Waspada, Hasil Pertemuan WTO Bisa Rugikan Negara Berkembang

"Kita hanya dilihat sebagai konsumen dari pada dianggap sebagai produsen yang cerdas," kata Direktur Eksekutif IGJ.

oleh Syahid Latif diperbarui 24 Nov 2013, 16:15 WIB
Diterbitkan 24 Nov 2013, 16:15 WIB
wto-131124b.jpg
Konferensi Tingkat Menteri (KTM) Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization-WTO) yang akan berlangsung di Bali pada bulan Desember mendatang memicu kekhawatiran elemen masyarakat. Hasil-hasil pertemuan WTO ditakutkan menjadi ancaman bagi negara berkembang dan kurang berkembang.

Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Riza Damanik mengatakan negara-negara maju yang terlibat dalam WTO ini secara umum menghendaki agar pasar ekspor maupun impor global saling terintegrasi dengan dikendalikan dalam suatu standar produk yang baku.

Sayangnya, negara berkembang dan kurang berkembang memiliki standarisasi produk yang jauh lebih rendah dibanding dengan negara-negara maju. "Dalam kaitan teknologi juga sama dimana negara-negara berkembang dan kurang berkembang kapasitas teknologinya ketinggalan," ujarnya di Jakarta, Minggu (24/11/2013).

Tak hanya soal standarisasi, tuntutan kepada setiap negara untuk menurunkan besaran bea masuk juga dianggap tidak adil. Komitmen negara-negara berkembang dan kurang berkembang untuk menurunkan bea masuk dituntut lebih tinggi dibanding negara maju.

Riza menilai negara-negara maju terkesan menghindari kewajiban untuk melakukan dukungan bantuan teknis dan peningkatan kapasitas bagi negara berkembang dan kurang berkembang.

"Pertemuan di Bali nanti patut kita waspadai, karena sampai fase perundingan di Jenewa lalu, menunjukan bahwa dalam kaitan peningkatan teknologi dan standar-standar ini, mereka tidak mau ini sebagai kewajiban. Mereka beralasan bahwa situasi dimana terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomo global sehingga tidak mau berkomitmen penuh, atau hanya ingin komitmen tidak mengikat," jelasnya.

IGJ menduga kewajiban-kewajiban negara maju tersebut nantinya akan digantikan oleh lembaga keuangan dunia seperti Bank Dunia maupun IMF melalui skema utang. Akibatnya, negara-negara berkembang dan kurang berkembang yang ingin mendapatkan akses terhadap peningkatan kapasitas harus melalui skema utang luar negeri.

"Dalam situasi seperti itu, kita bisa memastikan bahwa pertemuan di Bali nanti, jika paket trade facilitation disahkan, maka akan berdampak pada semakin membanjirnya arus barang dari negara-negara industri atau maju ke negara-negara berkembang dan kurang berkembang. Jadi kita hanya dilihat sebagai konsumen dari pada dianggap sebagai produsen yang cerdas," tandasnya.(Dny/Shd)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya