Pre-bunking, Upaya Google Memerangi Disinformasi

Prebunking sebagai cara efektif untuk mencegah penyebaran disinformasi

oleh Liputan6.com diperbarui 05 Sep 2022, 18:00 WIB
Diterbitkan 05 Sep 2022, 18:00 WIB
CEK FAKTA Liputan6
CEK FAKTA Liputan6 (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Google berencana memperlihatkan iklan yang dapat mengedukasi orang-orang mengenai disinformasi. Rencana ini kemudian dibuktikan oleh eksperimen sosial dari Universitas Cambridge. 

Melalui Google Jigsaw, salah satu unit Google yang tujuannya mengatasi bahaya keamanan online, akan menjalankan iklan di Youtube, TikTok, dan Facebook. 

Iklan ini akan diperlihatkan di Slovakia, Republik Ceko, dan Polandia untuk melawan berita palsu mengenai pengungsi dari Ukraina. 

Penelitian ini didasarkan pada area studi berkembang yang disebut “pre-bunking”, dimana tujuannya adalah untuk menyelidiki dan membongkar kebohongan sebelum disinformasi menyerang. 

Dalam eksperimen tersebut, iklan ditunjukkan kepada 5.4 juta orang, 22.000 di antaranya disurvei setelah terpapar. 

Hasil yang diperoleh setelah memperlihatkan penjelasan dari video adalah adanya peningkatan pada kemampuan responden dalam mengenali teknik disinformasi, perkembangan kemampuan untuk membedakan konten yang dapat dipercaya dan tidak, dan peningkatan kemampuan untuk memutuskan apakah konten tersebut perlu disebar atau tidak. 

”Mereka mendemonstrasikan bahwa kita dapat mengukur skala “prebunking” secara luas, dengan iklan sebagai alatnya,” ucap Beth Goldberg, Kepala Penelitian dan Pengembangan Google Jigsaw, dilansir dari BBC.com.

Pada cara kerjanya, peneliti menggunakan fitur Brand Lift untuk menjawab pertanyaan pilihan ganda kepada kelompok yang telah melihat iklan. Pertanyaan ditujukan untuk menilai kemampuan mereka dalam mengenali teknik yang ada di headline berita. 

Selain itu, ada pula kelompok yang menjawab pertanyaan tetapi tidak diperlihatkan iklan mengenai disinformasi.

“Rata- rata kelompok yang diberikan iklan 5% lebih baik dalam mengenali manipulasi dibandingkan dengan kelompok yang tidak. 5% mungkin tidak terdengar banyak, tetapi itu merupakan peningkatan, terutama pada aplikasi yang sibuk seperti Youtube,” jelas Jon Roozenberk, Kepala Peneliti dari Universitas Cambridge. 

Eksperimen ini merupakan studi kasus pertama yang berhasil menggunakan teori inokulasi di sosial media, di mana teori inokulasi adalah teori yang membentuk resistensi psikologis terhadap upaya untuk memanipulasi. 

“Tetapi pada akhirnya kita harus menghadapi kenyataan bahwa perusahaan media sosial sebagian besar mengendalikan arus informasi online. Jadi untuk melindungi orang-orang, kami telah menemukan solusi independen dengan berbasis bukti yang benar-benar dapat diterapkan oleh perusahaan media sosial di platform mereka,” tambah Professor Sander van der Linden, rekan Roozenberk dari Universitas Cambridge. 

Hani Safanja/UPN Veteran Jakarta

Tentang Cek Fakta Liputan6.com

Melawan hoaks sama saja melawan pembodohan. Itu yang mendasari kami membuat Kanal Cek Fakta Liputan6.com pada 2018 dan hingga kini aktif memberikan literasi media pada masyarakat luas.

Sejak 2 Juli 2018, Cek Fakta Liputan6.com bergabung dalam International Fact Checking Network (IFCN) dan menjadi patner Facebook. Kami juga bagian dari inisiatif cekfakta.com. Kerja sama dengan pihak manapun, tak akan mempengaruhi independensi kami.

Jika Anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan di email cekfakta.liputan6@kly.id.

Ingin lebih cepat mendapat jawaban? Hubungi Chatbot WhatsApp Liputan6 Cek Fakta di 0811-9787-670 atau klik tautan berikut ini.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya