, Slipi, Cijantung Ciracas, Palmeriam, Perumnas Klender, Pesanggrahan, Kebayoran Lama, Pondok Labu, Warung Buncit, Pasar Minggu, Lenteng Agung, Kelapa Gading, dan Kramat Jati.
"Kita fokus kepada gerakan pakai masker karena kami meyakini kalau kita disiplin pakai masker saja, kita akan bisa menyelamatkan negeri ini, ekonomi kita juga akan selamat, yang penting adalah disiplin pakai masker," ujar Sigit.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Achmad Yurianto: Pakai Masker Itu Harusnya Bukan karena Takut Didenda
Sebelumnya, Juru bicara (jubir) Pemerintah pada Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto menyampaikan sakit itu merupakan pilihan, tetapi untuk sehat menjadi kewajiban terhadap masyarakat yang masih belum mematuhi protokol kesehatan pencegahan Covid-19.
"Harus diyakini sakit itu pilihan, karena yang wajib itu sehat," kata Achmad Yurianto saat berbincang di Gedung Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta, Kamis (18/6/2020).
Menurut dia, karena jika ada yang memilih tidak mengikuti protokol kesehatan pencegahan Covid-19 dan ternyata menjadi sakit itu menjadi wajar karena tidak patuh. Tertular virus corona tipe baru bukan takdir, tapi karena ada orang yang memilih cara hidup yang kemudian menyebabkan dia sakit.
"Dia milih enggak pakai masker, dia memilih enggak cuci tangan, dia memilih enggak jaga jarak. Karena seharusnya kita wajib pakai masker, wajib jaga jarak, wajib cuci tangan, karena kita menyadari kita wajib sehat," kata dokter yang akrab disapa Yuri itu.
Masyarakat, menurut dia, perlu menyadari jika tidak sehat maka hidup mereka menjadi tidak produktif. Dan bagi kepala keluarga tentu artinya tidak bisa menafkahi keluarganya yang seharusnya memang itu merupakan kewajiban.
"Oleh karena itu, mari kita pahami betul ini masalah bersama. Hanya kita yang bisa menyelesaikan masalah ini. Tidak sulit, patuhi protokol kesehatan," ujar Yuri seperti dikutip Antara.
Ia mengatakan tidak bisa berandai-andai kapan pandemi Covid-19 bisa mereda di Indonesia, karena tidak bisa pula berharap semua rakyat Indonesia langsung patuh.
Menurut Yuri, pembelajaran dari  pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) bisa didapat, di mata masyarakat upaya itu masih dianggap sebagai alatnya pemerintah untuk mengendalikan masyarakat. Yang terjadi ketika tidak ada yang mengawasi, masyarakat justru sembunyi-sembunyi melanggar.
"Yang kita inginkan sekarang, PSBB atau protokol kesehatan itu adalah alatnya masyarakat, orang per orang agar tidak sakit. Jadi saya pakai masker bukan karena takut didenda, pakai masker karena takut diawasi Pamong Praja, pakai masker itu memang karena kita butuh supaya tidak ketularan," kata Yuri.
Advertisement
Perubahan Butuh Waktu
Tidak pula orang berjauhan karena merasa takut didenda, bukan karena takut diawasi aparat, tetapi ia mengatakan karena memang menyadari tidak ingin tertular SARS-CoV-2 penyebab penyakit Covid-19.
Yuri yang juga merupakan Direktur Jenderal Pecegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan mengatakan Indonesia pernah punya pengalaman perubahan budaya pada waktu belajar antre.
"Mungkin kalau dulu saya mulai antre duluan kawan saya bilang ngapain antre nanti enggak kebagian. Kan gitu. Tapi sekarang coba ada satu orang enggak antre pasti semua kan marah. Jadi memang perlu waktu berubah," dia memungkasi.
 Â