Liputan6.com, Jakarta - Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar mengatakan, Indonesia kaya dengan Sumber Daya Alam (SDA). Dengan potensi ini Indonesia berpotensi besar untuk memimpin perdagangan karbon di dunia.
“Indonesia memiliki potensi besar untuk memimpin (perdagangan karbon), Indonesia memiliki hutan tropis terbesar ketiga di dunia seluas 125 juta hektare. Indonesia diperkirakan mampu menyerap 25 miliar karbon. Ini belum termasuk hutan bakau dengan potensi penyerapan karbon yang lebih besar,” kata Mahendra dalam International Seminar on Carbon Trade 2022, Selasa (27/9/2022).
Baca Juga
Berdasarkan perhitungan ini, Indonesia dapat menghasilkan pendapatan sebesar USD 565 miliar dari perdagangan karbon. Dimana Pemerintah telah mengesahkan Perpres 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
Advertisement
“Salah satunya adalah pelatihan karbon ke pasar karbon. Agar inisiatif ini terealisasi, Kami akan mendapatkan kerangka peraturan yang jelas untuk otoritas dan pengoperasian Pasar karbon dari masa mendatang. Omnibus Law di bidang jasa keuangan dan peraturan lainnya yang sudah ada, baik untuk perdagangan dalam negeri maupun luar negeri,” ujarnya.
Disisi lain, hal penting lainnya untuk mendorong pasar karbon yaitu membangun dan memperkuat infrastruktur pasar untuk dapat mendukung beroperasinya Pasar karbon. Selain itu, penting untuk menyiapkan mekanisme pengawasan yang sesuai bagi Pasar karbon.
industri Jasa Keuangan Indonesia Siap Dukung
Dia menegaskan, industri Jasa Keuangan Indonesia siap mendukung inisiatif tersebut. Meskipun tekanan dari perlambatan ekonomi global dan inflasi sangat tinggi. Namun, kata Mahendra, sektor keuangan Indonesia tetap tangguh di tengah ketidakpastian ini.
Kendati demikian, dia menilai perjalan ke NetZero emission semakin terlambat dengan adanya berbagai kebijakan yang diadopsi oleh banyak mitra dagang. Tapi, Indonesia dalam banyak hal berada di garis Depan dalam memenuhi komitmen Internasional untuk pengurangan emisi karbon.
“OJK sangat mendukung upaya yang dilakukan oleh pemerintah, dan kita harus bangga bahwa Indonesia berarti dan kemungkinan akan melampaui target yang ditetapkan dalam kesepakatan Paris untuk pengurangan emisi CO2 dalam jangka waktu 2030,” ujarnya.
Maka dari itu, Indonesia harus siap untuk lebih mempercepat upaya mencapai keberlanjutan terutama dalam kerangka SDGS, yang merupakan kunci penting untuk menyeimbangkan lingkungan dengan kemajuan ekonomi dan sosial.
“Salah satu elemen kunci dalam proses mengatasi perubahan iklim adalah kecepatan transisi, dari ekonomi berbasis fosil ke energi terbarukan, sementara energi terbarukan seperti matahari, angin, panas bumi, atau bahkan Hidro merupakan campuran Energi utama di masa depan. Saat ini, mereka tidak mampu menggantikan energi yang dihasilkan dari bahan bakar fosil, yang tetap menjadi prasyarat mendasar bagi pertumbuhan industri dan ekonomi secara berkelanjutan,” pungkasnya.
Advertisement
Sidang TIIMM G20 di Bali Belum Bisa Hasilkan Kesepakatan Harga Karbon Lintas Negara
Sebelumnya, Sidang Trade, Investment, and Industry Ministerial Meeting (TIIMM) G20 yang berlangsung di Nusa Dua Bali belum menghasilkan kesepakatan harga karbon lintas negara. Di luar itu, terdapat 4 kesepakatan yang bisa dihasilkan dalam sidang tersebut.
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia melaporkan, Indonesia membawa misi kesepakatan harga karbon lintas negara dalam sidang TIIMM G20. Namun Indonesia belum bisa mendapatkan kesepakatan.
“Khusus perjuangan kami tentang harga karbon itu belum mencapai kesepakatan. Jadi perjanjian Paris Nomor 6 Pasal 6 tentang keadilan dalam harga karbon kami sudah diperjuangkan, namun belum ada kesepakatan” ujarnya dikutip dari Belasting.id, Jumat (23/9/2022).
Kendati demikian, Bahlil menyampaikan ada 4 poin lainnya dalam klaster investasi yang telah disepakati. Pertama, pentingnya arus investasi berkelanjutan bagi pemulihan ekonomi dalam rangka penciptaan lapangan kerja lewat industrialisasi dan tujuan pembangunan lainnya.
Kedua, penyederhanaan prosedur investasi, seperti yang dilakukan Indonesia melalui UU Cipta Kerja (UU CK). Ketiga, hilirisasi menjadi salah satu instrumen dalam menciptakan nilai tambah.
Selain itu, memperkuat kemitraan investor asing dengan UMKM. Keempat, pentingnya skema pendanaan iklim yang adil dan merata untuk mendorong investasi berkelanjutan.
Selain membahas kesepakatan dalam sidang, Bahlil menyampaikan pelaksanaan TIIMM G20 di Bali menghasilkan kompendium atau ringkasan mengenai praktik kebijakan yang disebut Kompendium Bali.
Menurutnya, Kompendium Bali menjadi panduan yang penting untuk merumuskan strategi dan arah kebijakan investasi, serta promosi investasi di masing-masing negara.
“Setiap negara di dunia ini menghargai strategi negara masing-masing dalam merumuskan arah kebijakan investasinya, termasuk membangun hilirisasi, apa yang menjadi prioritas, agar negara lain tidak mengintervensinya,” kata Bahlil.