Trump Pilih Tokoh Pro-Israel Sebagai Duta Besar AS untuk PBB

Israel menyambut baik keputusan Trump memilih Elise.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 13 Nov 2024, 10:02 WIB
Diterbitkan 13 Nov 2024, 10:02 WIB
Donald Trump
Donald Trump menari di akhir kampanyenya di Madison Square Garden di New York, Amerika Serikat (AS), pada 27 Oktober 2024. (Dok. Angela Weiss/AFP)

Liputan6.com, Washington DC - Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump memilih anggota Kongres dari Partai Republik Elise Stefanik (40) untuk menjabat sebagai duta besar AS untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada pemerintahannya kelak.

Sebagai sekutu lama Trump, Elise adalah pendukung setia Israel dan juga pengkritik PBB karena menurutnya PBB kurang mendapat dukungan yang cukup untuk perang melawan Hamas.

"Elise adalah pejuang America First yang sangat kuat, tangguh, dan cerdas," kata Trump mengonfirmasi pilihannya atas Elise, seperti dikutip dari BBC, Rabu (13/11/2024).

America First adalah kebijakan nasionalis yang berfokus pada kepentingan ekonomi, politik, dan militer AS di atas kepentingan negara lain. Kebijakan ini menjadi lebih mendunia pada masa kampanye Trump.

Jika kelak disumpah, Elise akan menggantikan Linda Thomas-Greenfield, seorang diplomat karier yang bekerja untuk Kementerian Luar Negeri AS selama 35 tahun.

Elise mengatakan dia "sangat terhormat" menerima nominasi Trump dan menantikan untuk mendapatkan dukungan dari rekan-rekannya di Senat. Untuk menjabat, Elise harus mendapatkan konfirmasi dari Senat.

"Amerika Serikat terus menjadi mercusuar dunia, namun kita mengharapkan dan harus menuntut agar teman-teman dan sekutu kita menjadi mitra kuat dalam perdamaian yang kita cari," tambah Elise dalam pernyataan yang diberikan kepada New York Post.

Elise memiliki sedikit pengalaman dalam kebijakan luar negeri dan keamanan nasional, yang dia dapat saat bertugas di Komite Angkatan Bersenjata DPR dan Komite Tetap Intelijen DPR.

Sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, Elise telah menjadi salah satu pendukung Israel yang paling vokal di Kongres. Dia menarik perhatian nasional saat memimpin sidang tentang penanganan protes pro-Palestina oleh presiden universitas di sejumlah kampus.

Bulan lalu, dia berpendapat harus ada "penilaian ulang yang lengkap atas pendanaan AS untuk PBB" setelah Otoritas Palestina mencoba mengeluarkan Israel dari PBB atas pelanggaran hak asasi manusia di Jalur Gaza.

Dalam pernyataan pada hari Senin (11/11), juru bicara internasional Israel untuk PBB Jonathan Harounoff mengatakan, "Duta Besar PBB untuk Israel Danny Danon berharap dapat bekerja sama erat dengan Elise Stefanik dalam menangani kebohongan jahat di PBB yang dipromosikan oleh negara-negara musuh sambil tetap berkomitmen pada kebenaran dan keadilan."

Lahir dan dibesarkan di bagian utara New York, Elise adalah anggota pertama keluarganya yang memperoleh gelar sarjana setelah lulus dari Universitas Harvard pada tahun 2006.

Tak lama kemudian, dia memasuki dunia politik, menjabat sebagai penasihat kebijakan domestik Gedung Putih di bawah Presiden George W. Bush dan akhirnya menjadi pembantu senior kepala staf Bush, Joshua Bolten.

Elise kemudian menjadi penasihat kampanye utama untuk Paul Ryan ketika dia mencalonkan diri sebagai wakil presiden bersama Mitt Romney. Ketika Romney kalah, pria berusia 30 tahun itu pindah kembali ke New York bagian utara dan mencalonkan diri untuk Kongres, merebut kursi yang dikuasai Demokrat dengan kemenangan lebih dari 20 poin.

Pernah mencitrakan dirinya kepada para pemilih sebagai seorang konservatif tradisional, faktanya Elise muncul sebagai salah satu pembela Trump yang paling bersemangat baik selama persidangan pemakzulan pertama terhadapnya pada tahun 2019 maupun saat Trump menggugat hasil Pilpres AS 2020. Dukungannya terhadap Trump tidak pernah goyah sejak saat itu.

Penunjukan Elise akan mengosongkan kursi DPR dari New York, yang akan mengarah pada pemilu khusus.

Beberapa sekutu Trump, termasuk miliarder Elon Musk, berpendapat bahwa kehilangan kursi Elise terlalu berisiko karena Republik dan Demokrat bertarung untuk mengendalikan DPR, yang hasilnya masih terlalu sulit untuk diprediksi.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya