Pemerintah Klaim Banyak Perizinan Dipangkas dalam UU Cipta Kerja

Pemerintah menyebut Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja secara keseluruhan didominasi terkait dengan masalah perizinan.

oleh Liputan6.com diperbarui 06 Okt 2020, 18:15 WIB
Diterbitkan 06 Okt 2020, 18:15 WIB
FOTO: Sejumlah Menteri Kabinet Indonesia Maju Hadiri Paripurna Pengesahan UU Ciptaker
Sejumlah menteri kabinet Indonesia Maju foto bersama Pimpinan DPR usai pengesahan UU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta (5/10/2020). Rapat tersebut membahas berbagai agenda, salah satunya mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Febrio Nathan Kacaribu menyebut Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja secara keseluruhan didominasi terkait dengan masalah perizinan.

Dengan disahkannya Undang-Undang ini pun pemerintah telah memangkas seluruh perizinan untuk membangun usaha.

"Nah itu sebenernya yang mendominasi Omnibus Law Cipta Kerja ini. Di mana kita menyederhanakan proses untuk membangun usaha. Untuk memulai start up," kata dia dalam diskusi FMB di Jakarta, Selasa (6/10/2020).

Pemerintah tak ingin, generasi milenial yang memiliki ide, menghasilkan produk dan membuat perusahaan rintisan atau start up, dan membuka lapangan kerja baru bagi orang lain, tetapi sulit untuk mengurusi izin.

"Ini problem pertama dari Omnibus Law Cipta Kerja ini. Bahwa memang karut marut perizinan yang harus diluruskan, benerin," kata dia.

Kemudian di dalam UU Cipta Kerja juga memuat mengenai masalah pajak. Menurutnya masalah pajak masoh menjadi sorotan dan paling jelek di mata EODB. Itu tidak terlepas dari sulitnya birokrasi yang dilakukan pemerintah.

"Orang mau bayar pajak kok masih merasa sulit. Itu kan aneh persepsinya. Kita pengennya orang-orang bayar pajak sesimpel mungkin, sepreditable mungkin. Inilah kemudian dibuat semakin banyak kepastian dalam konteks ini, yang juga di Omnibus Law ini," jelas dia.

Dwi Aditya Putra

Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

UU Cipta Kerja Dinilai Produk Demokrasi Kapitalisme

FOTO: Diwarnai Aksi Walk Out, DPR Sahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja Jadi Undang-Undang
Suasana Rapat Paripurna pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/10/2020). Fraksi Partai Demokrat dan PKS menolak pengesahan, sementara tujuh fraksi lainnya menyetujui RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Konfederasi Serikat Pekerja (KSP) BUMN mencibir terbentuknya Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja yang telah disahkan menjadi Undang-Undang (UU) oleh DPR RI pada Senin, 5 Oktober 2020 kemarin.

Sekretaris Jenderal KSP BUMN Achmad Yunus menyatakan, ada beberapa pasal di RUU Cipta Kerja yang dinilai memberatkan para buruh dan pekerja. Ketidakjelasan ini semakin menguat lantaran kelompok serikat pekerja yang dibawahinya saat ini belum mendapatkan lampiran sah aturan baru tersebut.

"Cluster ketenagakerjaan memberikan ketidakpastian hukum, banyak catatan dan saya tidak hapal betul pasal-pasalnya, karena sedang tidak pegang dokumennya," ujar Yunus kepada Liputan6.com, Senin (6/10/2020).

Secara garis besar, KSP BUMN disebutnya sepakat dengan kelompok buruh/pekerja lainnya, bahwa UU Cipta Kerja bakal melemahkan posisi tenaga kerja, dan justru memperkuat perusahaan pemberi kerja.

"Intinya, kami sependapat dengan organisasi yamg lain bahwa disahkannya RUU ini menjadi UU mengkonfirmasi bahwa demokrasi kita dibangun dari, untuk dan oleh kapitalisme," tegasnya.

Namun secara sikap, Yunus mengatakan, KSP BUMN memilih untuk tidak ikut melakukan aksi mogok kerja nasional sebagai bentuk protes terhadap pengesahan UU Cipta Kerja.

"Cuman khusus pekerja BUMN kita tidak boleh ikut mogok seperti yang lain. Kekecewaan dan penolakan itu telah terwakili," ungkap Yunus.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya