Sekolah Raja yang Kini Jadi Kantor Perpustakaan Nasional

Kalau malam di bangunan ini sering terlihat hantu noni Belanda dan hantu kepala hampir putus.

oleh Fadjriah Nurdiarsih diperbarui 14 Mei 2016, 13:15 WIB
Diterbitkan 14 Mei 2016, 13:15 WIB
Perpustakaan Nasional
Kalau malam di bangunan ini sering terlihat hantu noni Belanda dan hantu kepala hampir putus.

Citizen6 Jakarta - Sebuah bangunan megah bergaya Indis berdiri tegak di Jalan Salemba Raya Nomor 28 A, Jakarta Pusat. Di depannya terpancang 12 tiang putih bersih dan terdapat pula jendela dari kayu jati yang terbuka lebar. Dua buah lampu antik menggantung rendah di kedua sisinya. Ada beberapa anak tangga sebelum akhirnya pengunjung bisa berada di teras bermarmer putih. Sekilas bangunan ini seperti versi lebih kecil dari Istana Negara.

Tampak depan Perpustakaan Nasional

Bangunan itu adalah ruang kerja para pegawai administrasi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Berdasarkan penelusuran Liputan6.com, pada mulanya bangunan itu adalah gymnasium Koning Willem III School te Batavia, disingkat KW III School, yang dalam pelafalan bahasa Belanda menjadi Kawedri. KW III School adalah pendidikan menengah umum yang pertama kali didirikan pemerintah Hindia Belanda di Batavia pada 15 September 1860. Nama sekolah ini diambil dari nama Raja Belanda kala itu, yakni Koning (raja) Willem III.

Keterangan bahwa bangunan kantor itu adalah bekas sekolah terdapat di bawah tangga menuju lantai dua. Ada monumen yang menunjukkan bahwa Gijmnasium Willem III, didirikan pada tahun 1860, saat Menteri Negara Jajahan dijabat Jan Jacob Rochussen dan rektor alias kepala sekolahnya yang pertama Dr. S. A. Naber.

Sejak masa berdirinya, sekolah ini masuk dalam kategori Gouvernements HBS atau Openbare HBS. Artinya, bahwa HBS tersebut diselenggarakan dan dimiliki pemerintah dan berstatus sekolah negeri. KW III School disebut juga sekolah raja karena para muridnya adalah anak-anak para pejabat pemerintah kolonial, sehingga disebut juga "anak raja". Beberapa murid pribumi yang bersekolah di sana antara lain Agus Salim, Achmad Djajaningrat, Mohammad Husni Thamrin, Ernest Douwes Dekker, dan Johannes Latuharhary.

Gedung ini memiliki lorong yang luas dengan ruangan-ruangan kecil di kanan-kirinya. Sangat mudah membayangkan bahwa di masa lalu ruangan-ruangan kecil itu dulunya adalah sebuah kelas yang riuh dengan suara murid-murid yang sedang belajar.

Seperti dikutip dari Wikipedia, berdasarkan Besluit Gouverneur Generaal 21 Agustus 1867 Nomor 1, Gymnasium Willem III dibagi menjadi dua bagian:

Bagian A: Hoogere Burgerschool (HBS) dengan masa studi lima tahun yang dimaksudkan agar setelah selesai pendidikan ini dapat melanjutkan ke perguruan tinggi;

Bagian B: masa belajar selama tiga tahun. Setelah menyelesaikan pendidikan ini dimaksudkan agar siswa dapat melanjutkan ke pendidikan lanjutan perwira, pegawai negeri, atau pendidikan perdagangan dan kerajinan di Delft, Belanda.

Walaupun ditingkatkan menjadi HBS dengan masa studi lima tahun, sebutan Gymnasium Willem III tetap digunakan hingga tahun 1900-an menjadi Koning Willem III School.

Kini Fungsi Gymnasium

Kini Fungsi Gymnasium Menjadi Kantor Pegawai

Ketika Jepang masuk ke Indonesia tahun 1942, sekolah ini ditutup. Gedungnya dipergunakan untuk Pertahanan Sipil Belanda. Setelah Belanda menyerah, Jepang menggunakannya. Demikian juga saat sekutu mengalahkan Jepang, gedung ini dipakai oleh tentara sekutu. Tahun 1949, setelah Belanda mengakui kedaulatan RI, gedung KW III sempat menjadi markas kesatuan TNI Batalyon Kala Hitam. Kemudian beralih menjadi kantor dan perumahan Jawatan Kesehatan TNI AD.

Kini gedung eks sekolah Kawedri sudah berubah. Di bagian paling depan terdapat ruang pamer tempat untuk menerima para tamu penting, seperti pejabat atau duta besar negara asing. Ruangan itu dilengkapi televisi berukuran besar dan sebuah miniatur gedung baru Perpustakaan Nasional di Medan Merdeka Selatan. "Tahun depan untuk pelayanan akan pindah ke Medan Merdeka Selatan dengan 24 lantai," tutur salah satu karyawan Perpusnas RI.

Di ruangan itu juga ada koleksi replika berbagai naskah kuno. Ada naskah Batak, Bali, hingga Jawa. Namun yang disimpan hanya replikanya saja. Yang asli ada di lantai lima gedung Perpustakaan Nasional. 

Menariknya, ada pula miniatur sebuah kapal yang dulu sempat dicita-citakan menjadi perpustakaan terapung. Namun proyek ini gagal. "Biayanya terlalu mahal," kata dia.

Miniatur Perahu Terapung di Perpustakaan Nasional

Gedung eks Kawedri ini kemudian dihibahkan kepada Yayasan Harapan Kita kepada negara sekitar tahun 1980-an. Kemudian oleh Ibu Tien Soeharto dihibahkan ke Perpustakaan RI dengan kepala perpustakaannya waktu itu Ibu Mastini Hardjoprakoso, MLS.

"Dulu masih ada ruangan sekretariat eks Kawedri, tapi sekarang sudah tidak ada," ujarnya.

Adapun monumen tanda dipugarnya bangunan ini tertanda tahun 1985 dan mulai digunakan pada 1987. Monumennya terletak persis di seberang tanda pembangunan. Gedung ini sendiri sudah beberapa kali direnovasi. Pada Ramadan tahun lalu, sempat atap bagian samping runtuh. "Barangkali karena memang ini bangunan tua," katanya.

Apabila lantai bawah digunakan untuk administrasi dan pelayanan, lantai atas dipakai untuk ruangan SDM dan keuangan. Di lorong yang berupa kayu itu, ucap dia, kadang-kadang kalau malam terlihat hantu noni-noni Belanda.

"Itu semacam isu yang berkembang di gedung ini. Bahkan ada teman yang juga pernah melihat hantu kepala hampir putus. Kalau saya sih enggak pernah," katanya.

Berkantor di gedung tua diakuinya cukup menyenangkan. Memang tidak semua orang merasakan nuansa dari bangunan lama peninggalan Belanda. Di sinilah para pustakawan menjalankan tugasnya dengan rajin. Meski demikian, dia menyebut jumlah pustakawan di Indonesia sangat minim. "Saat ini hanya sekitar 2000 pustakawan dari kebutuhan 200 ribu pustakawan," ujarnya memungkasi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya