Liputan6.com, Jakarta - Sebelum menjadi pemilik Twitter, Elon Musk sering melontarkan kritik pada platform tersebut karena pendekatannya terhadap moderasi konten. Bahkan, ia menarketkan kebijakan perusahaan Vijaya Gadde.
Musk juga sempat menyatakan keprihatinannya tentang ‘bias liberal’ di platform tersebut. Tetapi, banyak aktivis, jurnalis, dan advokat—mayoritas pengguna Twitter—mulai khawatir akan bagaimana algoritmanya yang sekarang.
Baca Juga
"Bagaimana dia menangani tekanan dari negara-negara seperti Arab Saudi dan India - saya pikir itu adalah indikator utama arah perkembangan platform ini," kata David Kaye, mantan wartawan khusus PBB tentang hak kebebasan berpendapat dan berekspresi dan profesor klinis hukum di University of California, Irvine.
Advertisement
Twitter tidak memiliki pengguna sebanyak Facebook atau Instagram milik Meta, tapi banyak digunakan oleh para aktivis, kelompok masyarakat sipil, jurnalis, dan politisi. Semuanya berpengaruh dalam membentuk kebijakan dan opini publik.
Platform ini juga terbukti sangat penting bagi mereka yang mengorganisir protes di tempat-tempat seperti India, Nigeria, dan Argentina.
Mereka memberi jalan bagi mereka yang tinggal di lingkungan yang sangat terkontrol seperti Arab Saudi untuk menyuarakan kritik terhadap pemerintah mereka, seperti dikutip dari Wired, Selasa (8/11/2022).
Jason Pielemeier, direktur eksekutif Global Network Initiative, mengatakan bahwa tujuan Musk membangun basis pengguna Twitter menjadi lebih dari satu miliar orang juga dapat memengaruhi niatnya untuk melawan pemerintah asing agar tetap mempertahankan konten di platform tersebut.
Menurut Pielemeier, meskipun mereka mungkin tidak merepresentasikan aliran pendapatan Twitter saat ini. Negara-negara seperti Turki, Indonesia, Nigeria, dan Pakistan, yang memiliki populasi yang sangat besar dan semakin aktif di dunia maya, semuanya merupakan pasar yang menarik. Karena, perusahaan ingin meningkatkan pendapatannya dan meningkatkan basis penggunanya.
Tetapi semua negara tersebut pernah bersitegang dengan Twitter secara khusus atau dengan perusahaan media sosial secara lebih luas, katanya.
Patuh Terhadap Pemerintah
Tahun lalu, pemerintah Nigeria memerintahkan semua Penyedia Layanan Internet (ISP) untuk memblokir Twitter setelah platform tersebut menghapus tweet dari presiden Nigeria, Muhammadu Buhari, karena melanggar kebijakannya.
Pemerintah mencabut larangan tersebut setelah Twitter setuju untuk membuka kantor di negara tersebut dan membayar pajak lokal.
Di India, pasar terbesar ketiga Twitter, perusahaan ini menggugat aturan pemerintah untuk menghapus konten individu maupun seluruh akun yang dianggap pemerintah berisiko terhadap keamanan atau kedaulatan India.
Tetapi Raman Jit Singh Chima, penasihat internasional senior dan direktur kebijakan Asia Pasifik di Access Now, khawatir bahwa Twitter di bawah Musk mungkin tidak akan melanjutkan gugatan tersebut.
Pengurangan staf Twitter baru-baru ini juga akan berdampak pada tim yang menangani kebijakan dan moderasi konten. Dapat juga mengirim sinyal pada staf yang tersisa untuk tidak “mengganggu, atau meminta lebih banyak sumber daya dan ahli bahasa lokal," kata Chima.
Advertisement
Sulit Menolak Pemerintah
Kepemilikan tunggal Musk atas platform ini kemungkinan akan menyulitkan Twitter untuk menolak permintaan pemerintah.
"Kadang-kadang perusahaan dapat terlibat dengan pemerintah dan menjelaskan bahwa mereka tidak bisa melakukan semua yang diinginkan pemerintah karena mereka memiliki kewajiban hukum dan jaminan kepada investor mereka," kata Pielemeier.
Di bawah Musk, Twitter tidak dapat menggunakan alasan itu.
Awal pekan ini, Musk mengatakan bahwa dia berencana untuk membentuk dewan moderasi konten, mungkin mirip dengan Dewan Pengawasan Meta. Menurut Pielemeier ihal tersebut dapat membantunya menjauhkan diri dari pandangan sebagai satu-satunya penengah percakapan di platform.
