Liputan6.com, Jakarta Mantan kapten timnas wanita di Afghanistan, Khalida Popal, mengaku dirinya khawatir akan keselamatan anak-anak perempuan dan perempuan di bawah rezim baru. Pasalnya, Popal menggambarkan kembalinya Taliban ke Afghanistan merupakan mimpi buruk.
Melansir Goal.com, pasca penarikan pasukan internasional selama musim panas, Taliban kembali merebut kendali atas negara, meski sempat kehilangan kekuasaan selama sekitar 20 tahun.
Baca Juga
Minggu ini, kelompok tersebut menguasai Kabul, sementara negara-negara asing berupaya mengevakuasi kedutaan besar dan personel mereka dari lokasi tersebut.
Advertisement
Popal menyatakan bahwa ia telah menerima pesan dari mantan rekan setimnya. Sang rekan mengatakan bahwa mereka khawatir dengan perlakuan rezim baru terhadap wanita nantinya serta tidak yakin dengan peluang melarikan diri dari negara tersebut.
“Saya menerima pesan dari pemain Afghanistan yang menangis, mengatakan kami ditinggalkan dan terjebak di rumah, tidak bisa keluar, mereka takut. Semua mimpi baru saja hilang. Ini seperti mimpi buruk,” ungkapnya kepada BBC Sport, seperti dikutip dari Goal.com.
Mengirim Video
Popal, saat ini diketahui sedang tinggal di Denmark. Ia masih memegang jabatan sebagai direktur Timnas Wanita Afghanistan dan merupakan sosok yang membantu membentuk tim tersebut pada 2007.
Kini, sosok Popal khawatir akan keselamatan para perempuan, baik dewasa maupun anak-anak, di bawah kekuasaan Taliban. Popal juga mengungkapkan bahwa para pemain mengirim video kepadanya.
“Para pemain mengirim video mereka dan berkata, ‘Orang-orang yang saya lawan sekarang berada di depan pintu saya, saya tidak bisa bernapas, saya sangat takut dan tidak melihat perlindungan apapun’,” ujar Popal menambahkan.
Advertisement
Mendorong Perempuan
Meski demikian, Popal tetap berupaya mendorong wanita dan anak-anak perempuan agar berani dan berdiri, sambil mencoba menahan keinginan untuk bertindak vokal.
“Kami mendorong perempuan dan anak perempuan untuk berani dan berdiri, sekarang saya mengatakan kepada mereka untuk menonaktifkan sosial media serta menahan suara (pendapat) mereka. Hal ini menyebabkan begitu banyak rasa sakit,” ujarnya.
“Para pemain sangat vokal, membela hak-hal perempuan, dan sekarang hidup mereka berada dalam bahaya besar,” tambah wanita berusia 34 tahun tersebut.
Penulis: Melinda Indrasari