Antara Konflik di Natuna dan Masuk BRICS, Bagaimana Indonesia Jaga Posisi dengan China?

Indonesia berusaha menjaga hubungan ekonomi yang erat dengan China sambil menetralkan ketegangan di Laut China Selatan dan juga menjajaki peluang baru lewat BRICS.

oleh Elyza Binta Chabibillah diperbarui 07 Nov 2024, 21:30 WIB
Diterbitkan 07 Nov 2024, 21:30 WIB
Sebuah kapal Penjaga Pantai China (Kiri) memblokir kapal pasokan sewaan dalam misi mengirimkan perbekalan ke kapal Angkatan Laut Filipina yang dilarang terbang di Second Thomas Shoal di Laut China Selatan. (Jam Sta Rosa/AFP)
Sebuah kapal Penjaga Pantai China (Kiri) memblokir kapal pasokan sewaan dalam misi mengirimkan perbekalan ke kapal Angkatan Laut Filipina yang dilarang terbang di Second Thomas Shoal di Laut China Selatan. (Jam Sta Rosa/AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Dalam waktu satu minggu, dua pertemuan di berbagai belahan dunia menunjukkan bagaimana Indonesia berusaha menjaga keseimbangan antara kepentingan strategis dan ekonomi. Di kota Kazan, Rusia, Menteri Luar Negeri Indonesia Sugiono melakukan kunjungan diplomatik untuk mempromosikan upaya Jakarta menjadi anggota penuh Brics, blok ekonomi berkembang yang didukung Tiongkok.  

Ribuan kilometer jauhnya di Laut Cina Selatan, kapal patroli Indonesia mengusir kapal penjaga pantai Tiongkok di perairan tempat kedua negara memiliki klaim maritim yang tumpang tindih.

Dikutip dari South China Morning Post, Kamis (7/11/2024) Presiden Prabowo Subianto, akan kembali memainkan peran penting di bulan ini ketika ia mengunjungi Beijing dalam rangka perjalanan internasional untuk meningkatkan posisi Indonesia di kancah dunia.

Para pengamat berpendapat bahwa ada alasan kuat bagi China dan Indonesia untuk memisahkan isu-isu berbeda dalam hubungan kedua negara. Pulau Natuna yang kaya minyak dan gas di utara Kalimantan menjadi sumber ketegangan utama.

Meski kedua negara tidak memiliki sengketa teritorial formal, klaim China yang luas dengan garis sembilan garis (nine-dash line) di Laut China Selatan memotong zona ekonomi eksklusif Indonesia di sekitar pulau tersebut, dan kapal-kapal China sering kali melanggar perairan yang ditetapkan Indonesia sebagai Laut Natuna Utara.

Peluang BRICS dan Ketegangan Natuna

Kereta api China terus berkembang bahkan melintasi lautan. Penambahan terbaru pada portofolio negara ini adalah jalur kereta berkecepatan tinggi sepanjang 277 kilometer
Kereta api China terus berkembang bahkan melintasi lautan. Penambahan terbaru pada portofolio negara ini adalah jalur kereta berkecepatan tinggi sepanjang 277 kilometer. Foto udara tersebut diambil pada 10 Oktober 2022 ini menunjukkan kereta peluru sedang melaju di Lianyungang di provinsi Jiangsu timur, Tiongkok. (Dok: AFP)

Pada akhir bulan lalu, penjaga pantai Indonesia menyatakan bahwa mereka telah mengusir kapal penjaga pantai China untuk ketiga kalinya dalam seminggu karena kapal tersebut "mengganggu" aktivitas eksplorasi minyak dan gas di perairan tersebut.

Kementerian Luar Negeri China mengatakan bahwa kapal penjaga pantainya sedang patroli di perairan yang berada di bawah yurisdiksi China.

Pada saat yang sama, Jakarta sedang melihat peluang yang bisa didapatkan dari keanggotaan BRICS. BRICS – yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, serta Mesir, Ethiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab – mencakup seperempat ekonomi global.