Tetapi, mungkin hal tersebut tidak cukup. Karena, Musk memiliki banyak kepentingan bisnis lain yang dapat dijadikan boomerang dan sasaran empuk pemerintah asing.
Mishi Choudhary, penasihat umum di Virtru dan mantan direktur hukum di Software Freedom law Center, mengatakan baha pemerintah India “terkenal” karena menemukan cara untuk menekan perusahaan.
"Saya tidak akan terkejut, jika itu dalam bentuk pajak atau perizinan, jika mereka tidak mencoba untuk setidaknya menggunakan itu sebagai pengaruh untuk menurunkan beberapa konten," kata Choudhary.
Keterlibatan Musk di Perusahaan Lain
Awal 2022 ini, Starlink mengumumkan bahwa mereka terpaksa me-refund semua preorder untuk produknya di India karena belum menerima lisensi yang diperlukan untuk beroperasi di negara tersebut.
Laporan sebelumnya menemukan bahwa layanan perusahaan di negara bagian Assam di timur laut itu mahal dan tidak dapat diandalkan pula.
Pada Oktober, Economic Times melaporkan bahwa SpaceX sedang mencari izin dari Departemen Telekomunikasi untuk meluncurkan broadband satelit Starlink. Tesla juga menghentikan rencananya untuk memasuki India pada Mei karena tarif impor.
Keterlibatan Musk dengan Starlink, yang akan dianggap sebagai ISP, bisa menjadi catatan khusus di sini.
"Bukan tidak mungkin untuk meramalkan situasi di masa depan di mana salah satu perusahaan Elon Musk diminta untuk memblokir salah satu perusahaannya yang lain karena pemerintah telah memilih untuk mengeluarkan perintah pemblokiran," kata Pielemeier.
Advertisement
Twitter dan Pemerintahan Arab Saudi
Bahkan upaya Musk untuk membatasi bot di platform dapat bergesekan dengan kepentingan salah satu pendukungnya sendiri: Arab Saudi.
Pangeran Saudi Al Waleed bin Talal Al Saud, melalui Kingdom Holding Company-nya, sekarang menjadi investor terbesar kedua di Twitter. Pemerintah Arab Saudi, yang telah menyusup ke Twitter untuk memata-matai para pembangkang, telah lama menggunakan pasukan bot dan akun palsu untuk mengendalikan percakapan tentang kerajaan.
"Fokus utamanya adalah untuk mengontrol algoritma trending Twitter di Arab Saudi dan memaksa opini publik menggunakan akun bot," kata Wajeeh Lion, seorang aktivis gay Saudi dan sekarang tinggal di pengasingan di AS. Wajeeh Lion merupakan salah satu sasaran pemerintah Saudi di Twitter.
"Jadi sebagai bos, jika Elon Musk serius untuk menghapus bot Twitter ini, maka pemerintah Saudi akan mendapat pukulan besar,” ujar Lion.
Abdullah Alaoudh, direktur penelitian di lembaga nirlaba Democracy for the Arab World Now (DAWN), mengatakan bahwa akun-akun ini sering menyerbu mereka yang mengkritik kerajaan.
“Jika Anda mengkritik pemerintah dan bot melaporkanya, bot akan berkata, ‘Orang ini mengatakan sesuatu yang rasis tentang negara, dan tentang orang Arab,’” kata Alaoudh.
Dia khawatir Twitter di bawah Musk mungkin lebih bertanggung jawab untuk menghapus konten atau akun yang ditandai oleh jaringan Saudi.
Ancaman Musk
Menyetujui hal yang diinginkan pemerintah sebenarnya bisa menjadi ancaman bagi tujuan Musk untuk mengembangkan Twitter, kata Kian Vesteinsson, analis riset senior untuk teknologi dan demokrasi di Freedom House.
"Melindungi pengguna Twitter sangat penting untuk keberhasilan platform ini," kata Kian.
"Jika orang merasa tidak aman, jika mereka merasa bahwa mereka rentan terhadap sensor, atau lebih mungkin melihat data pengguna mereka diserahkan kepada pemerintah yang mungkin menyalahgunakannya, orang akan pergi,” tambah Kian.
Tetapi Choudhary khawatir bahwa Musk mungkin tidak terlalu mempertimbangkan masalah-masalah ini. Setidaknya belum.
"Saya tidak melihat indikasi apa pun dari Musk bahwa dia benar-benar peduli tentang siapa pun selain audiens AS dan konten AS saat ini," kata Choudhary.
Advertisement