Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memutuskan memperpanjang kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit yang tertuang dalam POJK No.11/POJK.03/2020 selama setahun. Kebijakan yang sebelumnya bakal berakhir Maret 2021 itu akan berlanjut hingga Maret 2022.
Keputusan ini dinilai dapat membuat pelaku usaha bernapas lega, lantaran dampak pandemi Covid-19 masih belum mereda. Kondisi ekonomi juga masih dilanda ketidakpastian, meskipun menunjukkan tren perbaikan sejak kuartal II 2020 yang dinilai merupakan level terendah dalam perekonomian.
"Meskipun menunjukkan tren perbaikan, kondisi sisi permintaan dari perekonomian masih menunjukkan yang belum kuat terindikasi dari rendahnya inflasi dan penurunan impor serta lemahnya permintaan kredit perbankan," ujar Ekonom Bank Permata Josua Pardede kepada Liputan6.com, Senin (26/10/2020).
Advertisement
Lanjut Josua, fungsi intermediasi dari sektor keuangan masih lemah akibat pertumbuhan kredit yang terbatas sejalan permintaan domestik yang belum kuat dan kehati-hatian perbankan akibat berlanjutnya pandemi Covid-19.
Tercatat, pertumbuhan kredit pada September 2020 kembali menurun dari 1,04 persen yoy pada Agustus 2020 menjadi 0,12 persen yoy. Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) naik dari 11,64 persen yoy pada Agustus 2020 menjadi 12,88 persen yoy didorong ekspansi keuangan Pemerintah.
Di tengah tren perlambatan kredit perbankan, rasio NPL per September tercatat di level 3,15 persen. "Oleh sebab itu, dikaitkan dengan keputusan OJK untuk memperpanjang periode relaksasi restrukturisasi kredit, maka dapat memitigasi risiko kenaikan rasio NPL secara khusus setelah Maret 2021," katanya.
Pengelolaan risiko kredit yakni upaya untuk menekan rasio NPL tetap rendah dinilai akan dapat menekan peningkatan ATMR sedemikian sehingga kondisi permodalan perbankan yang terindikasi melalui CAR diperkirakan akan tetap terjaga di level yang tinggi (CAR perbankan per Agustus tercatat di level 23,39 persen).
Dengan demikian, dengan adanya perpanjangan relaksasi restrukturisasi kredit yang didukung oleh tren penurunan suku bunga perbankan mengikuti penurunan suku bunga acuan BI serta kebijakan quantitative easing yang mendukung ketersediaan likuiditas di sektor perbankan, maka kondisi stabilitas sistem perbankan diperkirakan akan tetap kuat serta mendukung peningkatan fungsi intermediasi perbankan.
"Kedepannya, fungsi intermediasi perbankan diperkirakan akan semakin membaik sejalan prospek perbaikan kinerja korporasi dan pemulihan ekonomi domestik serta konsistensi sinergi kebijakan baik dari fiskal, moneter dan kebijakan sektor keuangan lainnya," ujarnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
OJK Perpanjang Relaksasi Restrukturisasi Kredit Setahun
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperpanjang relaksasi restrukturisasi kredit selama 1 tahun. Hal ini setelah memperhatikan asesmen terakhir OJK terkait debitur restrukturisasi sejak diputuskannya rencana memperpanjang relaksasi ini saat Rapat Dewan Komisioner OJK pada 23 September 2020.
"Perpanjangan restrukturisasi ini sebagai langkah antisipasi untuk menyangga terjadinya penurunan kualitas debitur restrukturisasi," kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam keterangan resminya, Jumat (23/10/2020).
Namun, lanjut dia, kebijakan perpanjangan restrukturisasi diberikan secara selektif berdasarkan asesmen bank untuk menghindari moral hazard agar debitur tetap mau dan mampu melakukan kegiatan ekonomi dengan beradaptasi ditengah masa pandemi ini
OJKÂ segera memfinalisasi kebijakan perpanjangan restrukturisasi ini dalam bentuk Peraturan OJK (POJK), termasuk memperpanjang beberapa stimulus lanjutan terkait.
Antara lain pengecualian perhitungan aset berkualitas rendah (loan at risk) dalam penilaian tingkat kesehatan bank, governance persetujuan kredit restrukturisasi, penyesuaian pemenuhan capital conservation buffer dan penilaian kualitas Agunan yang Diambil Alih (AYDA), serta penundaan implementasi Basel III.
Realisasi restrukturisasi kredit sektor perbankan per 28 September 2020 sebesar Rp904,3 Triliun untuk 7,5 juta debitur. Sementara non-performing loan (NPL) di bulan September 2020 sebesar 3,15 persen, menurun dari bulan sebelumnya sebesar 3,22 persen.
Wimboh melanjutkan, untuk menjaga prinsip kehati-hatian, bank juga telah membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) yang dalam 6 bulan terakhir menunjukkan kenaikan.
"OJK senantiasa mencermati dinamika dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga kestabilan di sektor jasa keuangan guna mendukung pemulihan ekonomi nasional," ujar Wimboh.
Advertisement
Stimulus
Sebelumnya pada 13 Maret lalu, OJK telah mengeluarkan POJK Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease. Peraturan tersebut berlaku sampai 31 Maret 2021.
POJK ini diharapkan menjadi countercyclical dampak penyebaran virus corona (Covid-19), sehingga bisa mendorong optimalisasi kinerja perbankan khususnya fungsi intermediasi, menjaga stabilitas sistem keuangan, dan mendukung pertumbuhan ekonomi.
Pemberian stimulus ditujukan kepada debitur pada sektor-sektor yang terdampak penyebaran virus Covid-19, termasuk dalam hal ini debitur UMKM dan diterapkan dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian yang disertai adanya mekanisme pemantauan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan dalam penerapan ketentuan.
Kebijakan stimulus dimaksud terdiri dari:1. Penilaian kualitas kredit/pembiayaan/penyediaan dana lain hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga untuk kredit s.d Rp10 miliar; dan2. Restrukturisasi dengan peningkatan kualitas kredit/pembiayaan menjadi lancar setelah direstrukturisasi. Ketentuan restrukturisasi ini dapat diterapkan Bank tanpa batasan plafon kredit. Â