Indonesia dan Eropa Belum Sepakat soal Harga Karbon, Menteri Bahlil Sebut Biang Keroknya

Bahlil Lahadalia mengungkapkan, hingga kini Eropa masih belum mau menyetujui perjanjian Paris Agreement lantaran masih terdapat perbedaan klausul harga karbon.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 26 Okt 2022, 15:01 WIB
Diterbitkan 26 Okt 2022, 14:50 WIB
Ilustrasi Karbon Dioksida (CO2).
Ilustrasi Karbon Dioksida (CO2) Kredit: Gerd Altmann via Pixabay

Liputan6.com, Jakarta - Program transisi energi masih menemui hambatan, salah satunya terkait kesepakatan harga perdagangan karbon antara Indonesia dan sejumlah negara maju, khususnya Uni Eropa.

Adapun perdagangan karbon merupakan salah satu alat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Perdagangan karbon merupakan kegiatan jual beli kredit karbon, di mana satu unit kredit karbon setara dengan penurunan emisi 1 ton karbon dioksida (CO2).

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan, hingga kini Eropa masih belum mau menyetujui perjanjian Paris Agreement karena masih terdapat perbedaan klausul harga karbon yang jauh dengan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Harga karbon di Indonesia, termasuk negara berkembang lainnya, hanya dipatok USD 10 per ton emisi CO2. Sedangkan di negara Eropa telah mencapai USD 100 per ton emisi CO2.

"Jadi harga karbon itu dibuat seolah-olah tidak adil dengan pandangan saya, karena Eropa itu maunya mereka lebih tinggi dibandingkan dengan karbon yang asalnya dari negara berkembang seperti Indonesia," keluh Bahlil, seperti dikutip Rabu (26/10/2022).

Alasannya, sambung Bahlil, Eropa menilai proses penanaman pohon untuk menyerap karbon di tanahnya lebih sulit dibandingkan dengan negara berkembang seperti Indonesia, yang masih punya banyak lahan hijau.

"Saya katakan ini tidak adil. Beberapa alasan mereka sampaikan, karena cara untuk mendapatkan karbon di Eropa lebih susah dibandingkan dengan cara di Indonesia. Contoh, kita tanpa harus menanam kembali, sebagian wilayah kita masih hutan itu dapat karbon, dan mereka sudah tidak punya hutan kan," bebernya.

"Terus saya bilang, loh kenapa kalian sudah tebang duluan di awal, masa kalian membuat sama dengan kita. Jadi itu saya menganggap enggak fair," tegas Bahlil.

Pengembangan EBT Indonesia Keok dari Vietnam dan Thailand

PLN siap memimpin transisi energi melalui pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam sektor ketenagalistrikan di Indonesia. (Dok PLN)
PLN siap memimpin transisi energi melalui pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam sektor ketenagalistrikan di Indonesia. (Dok PLN)

Indonesia saat ini masih tertinggal dalam penyediaan energi terbarukan di kawasan ASEAN. Vietnam, Kamboja, dan Thailand yang lebih unggul dalam penyediaan energi bersih dengan kapasitas terpasang energi terbarukan masing-masing sebesar 55,8 persen, 54,8 persen, dan 30,3 persen, sementara Indonesia berada di angka 14,8 persen (ASEAN Power Updates, 2021).

“Secara logika, perusahaan akan meningkatkan investasinya di negara-negara dengan ketersediaan dan akses kepada energi hijau, dan akan meninggalkan negara-negara yang tidak dapat memenuhi kebutuhan akan energi bersih. Ini satu hal yang harus disadari oleh khususnya pengambil kebijakan,” kata Ketua KADIN Net Zero Hub, Muhammad Yusrizki melalui keterangan tertulisnya, Selasa (25/10/2022).

Berkaca dari hal tersebut, KADIN Net Zero Hub berkolabortasi dengan 50 perusahaan nasional menyatakan komitmen atas Dekarbonisasi Industri.

Yusrizki menyampaikan kolaborasi 50 perusahaan dengan KADIN yang disertai penandatanganan komitmen dekarbonisasi industri tersebut berlangsung 19 Oktober lalu di Jakarta.

KADIN NZH ucap Yusrizki berharap titik awal gerakan dekarbonisasi yang dilakukan pertama kali oleh 50 perusahaan Indonesia itu akan diikuti oleh perusahaan-perusahaan Indonesia lainnya.

Komitmen dekarbonisasi yang dilakukan 50 perusahaan pertama di Indonesia ini menurut Yusrizki menggambarkan sektor swasta nasional sudah menunjukkan geliat nyata mereka untuk membantu pemerintah dalam hal mengurangi emisi karbon.

KADIN NZH menargetkan setidaknya 100 peruaahaan nasional menyatakan komitmen atas dekarbonisasi industri pada gelaran B20 Summit bulan November nanti di Bali.

Yusrizki membeberkan, inisiatif kolaborasi antara KADIN NZH dengan sejumlah pengusaha tersebut berlatarbelakarang belum terlihatnya urgensi untuk menurunkan emisi karbon di sektor industri atau dekarbonisasi industri di kalangan pemangku kepentingan bisnis nasional.

 

Minim Informasi

Peluang Investasi EBT di Indonesia Semakin Terbuka Lebar
Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 12 Tahun 2017 membuat peluang investari Energi Baru dan Terbarukan (EBT) semakin terbuka lebar.

Di sisi lain, kendala terbesar perusahaaan-perusahaan yang sudah mengerti dan ingin melakukan dekarbonisasi industri adalah minimnya informasi, pengetahuan terkait proses transisi itu sendiri, dan akses kepada energi bersih.

“Yang belum banyak disadari oleh stakeholder bisnis nasional adalah perubahan tatanan bisnis dan investasi global yang akan sangat berdampak kepada pelaku usaha dalam negeri,” kata Yusrizki.

“Proses dekarbonisasi memang bukan hal yang mudah untuk dilakukan oleh perusahaan dengan skala apapun, bahkan perusahaan berskala multinasional juga memiliki tantangannya tersendiri dalam proses transisi,” timpalnya.

Yusrizki yang juga menjabat sebagai Ketua Komite Tetap Energi Baru Terbarukan Kadin Indonesia ini mengungkapkan, dalam kegiatan tersebut turut KADIN NZH mengajak diskusi para pengusaha mengenai penghitungan emisi gas karbon perusahaan, hingga perencanaan kerangka kerja operasional rendah emisi.

 

Science Based Target Initiatives

“Mengenai standar SBTi (Science Based Target Initiatives) yang merupakan panduan global dalam dekarbonisasi industri. Pendampingan teknis ini diberikan secara komprehensif, tanpa biaya kepada perusahaan-perusahaan nasional yang serius ingin melakukan transisi menuju Net Zero Company. Saat ini sebanyak 50 perusahaan telah tergabung dalam KADIN NZH,” beber Yusrizki.

Dia menekankan perlunya bantuan langsung dari pemerintah sehingga aksi-aksi korporasi akan terus berkembang sehingga Indonesia dapat mencapai target penurunan emisi karbon.

“Salah satu hal yang paling menyulitkan perusahaan dalam dekarbonisasi industri adalah ketersediaan dan akses kepada energi ramah lingkungan,” tegas Yusrizki.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya