Liputan6.com, Jakarta - Dalam draf Revisi Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, termuat rencana pengembalian fungsi pengawasan perbankan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ke Bank Indonesia (BI). Kewenangan OJK ini dipangkas lewat pasal 34 dalam revisi UU BI.
Guru Besar Ilmu Ekonomi UNDIP, FX Sugiyanto menilai rencana tersebut dipicu beberapa kasus asuransi dan perbankan yang terjadi beberapa waktu yang lalu. Sebut saja kasus Asuransi Jiwasraya, dan ASABRI.
"Kejadian belakangan ini menjadi indikasi-indikasi sikap OJK yang kurang tegas itu jadi pemicu pasal ini muncul," kata Sugiyanto dalam diskusi Revisi UU BI & Perppu Reformasi Keuangan: Mau Dibawa Kemana Independensi Bank Sentral?, Jakarta, Kamis (1/10/2020).
Advertisement
Selama 10 tahun terakhir kata Sugiyanto, suka tidak suka menggambarkan independensi OJK sebagai lembaga pengawasan. Seharusnya kewenangan tersebut bukan ditarik kembali, melainkan OJK diberikan penguatan yang lebih dari yang ada saat ini.
Agar OJK memiliki kemampuan dalam mengawasi perbankan dan industri jasa keuangan. Dia menyebut, mungkin OJK terlihat tidak independen lantaran selama ini masih dibiayai lembaga keuangan yang lain.
"Kita bisa mengatakan ini tidak independen, apakah ini karena sumber pendanaan karena iuran dari lembaga keuangan yang ada," kata dia.
Menurutanya siapapun yang berwenang melakukan pengawasan harus diberikan penguatan. "Pada akhirnya nanti kewenangan pengawasan perbankan ke BI atau tetap di OJK, upaya kewenangannya bisa diperbaiki dari yang sekarang ," kata dia.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Saksikan video pilihan berikut ini:
Faisal Basri: Pengawasan Perbankan Kembali ke BI Bukan Solusi Jitu
Sebelumnya, Ekonom Senior Faisal Basri menyoroti isu pengalihan fungsi pengawasan perbankan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kepada Bank Indonesia (BI).
Rencana tersebut berasal dari bahan rapat Badan Legislasi (Baleg) mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Faisal menilai, kebijakan tersebut tidak tepat lantaran OJK dan bank sentral memiliki perannya masing-masing. Sebagai informasi, pengawasan perbankan telah beralih dari BI ke OJK pada 31 Desember 2013.
"Terkait Rancangan Undang-Undang BI yang baru, perbankan akan dikembalikan ke BI. Juga bukan solusi yang jitu itu," ujar dia seperti dikutip dari diskusi online, Kamis (10/9/2020).
Menurut dia, upaya pemindahan tugas tersebut seakan mubazir. Sebab Dewan Komisioner OJK merupakan eks oficio yang beberapa diantaranya juga berasal dari Bank Indonesia.
"Nah, kan orang-orangnya itu-itu juga. Ketua OJK bekas orang BI juga. Ada namanya eks oficio dari BI dan dari pemerintah," kata Faisal.
"Jadi OJK ada unsur BI ada unsur pemerintahnya juga kok. Jadi kalaupun pindah itu cuma pindah atap tapi orangnya sama-sama juga," ujar dia.
Dia pun mengimbau pemerintah saat ini fokus saja pada penanganan wabah pandemi Covid-19, terutama di bidang kesehatan yang dianggapnya jadi kunci utama pemulihan ekonomi nasional.
"Sudah BI fokus di makro, di moneternya dan di makro banking prudensial," tegas Faisal.
Advertisement