Indonesia, yang merupakan negara dengan populasi terbesar keempat di dunia dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, melihat potensi besar dalam hal ini.

Profesor di Program Kebijakan Publik dan Urusan Global di Nanyang Technological University, Dylan Loh mengatakan bahwa bergabung dengan BRICS memberikan Indonesia baik peluang ekonomi maupun strategis.

"Ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan Indonesia, yang fokus pada pengentasan kemiskinan dan menarik investasi serta transfer teknologi," kata Dylan. 

"Lagipula, Indonesia juga telah membuat langkah lebih besar dalam memposisikan dirinya sebagai pemimpin, jika bukan pemimpin utama, dari Global South. BRICS adalah platform yang tepat untuk menjalankan kebijakan luar negeri Indonesia yang 'bebas dan aktif'." tambahnya.

Peluang Baru di Tengah Ketegangan dengan Barat

Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden China Xi Jinping, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Sugiono dan sejumlah pemimpin negara/utusan khusus berpose saat menghadiri KTT BRICS di Kazan, Rusia, Kamis, (24/10/2024).
Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden China Xi Jinping, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Sugiono dan sejumlah pemimpin negara/utusan khusus berpose saat menghadiri KTT BRICS di Kazan, Rusia, Kamis, (24/10/2024). (Alexander Nemenov, Pool Photo via AP)

Pemimpin Indonesia sebelumnya, seperti Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo, cenderung menghindari konfrontasi langsung dengan China dan meredam sengketa bilateral, tambahnya.

Menjaga ketegangan tersebut tetap terkendali sekaligus membawa Indonesia lebih dekat ke BRICS juga akan menguntungkan China dan anggota BRICS lainnya, yang sering dilihat oleh Barat sebagai ancaman, menurut  dosen hubungan internasional di Universitas Airlangga, Radityo Dharmaputra.

"Bagi BRICS, lagi-lagi, akan sangat baik jika memiliki keanggotaan yang lebih luas, termasuk Asia Tenggara, di mana kemerdekaan dan netralitas telah menjadi norma selama bertahun-tahun," kata Radityo.

Keanggotaan yang lebih luas ini sejalan dengan ambisi Rusia yang terkena sanksi untuk meningkatkan pengaruhnya di panggung dunia..

"Rusia lebih bergantung pada BRICS dan organisasi internasional lain yang tidak melibatkan AS untuk melawan sanksi Barat, dan perluasan keanggotaan ini juga akan meningkatkan pengaruh global China. Oleh karena itu, pencalonan Indonesia sebagai anggota sejalan dengan kepentingan Rusia dan China," kata Direktur Institut Urusan Internasional di Universitas Renmin China, Wang Yiwei.

Indonesia Tunda Keanggotaan BRICS, Pertimbangkan Tawaran AS

Namun, upaya Jakarta untuk bergabung dengan BRICS tidak boleh dilihat sebagai peralihan kepada kelompok tertentu, terutama mengingat Prabowo melewatkan pertemuan di Kazan.

Untuk itu, perjalanan Prabowo bulan ini juga akan mencakup kunjungan ke Amerika Serikat, Peru, Brasil, dan Inggris, lapor surat kabar Indonesia Kompas.

Dosen hubungan internasional di Universitas Indonesia, Yeremia Lalisang mencatat bahwa Indonesia mungkin sedang menunggu "usulan yang lebih baik" dari Washington, yang menunjukkan bahwa pencalonan keanggotaan BRICS bisa jadi merupakan isyarat kepada Barat.

"Saya tidak percaya Indonesia akan segera bergabung dengan BRICS. Saya rasa Prabowo masih ingin menunggu kunjungannya ke Amerika Serikat untuk melihat apakah AS bisa menawarkan usulan yang lebih baik.” ujarnya.

"Indonesia selalu ingin berteman dengan semua pihak. Jika proses negosiasi BRICS berjalan lancar, maka kita bisa melihat langkah selanjutnya bagi Indonesia untuk memperkuat kemitraannya dengan Amerika Serikat juga.” tutup Yeremia

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya