Tembus Rp 6.000 Triliun, DPR: Rasio Utang Terhadap PDB Harus Dikaji Ulang

Persoalan utang Pemerintah Indonesia mencapai Rp 6.000 triliun diperlukan kajian lebih dalam mengenai rasio utang terhadap PDB

oleh Tira Santia diperbarui 24 Jun 2021, 13:30 WIB
Diterbitkan 24 Jun 2021, 13:30 WIB
FOTO: Uang Beredar pada November 2020 Capai Rp 6.817,5 Triliun
Tumpukan uang terlihat di Cash Pooling Bank Mandiri, Jakarta, Rabu (20/1/2021). BI mencatat likuiditas perekonomian atau uang beredar dalam arti luas (M2) tetap tinggi pada November 2020 dengan didukung komponen uang beredar dalam arti sempit (M1) dan uang kuasi. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Komisi XI DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) Anis Byarwati, mengatakan persoalan utang Pemerintah Indonesia mencapai Rp 6.000 triliun diperlukan kajian lebih dalam mengenai rasio utang terhadap PDB agar Indonesia tidak semakin terjebak dalam utang.

“Kita perlu mengkaji lebih dalam, bahwa rasio utang terhadap PDB harus benar-benar mencerminkan kondisi riil. Selama ini perhitungan tersebut hanya utang pemerintah pusat terhadap PDB, sedangkan utang  BUMN itu tidak dimasukan. Praktek di negara-negara lain utang BUMN termasuk dalam kalkulasi rasio tersebut,” kata Anis kepada Liputan6.com, Kamis (24/6/2021).

Menurutnya, persoalan utama utang di Indonesia ini lebih kepada bagaimana agar penerimaan negara ini lebih dipacu dibanding utangnya. Namun yang terjadi saat ini, utang tumbuh lebih tinggi dibandingkan terhadap penerimaan negara maupun  dengan pertumbuhan ekonomi, sehingga Indonesia semakin terjebak dalam utang.

Disamping itu, Anis menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan utang Pemerintah Indonesia semakin besar, diantaranya dilihat dari porsi utang dalam valas memang menurun menjadi 33 persen dari total utang pemerintah.

“Akan tetapi nilai rupiah yang cenderung terdepresiasi menyebabkan utang kita semakin riskan baik dalam hal cicilan pokok maupun bunganya,” ujarnya.

Sejalan dengan itu perlu diklarifikasi, apakah perhitungan rasio utang pemerintah Indonesia terhadap PDB sudah apple to apple, yaitu membandingkan perhitungan di negara lain.

“Tidak masuknya utang BUMN menyebabkan rasio utang di Indonesia menjadi cukup rendah,” imbuhnya.

Kemudian, rasio utang terhadap ekspor yang sudah mencapai 209 persen, menyebabkan rasio utang ini semakin mengkhawatirkan. Karena ekspor Indonesia menghadapi tantangan penolakan dari negara-negara lain karena alasan lingkungan.

“Ekspor yang ditolak di negara lain itu seperti CPO dan Batubara,” pungkasnya.   

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Ekonom: Utang Pemerintah Sentuh Rp 6.000 T, Sudah Level Membahayakan

banner infografis utang pemerintah
Utang Pemerintah (Liputan6.com/Triyasni)

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat posisi utang pemerintah hingga April 2021 berada di posisi Rp 6.527,29 triliun. Posisi utang ini setara dengan 41,18 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Ekonom sekaligus Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira mengatakan kondisi utang pemerintah Indonesia sudah masuk level membahayakan.

“Kondisi utang Pemerintah Indonesia ini sudah dalam level membahayakan atau mengkhawatirkan dilihat dari beberapa indikator,” kata Bhima kepada Liputan6.com, Kamis (24/6/2021).

Hal itu terlihat dari debt to service ratio (DSR) atau kemampuan membayar utang Pemerintah dibanding penerimaan negara sudah di atas 50 persen pada 2020. Maka mengakibatkan Pemerintah harus membayar bunga utang yang lebih mahal untuk mendapatkan bunga pinjaman yang baru.

“Kenapa begitu? karena kalau kita melihat tren dari beban bunga utang yang harus dibayarkan itu jika dibandingkan dengan penerimaan pajak 2021 saja sudah mencapai 25 persen atau 19 persen dari penerimaan negara total ada pajak dan PNBP,” jelasnya.

Untuk penerimaan pajak saja, kata Bhima, seperempat dari penerimaan pajak sudah habis untuk membayar bunga utang sebesar Rp 373 triliun per tahun. Sehingga akan menjadi beban bukan hanya pada APBN tahun berjalan tapi sudah menjadi beban perekonomian dalam jangka panjang.

Bahkan Pemerintah menerbitkan surat utang yang tenornya jatuh tempo pada 2070, artinya sepanjang 50 tahun ke depan Indonesia masih akan terus melanjutkan pembayaran utang untuk menutup utang yang sedang jatuh tempo, kata Bhima.

Bhima menjelaskan, ternyata utang tersebut belanja paling besarnya bukan untuk belanja kesehatan, melainkan untuk belanja yang sifatnya birokratis seperti belanja pegawai dan belanja barang.

“Itu menjadi pemborosan tidak efektif ditambah program-program Work From Bali yang dilakukan oleh Kemenko Marves untuk mendorong pariwisata tapi programnya justru malah blunder. Selain menambah penularan covid-19 yang berikutnya lagi utang digunakan untuk perjalanan dinas untuk waktu yang tidak tepat, padahal bisa Work From Home,” ungkapnya.

Utang Tembus Rp 6.000 Triliun, BPK Khawatir Pemerintah Tak Bisa Bayar

BPK
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Agung Firman Sampurna di Kantor Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan. (Merdeka.com)

Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merilis Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020. Dalam ringkasan eksekutif yang dirilis, BPK mengkhawatirkan utang pemerintah Indonesia yang sudah mencapai lebih dari Rp 6.000 triliun.

Tercatat, jumlah utang yang gigantik ini melebihi rekomendasi rasio utang dari International Debt Relief (IDR) dan International Moneter Fund (IMF).

Dalam penjelasan hasil revisi atas kesinambungan fiskal, BPK mengatakan pandemi Covid-19 meningkatkan defisit, utang dan SILPA yang berdampak pada peningkatan risiko pengelolaan fiskal.

"Tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga melampaui pertumbuhan PDB dan penerimaan negara yang memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang," jelas BPK, dikutip Liputan6.com, Rabu (23/6/2021).

Secara rinci, BPK menyebutkan rasio utang Indonesia melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan atau IDR, yaitu rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen, melampaui rekomendasi IMF sebesar 25 hingga 35 persen.

Kemudian, rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen, melebih rekomendasi IDR 4,6 hingga 6,8 persen dan rekomendasi IMF 7 hingga 10 persen.

"Rasio utang terhadap penerimaan tercatat sebesar 369 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 92 hingga 167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90 hingga 150 persen," tulis BPK.

Adapun saat ini, utang pemerintah tercatat mencapai Rp 6.527,29 triliun atau sekitar 41,18 persen terhadap PDB. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya