Bagaimana Literasi Digital Menangkal Hoaks, Simak Penjelasannya

Sering kali ditemukan informasi negatif, penipuan, dan hoaks. Maka dari itu masyarakat perlu untuk lebih bijak dan waspada ketika menemukan informasi di media digital.

oleh Anasthasia Yuliana Winata diperbarui 09 Mar 2023, 19:30 WIB
Diterbitkan 09 Mar 2023, 19:30 WIB
Digital Detox
Literasi digital dapat membantu seseorang saat menemukan hoaks yaitu mekanisme kognitif dan afektif. (Credit: pexels.com/Tracy)

Liputan6.com, Jakarta - Di era gempuran informasi di media digital tidak semua informasi benar adanya. Sering kali ditemukan informasi negatif, penipuan, dan hoaks. Maka itu masyarakat perlu untuk lebih bijak dan waspada ketika menemukan informasi di media digital.

Hal ini dapat dikembangkan dengan menumbuhkan kemampuan literasi digital. Sudah banyak para ahli dan peneliti yang menerangkan pentingnya literasi digital bagi masyarakat dalam menghadapi informasi hoaks.

Menurut Psikolog Nuri Sadida, PhD Researcher Universitas Radboud, Belanda, terdapat dua mekanisme psikologis yang menjelaskan mengapa literasi digital dapat membantu seseorang saat menemukan informasi negatif (hoaks) yaitu mekanisme kognitif dan afektif.

Mekanisme Literasi Digital Secara Kognitif dan Afektif

konsultasi psikologi
konsultasi psikologi (sumber: freepik)

Kognitif merupakan sebuah pemikiran atau kemampuan berpikir. Nuri menjelaskan, secara kognitif literasi membantu seseorang untuk memahami cara produksi dan memaknai informasi yang didapat di media digital (media sosial). Maka dari itu seseorang dapat membedakan mana informasi yang benar dan yang bukan.

Kemudian, mekanisme afektif merupakan kemampuan seseorang yang bersinggungan dengan emosi dan perasaan. “Komponen afektif ini biasanya adalah sikap waspada terhadap ujaran kebencian yang terbentuk dari pengetahuan atau pengalaman sebelumnya tentang bahaya mempercayai ujaran kebencian atau berita bohong," ujar Nuri saat dihubungi Liputan6.com, (6/3).

Pengaruh Lingkungan dan Kelompok Sosial

Ilustrasi Kelompok Sosial
Sumber: Freepik

Lebih lanjut, Nuri menerangkan pada Liputan6.com (7/3/23) bahwa lingkungan dan kelompok sosial berperan mempengaruhi mekanisme afektif dibanding kognitif. Hal ini karena lingkungan dan kelompok sosial berperan sebagai sumber atau rujukan norma bagi seseorang untuk melakukan sesuatu.

Singkatnya, jika seseorang berada di lingkungan yang terbiasa mengoreksi informasi hoaks maka akan mempengaruhi seseorang di lingkungan atau kelompok sosial tersebut untuk melakukan hal serupa. 

"Sebaliknya, jika seseorang berada dalam lingkungan yang terbiasa membiarkan atau justru menyebarkan berita salah, maka seseorang itu pun bisa ikut cuek atau ikut menyebarkan berita salah," ujar Nuri.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya