Perpres Penangkapan dan Penyimpanan Karbon CCS Rilis Bulan Ini

Detil Perpres CCS nantinya akan mengatur soal kemungkinan untuk melakukan penangkapan dan penyimpanan karbon di luar wilayah kerja minyak dan gas bumi (WK migas).

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 23 Jan 2024, 14:20 WIB
Diterbitkan 23 Jan 2024, 14:20 WIB
Juru Bicara Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Jodi Mahardi di Hotel Dharmawangsa, Jumat (7/10/2022).
Juru Bicara Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Jodi Mahardi di Hotel Dharmawangsa, Jumat (7/10/2022). Jodi mengatakan bahwa Menko Luhut telah bertemu dengan anak usaha Tesla di AS membahas teknologi baru transportasi mobil listrik.

Liputan6.com, Jakarta - Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves, Jodi Mahardi menargetkan Peraturan Presiden (Perpres) yang membawahi teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon, atau CCS/CCUS bakal terbit bulan ini.

"Targetnya harusnya coming out very soon, karena semua sudah proses tahapannya sudah dilalui. Bulan ini mustinya (Perpres soal CCS/CCUS rilis)," ujar Jordi di Pullman Jakarta Indonesia Thamrin CBD, Selasa (23/1/2024).

"Dari sisi Perpres-nya itu harusnya dalam waktu dekat sudah akan diresmi diluncurkan. Semua proses dan tahapan birokrasi sudah dilalui dan selesai," terang dia.

Jodi menjelaskan, detil Perpres CCS nantinya akan mengatur soal kemungkinan untuk melakukan penangkapan dan penyimpanan karbon di luar wilayah kerja minyak dan gas bumi (WK migas).

"Arena potensi yang paling besar di Indonesia itu selain reservoar adalah saline aquifer di luar WK Migas ini memungkinkan operator untuk melakukan ke sana juga," imbuh dia.

Selanjutnya, Perpres juga membuka kemungkinan industri selain minyak dan gas (migas) melakukan CCS. Sehingga impelementasi penangkapan dan penyimpanan karbon akan lebih banyak menyentuh sektor industri, semisal besi baja, kaca, hingga smelter.

"Membuka peluang juga untuk crossborder (lintas batas negara). Namun alokasi domestik tetap lebih besar akan dilakukan. Alasan dibuka crossborder agar kita bisa menjadi CCS hub," kata Jodi.

"Investasi memang besar, dengan crossborder ini akan membuat banyak investasi masuk. Jadi pada akhirnya industri bisa menggunakan CCS dengan lebih affordable," pungkas dia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Tarik Ulur Penerapan Pajak Karbon

Hutan Bakau di Pesisir Marunda Memprihatinkan
Kondisi hutan bakau di pesisir kawasan Marunda, Jakarta, Selasa (27/8/2019). Tutupan hutan tersebut berakibat bertambahnya emisi karbon dioksida hingga 4,69 kilo ton. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Sebelumnya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) ikut memberikan perhatian kepada penerapan kebijakan pajak karbon di Indonesia yang sampai saat ini belum juga diterapkan. Pajak karbon ini sangat menarik mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan yang rentan terhadap perubahan iklim.

“Sudah setahun lalu pajak karbon akan ditetapkan, akan tetapi sampai saat ini memang masih tarik-ulur, karena memang ada beberapa hal yang perlu dibenahi. Barangkali juga masyarakat masih banyak yang belum paham,” kata Kepala Pusat Riset Kependudukan BRIN Nawawi dikutip dari Antara, Sabtu (28/10/2023).

Awalnya pemerintah merencanakan implementasi pajak karbon pada April 2022, namun ditunda sampai Juli 2022 dan ditunda lagi sampai sekarang.

Peneliti Pusat Riset Ekonomi Perilaku dan Sirkuler BRIN Deden Djoenudin menuturkan jika berkaca dari negara-negara yang telah menerapkan pajak karbon, maka fungsi regulasi mampu menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca dan akan mendatangkan manfaat ekonomi.

Selain mendapatkan kualitas lingkungan yang lebih baik, negara memperoleh pendanaan lingkungan hidup, sehingga ada alokasi dana untuk menunjang kegiatan dalam upaya memperbaiki kualitas lingkungan.

Menurut Deden, kasus yang terjadi di Indonesia kemungkinan ada secara spesifik. Hal itu terkait dengan tantangan dan kesiapan infrastruktur untuk penerapan pajak karbon itu sendiri.


3 Tujuan Pajak Karbon

Terdapat tiga tujuan pajak karbon, yaitu instrumen untuk mengubah perilaku dari pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon, mendukung penurunan emisi, dan mendorong inovasi serta investasi.

Oleh karena itu, perusahaan ataupun pelaku ekonomi harus menyesuaikan teknologi yang diterapkan selama ini.

"Jika semula menghasilkan emisi yang tinggi, maka dengan adanya pajak, perusahaan tersebut menyesuaikan teknologinya, sehingga proses produksi yang digunakan bisa menjadi rendah emisi karbon," papar Deden.

Lebih lanjut dia menyampaikan ada tiga prinsip penerapan pajak karbon. Pertama, adil, yaitu menggunakan prinsip polluters-pay-principle yang melakukan pencemaran yang harus menanggung beban pajak karbon agar tidak dibebankan kepada pelaku ekonomi yang memang tidak melakukan emisi.

Kedua adalah terjangkau, yaitu memperhatikan aspek keterjangkauan demi kepentingan masyarakat luas.

Lalu, prinsip terakhir adalah bertahap dengan memperhatikan kesiapan sektor agar tidak memberatkan masyarakat.

Infografis Optimisme KTT G20 di Tengah Krisis Pangan, Energi, Keuangan
Infografis Optimisme KTT G20 di Tengah Krisis Pangan, Energi, Keuangan (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya