Meski ditolak sebagai alat pembayaran yang sah, para pengguna mata uang bitcoin di Indonesia memiliki niat tulus untuk negara. CEO Bitcoin Indonesia Oscar Darmawan berharap transaksi bitcoin di Indonesia bisa mencatatkan pemasukan buat negara khususnya dari pajak biaya transaksi.
"Mimpi saya sebagai warga negara ya tentu bisa ikut menyumbang (secara finansial) pada pemasukan negara," ujarnya di sela peluncuran Bitcoin Marketplace di Jakarta, Sabtu (15/2/2014).
Mimpi itu muncul setelah melihat potensi peningkatan pendapatan pajak negara melalui transaksi bitcoin di negara tetangga, Singapura. Lewat peningkatan pendapatan pajak tersebut, para pengguna bitcoin telah ikut serta menambah pendapatan negara.
"Di Singapura, bitcoin dirasa dapat menaikkan pendapatan pajak. Kemudian negara tetangga seperti Malaysia juga berharap devisa masuk dari luar negeri dapat masuk ke negaranya," jelas dia.
Sejauh ini, Bitcoin Indonesia mengaku masih aktif berhubungan dengan Direktorat Jenderal Pajak guna menentukan status dan jenis pajak yang dibebankan atas mata uang virtual tersebut. Dia berharap Indonesia menerapkan sistem perpajakan seperti berlaku di Singapura.
"Kami masih berhubungan dengan bagian perpajakan, Dirjen Pajak Indonesia, ingin menanyakan status bitcoin ini tergolong apa tergolong bagaimana dan pajaknya berapa," tuturnya.
Jika sudah ditentukan, pajak tersebut akan dikenakan pada setiap biaya transaksi yang dilakukan pengguna bitcoin. Saat ini, setiap transaksi dikenakan biaya transaksi sebesar 1% berapapun jumlahnya.
"Asumsinya, jika pajak yang diberlakukan sebesar 3% untuk setiap biaya transaksi, ya itu dikenakan pada biaya yang 1% tadi," jelasnya.
Dia menerangkan, biaya transaksi perlu diterapkan mengingat berbagai sistem yang dikelola exchanger (pengelola transaksi jual-beli bitcoin) memerlukan yang tak sedikit. Sementara berkaca dari luar negeri, saat ini bitcoin di Swiss dikenakan pajak barang antik.
Susah Diatur
Pada bagian lain, Oscar mengungkapkan pemerintah di setiap negara akan kesulitan menghentikan peredaran mata uang virtual bitcoin secara utuh. Pasalnya, seluruh transaksi dilakukan secara digital dan menjadi tanggung jawab dari masing-masing pengguna.
Dia lalu mencontohkan Rusia yang telah mengeluarkan larangan keras penggunaan bitcoin terkait kekhawatiran adanya pencucian uang dan aksi terorisme. Faktanya, bitcoin masih diperjualbelikan di Rusia.
"Transaksi Rusia masih besar, negara nggak ikut campur, it's fine, kan bisa dijual juga ke luar negeri," jelasnya.
Menurut Oscar, bitcoin memang terlepas dari peraturan hukum finansial negara. Dirinya menjamin regulasi larangan seperti apapun yang dibuat sebuah negara, tak akan bisa menghentikan peredaran bitcoin.
Selain Rusia, Thailand yang resmi mengeluarkan larangan peredaran dan penggunaan bitcoin ternyat tak sanggup membendung transaksi bitcoin yang dilakukan warganya.(Sis/Shd)
"Mimpi saya sebagai warga negara ya tentu bisa ikut menyumbang (secara finansial) pada pemasukan negara," ujarnya di sela peluncuran Bitcoin Marketplace di Jakarta, Sabtu (15/2/2014).
Mimpi itu muncul setelah melihat potensi peningkatan pendapatan pajak negara melalui transaksi bitcoin di negara tetangga, Singapura. Lewat peningkatan pendapatan pajak tersebut, para pengguna bitcoin telah ikut serta menambah pendapatan negara.
"Di Singapura, bitcoin dirasa dapat menaikkan pendapatan pajak. Kemudian negara tetangga seperti Malaysia juga berharap devisa masuk dari luar negeri dapat masuk ke negaranya," jelas dia.
Sejauh ini, Bitcoin Indonesia mengaku masih aktif berhubungan dengan Direktorat Jenderal Pajak guna menentukan status dan jenis pajak yang dibebankan atas mata uang virtual tersebut. Dia berharap Indonesia menerapkan sistem perpajakan seperti berlaku di Singapura.
"Kami masih berhubungan dengan bagian perpajakan, Dirjen Pajak Indonesia, ingin menanyakan status bitcoin ini tergolong apa tergolong bagaimana dan pajaknya berapa," tuturnya.
Jika sudah ditentukan, pajak tersebut akan dikenakan pada setiap biaya transaksi yang dilakukan pengguna bitcoin. Saat ini, setiap transaksi dikenakan biaya transaksi sebesar 1% berapapun jumlahnya.
"Asumsinya, jika pajak yang diberlakukan sebesar 3% untuk setiap biaya transaksi, ya itu dikenakan pada biaya yang 1% tadi," jelasnya.
Dia menerangkan, biaya transaksi perlu diterapkan mengingat berbagai sistem yang dikelola exchanger (pengelola transaksi jual-beli bitcoin) memerlukan yang tak sedikit. Sementara berkaca dari luar negeri, saat ini bitcoin di Swiss dikenakan pajak barang antik.
Susah Diatur
Pada bagian lain, Oscar mengungkapkan pemerintah di setiap negara akan kesulitan menghentikan peredaran mata uang virtual bitcoin secara utuh. Pasalnya, seluruh transaksi dilakukan secara digital dan menjadi tanggung jawab dari masing-masing pengguna.
Dia lalu mencontohkan Rusia yang telah mengeluarkan larangan keras penggunaan bitcoin terkait kekhawatiran adanya pencucian uang dan aksi terorisme. Faktanya, bitcoin masih diperjualbelikan di Rusia.
"Transaksi Rusia masih besar, negara nggak ikut campur, it's fine, kan bisa dijual juga ke luar negeri," jelasnya.
Menurut Oscar, bitcoin memang terlepas dari peraturan hukum finansial negara. Dirinya menjamin regulasi larangan seperti apapun yang dibuat sebuah negara, tak akan bisa menghentikan peredaran bitcoin.
Selain Rusia, Thailand yang resmi mengeluarkan larangan peredaran dan penggunaan bitcoin ternyat tak sanggup membendung transaksi bitcoin yang dilakukan warganya.(Sis/Shd)