Liputan6.com, Jakarta - Serangan kelompok militan Houthi di Laut Merah menimbulkan kekhawatiran keamanan terhadap kapal-kapal pembawa logistik besar, yang secara kolektif mewakili sekitar 60 persen perdagangan global.
Sejumlah perusahaan pelayaran besar dan pengangkut minyak telah memindahkan rute dan menghentikan layanan mereka di Laut Merah.
MSC, Maersk, Hapag Lloyd, CMA CGM, Yang Ming Marine Transport dan Evergreen semuanya mengatakan bahwa mereka akan segera mengalihkan semua perjalanan yang dijadwalkan di Laut Merah untuk menjamin keselamatan pelaut dan kapal mereka.
Advertisement
Sejauh ini, perusahaan logistik telah memindahkan kargo senilai lebih dari USD 30 miliar atau Rp. 465,2 triliun dari Laut Merah, imbas ancaman serangan dari militan Houthi.
Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengingatkan bahwa masyarakat dunia, termasuk Indonesia untuk tidak meremehkan dampak krisis logistik di Laut Merah, meski sasaran Houthi adalah kapal kargo negara barat.
“Dunia saat ini sedang alami fragmentasi rantai pasok, ditambah gangguan logistik yang terjadi adalah delay pengiriman yang merugikan banyak pihak,” kata Bhima kepada Liputan6.com, dikutip Rabu (20/12/2023).
Bhima pun menyerukan agar Pemerintah Indonesia waspada dan memantau terus situasi di Laut Merah, juga mengantisipasi jika situasi memburuk.
“Kalau sampai kargo komoditas seperti minyak yang diserang bisa saja harga energi meningkat drastis, dan mempengaruhi subsidi energi di Indonesia,” jelasnya.
Sementara itu, dalam perekomonian dunia untuk jangka pendek dan menengah, Bhima mengingatkan akan terjadi perubahan rute logistik, kemudian biaya keamanan dan asuransi akan meningkat.
“Imbasnya biaya logistik jadi lebih mahal,” imbuhnya.
“Jika kondisi memburuk tidak menutup kemungkinan tujuan ekspor di negara sekitar Laut Merah akan mengalami pelambatan,” tambah dia.
Imbas Serangan Houthi di Laut Merah, Rute Logistik Kargo Senilai Rp 542,7 Triliun Dialihkan
Sejauh ini, perusahaan logistik telah memindahkan kargo senilai lebih dari USD 30 miliar atau Rp. 465,2 triliun dari Laut Merah, imbas ancaman serangan dari militan Houthi.
Melansir CNBC International, Rabu (20/12/2023) Paolo Montrone, wakil presiden senior dan kepala logistik perdagangan laut global di Kuehne+Nagel mengungkapkan bahwa terdapat 57 kapal kontainer yang berlayar jauh melintasi Afrika alih-alih melintasi Laut Merah dan Terusan Suez.
"Jumlah tersebut akan meningkat karena semakin banyak yang mengambil jalur ini," kata Montrone.
"Total kapasitas kontainer kapal-kapal ini adalah 700.000 unit setara dua puluh kaki (TEUs)," bebernya.
Sementara menurut Antonella Teodoro, konsultan senior untuk MDS Transmodal perkiraan nilai kontainer tersebut adalah USD 50.000. Sehingga total kargo yang dialihkan mencapai USD 35 miliar atau setara Rp. 542,7 triliun.
Advertisement
Kapal Tambahan
Teodoro menyebut, perusahaan logistik dapat mengerahkan kapal tambahan karena kapasitas armada telah meningkat lebih dari 20 persen dalam 12 bulan terakhir.
"Permintaan diperkirakan akan tetap sama sehingga ada kapasitas yang tersedia untuk menjaga jalur pengangkut laut tepat waktu dan mengambil kontainer setelah terikat pada kapal yang dialihkan ini," jelas Teodoro.
"Operator laut juga dapat mulai melakukan penyesuaian pada jaringan mereka selain pengalihan tersebut. Tetapi, dapat dimengerti bahwa pengalihan/penyesuaian tersebut memerlukan waktu dan tidak akan terjadi begitu saja," pungkasnya.
Pentingnya Pantauan Otoritas Internasional
Dia juga mengatakan, gangguan logistik di terusan Suez dan Panama menyoroti pentingnya pantauan dari otoritas internasional terhadap kapasitas dan biaya untuk rantai pasokan global yang lebih tangguh. Terusan Panama, yang terletak di Amerika Tengah, telah berjuang menghadapi rendahnya permukaan air selama berbulan-bulan.
Potensi Penundaan di Asia hingga Eropa
Di Asia, kekurangan peralatan kosong (kontainer) akan menjadi masalah potensial karena penempatan kembali kontainer kosong ke area permintaan akan memakan waktu 10-20 hari lebih lama.
Maersk, salah satu pengirim barang yang menghentikan operasinya di Laut Merah, memperkirakan akan terjadi penundaan selama dua hingga empat minggu, menurut keterangan CEOnya, Vincent Clerc.
"Eropa lebih bergantung pada Suez," kata Clerc. "Penundaan ini akan lebih terasa di Eropa," ungkapnya.
Advertisement