Liputan6.com, Jakarta Kepala Center of Food, Energy and Sustainable Development Indef Abra Talattov mengatakan, total utang pemerintah telah mencapai Rp6.417 triliun di 2021. Dibandingkan dengan dia tahun lalu, utang ini meroket 40,4 persen yang sebesar Rp4.571 triliun.
"Total utang pemerintah telah mencapai Rp6.417 triliun, meroket 40,4 persen dibandingkan dua tahun lalu sebesar Rp4.571 triliun," ujar Abra, Jakarta, Senin (28/6/2021).
Baca Juga
Sementara itu, rasio utang pemerintah terus menanjak dalam 11 tahun terakhir. Peningkatan terjadi dari 24,4 persen pada 2010 menjadi 41,1 persen pada 2021.
Advertisement
"Rasio utang pemerintah berpotensi melesat naik mengingat kebutuhan belanja negara terutama Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang masih tinggi di tengah penerimaan negara yang seret," kata Abra.
Di masa pandemi, pelebaran defisit terus meningkat di atas 3 persen. Pemberian toleransi defisit di atas 3 persen agar negara bisa melewati resesi dan pemulihan ekonomi dengan harapan ekonomi bisa normal kembali.
Pelebaran defisit juga diharapkan tak hanya menambah beban tapi diikuti pemulihan yang bisa mendongkrak ekonomi di masa mendatang.
"Sehingga masyarakat tak menjadi tumbal pembayaran defisit. Pemerintah jangan salah menangkap pelebaran defisit diatas 3 persen. Pelebaran itu harus digunakan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat," tandasnya.
Anggun P. Situmorang
Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Utang Pemerintah Membengkak, Banggar: Tak Perlu Panik
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, MH Said Abdullah mengatakan meningkatnya utang pemerintah tidak perlu direspon secara berlebihan apalagi panik.
Pasalnya, angka utang ini masih dalam posisi aman, jauh dari batas atas yang digariskan oleh Undang-Undang (UU) No 17 tahun 2003 yaitu sebesar 60 persen Produk Domestik Bruto (PDB).
“Saya kira pemerintah dimanapun tidak akan mau terbelit utang dan mewariskan utang kepada generasi berikutnya hingga menjadi beban yang tidak tertanggungkan,” ujar Said Abdullah di Jakarta, Senin (28/6/2021).
Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester 1 tahun 2020, khususnya yang menyangkut utang pemerintah menyebutkan adanya kerentanan terhadap rasio utang terhadap penerimaan dan rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan. Kerentanan itu dipandang oleh BPK telah melampaui batas terbaik yang direkomendasikan oleh lembaga internasional.
Namun, ujar Said, Menteri Keuangan (Menkeu) telah membuat ketentuan mitigatif, melalui Keputusan Menteri Keuangan No 17/KMK.08/2020 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Jangka Menengah Tahun 2020-2024.
Beleid inilah yang dirujuk oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan dalam menjalankan kebijakan utang pemerintah.
Karena itu kata Said, posisi utang Indonesia ini tidak perlu panik. Said justru menilai, pernyataan BPK soal utang ini baik, tetapi kurang bijak dalam ikut serta mendorong situasi kondusif dan kerjasama antar lembaga disaat bangsa dan negara menghadap krisis kesehatan dan kontraksi ekonomi. Sikap ini dianggapnya jauh dari kepatutan dan tidak menjadi teladan yang baik rakyat yang sedang sudah menghadapi pandemi.
“Pernyataan BPK ini baik walau kurang bijak,” tegasnya.
Advertisement