Liputan6.com, Jakarta Industri minyak dan gas bumi (migas) yang lesu akibat pandemi Covid-19 membuat kinerja perusahaan migas menurun bahkan mengalami kerugian. Hal ini tidak hanya dialami PT Pertamina (Persero), melainkan juga perusahaan lainnya.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, pandemi Covid-19 membawa dampak pada penurunan konsumsi minyak. Ini disebabkan sebagian kegiatan berhenti untuk memutus penularan Covid-19. Hal ini berujung pada menurunya kinerja industri migas.
Baca Juga
"Pandemi Covid-19 ini bisa dikatakan kondisi force majeure dimana tidak ada satupun pihak yang siap akibat dampak dari Covid-19 ini," kata Mamit, di Jakarta, (26/8/2020).
Advertisement
Mamit mengungkapkan, banyak perusahaan migas pun mengalami kerugian akibat pandemi Covid-19. Namun, meski dalam laporan keuangan Pertamina semester 1 2020 mengalami kerugian sebesar USD 767.2 juta atau setara dengan Rp 11.33 triliun, masih jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan perusahaan migas dunia yang lain.
Dia menyebutkan, Exxon Mobil, dalam laporan yang diterbitkan tanggal 31 July 2020 menyampaikan kerugian USD 1,1 miliar selama semester 1 2020 karena pasokan minyak dunia menurun karena pandemi COVID-19.
"Akibat kerugian ini, Exxon nilai saham terdilusi sebesar USD 0,26 per lembarnya," tuturnya.
Hal yang sama juga terjadi pada perusahaan minyak asal Inggis yaitu BP. Berdasarkan laporan keuangan yang perusahaan minyak asal Inggris ini, sepanjang semester 1 2020 harus mengalami kerugian sebesar USD 6,7 miliar. Berbanding terbalik dengan periode tahun lalu dimana BP mendapatkan keuntungan sebesar USD 2,8 miliar.
Chevron, perusahaan migas yang berbasis di Amerika Serikat dalam laporan keuangannya di semester 1 2020 mengalami kerugian sebesar USD 8,3 miliar, dengan saham yang terdilusi sebesar USD 4,44 per lembarnya.
"Penyebab meruginya BP dan Chevron adalah lemahnya harga minyak dan gas dunia," tuturnya.
Â
** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020
Tekanan Pertamina
Menurut Mamit, Pertamina dengan kondisi saat ini mengalami tekanan yang luar biasa. Ada beberapa point yang menyebabkan beban keuangan Pertamina bertambah.
Pertama, turunnya pendapatan dan penjualan yang mencapai 20 persen. Penurunan ini, mengkoreksi pendapatan Pertamina dari USD 25,5 miliar pada semester satu 2019 hanya menjadi USD 20,4 miliar.
Kondisi ini diperburuk oleh harga minyak dunia mengalami penurunan yang drastis, sehingga Harga minyak Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) juga terkoreksi sangat dalam menyebabkan pendapatan dari domestik migas hulu terjun 21 persen menjadi USD 16,5 miliar dari USD 20,9 miliat pada 2019.
Kedua, pergerakan mata uang rupiah yang terdepresiasi cukup dalam sepanjang semester 1 satu membuat Pertamina merugi selisih kurs sebesar USD 211,8 juta atau minus 428 persen jika dibandingkan periode 2019 dimana membukukan keuntungan sebesar USD 64,5 juta.
Ketiga, penjualan sektor hilir yang terpukul sampai 13 persen dari periode sebelumnya. Saat ini secara nasional konsumsi BBM hanya mencapai 117 ribu KL jauh lebih rendah dibandingkan 2019 dimana konsumsi BBM sebesar 135 ribu KL.
Advertisement