Mogok Kerja Nasional, Subversi Ekonomi Kaum Buruh?

Menurut rencana dan setting yang dilakukan berbagai kelompok, rencana mogok kerja akan diikuti guru ataupun pekerja lainnya.

oleh Liputan6 diperbarui 11 Okt 2013, 15:32 WIB
Diterbitkan 11 Okt 2013, 15:32 WIB
demo-buruh-2-130923c.jpg
Citizen6, Jakarta - Permasalahan ekonomi nasional tampaknya sedang menghadapi ancaman yang bersifat nasional yaitu rencana pemogokan kerja nasional di berbagai sektor ekonomi dan kehidupan dengan motor utamanya adalah buruh. Menurut rencana dan setting yang dilakukan berbagai kelompok, rencana mogok kerja akan diikuti guru ataupun pekerja lainnya.

Sasaran unjuk rasa dan mogok kerja nasional tersebut antara lain kantor-kantor dinas ketenagakerjaan, Kemenakertrans, kantor pemerintah di pusat dan daerah, Istana Negara dan tempat-tempat vital lainnya.  Menurut rencana, aksi unjuk rasa akan diawali dengan unjuk rasa ke Kantor Dinas Tenaga Kerja DKI Jakarta untuk memperjuangkan kenaikan DKI Jakarta sebesar Rp 3,7 juta dan kampanye naikkan upah rata-rata secara nasional sebesar  50%. Tuntutan lainnya adalah penghapusan sistem kerja outsourcing atau kontrak, kesehata, gratis buat rakyat.

Rencana mogok kerja nasional menurut informasi berbagai kalangan sudah pernah dirapatkan di Gedung YTKI, Jakarta melalui sebuah rapat akbar yang diikuti aliansi serikat buruh  daerah dan dewan pengupahan  se Indonesia yang datang dari 20 provinsi dan 150 kabupaten/kota seluruh Indonesia, yang konon membahas dan merumuskan konsep usulan akhir dari buruh Indonesia  tentang kenaikan upah minimal 50% (84 item KHL), implementasi jaminan kesehatan seluruh rakyat, menghapus outsourcing di BUMN. Menurut  rencana, mogok kerja nasional akan diikuti sekitar 3 juta orang.

Sebagai langkah pemanasan atau warming up terhadap rencana aksi mogok kerja nasional, sejumlah tokoh buruh yang tergabung dalam FSPMI telah mengadakan pertemuan atau konsolidasi di Omah Buruh, Kawasan EJIP Jababeka pada 4 Oktober 2013. Kesepakatan yang dihasilkan dari rapat tersebut yang informasinya diperoleh penulis dari kalangan buruh dan wartawan antara lain,  FSPMI dan Garda Metal akan melakukan aksi unjuk rasa pada 9 Oktober 2013 di sejumlah tempat yaitu DPR-RI, Mabes Polri dan Kompolnas dengan tuntutan pecat Kapolres Kabupaten  Bekasi dan Kabagops Polres Cikarang dan mengusut tindakan brutal polisi terhadap buruh. Estimasi massa yang akan mengikuti aksi unjuk rasa ini sebanyak 800 orang dengan titik kumpul  Kawasan EJIB Cikarang.

Berbagai kalangan mengkhawatirkan aksi unjuk rasa atau mogok kerja nasional tersebut akan berlangsung secara anarkis, karena aksi unjuk rasa sebelumnya sudah berlangsung dengan chaos, dimana “segelintir orang” yang disinyalir sebagai provokator ataupun selalu ikut dalam kegiatan unjuk rasa buruh dimanapun digelar pernah chaos dalam sebuah unjuk rasa buruh tanggal 27 September 2013 di depan perusahaan PT KF.

Banyak Tuntutan Buruh, Kinerjanya Gimana ?

Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI)  mengeluarkan pernyataan sikap  berjudul  “Aksi Solidaritas Warga Miskin Dukung Mogok Nasional Buruh” berisi antara lain,  bentuk  perjuangan buruh untuk  melawan sistem kapitalisme yakni tuntutan  kenaikan upah buruh sebesar 50% pada 2014,  penolakan Inpres No. 9 Tahun 2013 tentang Pengaturan Upah Buruh,  penghapusan sistem kerja kontrak dan outsourcing  serta  pelaksanaan jaminan sosial bagi seluruh rakyat pada 1 Januari 2014. Sistem kerja kontrak dan outsourcing  menyebabkan ketidakpastian kerja, hilangnya daya tawar kaum buruh, dan hilangnya hak-hak normatif buruh. Untuk itu, SPRI  menyatakan sikap kenaikan upah minimum secara nasional sebesar 50% dan UMP DKI Jakarta 3,7 juta pada 1 Januari 2014 adalah mutlak, hapus sistem kerja kontrak dan  outsourcing, serta menuntut pekerja outsourcing BUMN menjadi  pekerja tetap BUMN. Di tempat terpisah, Forum Buruh Lintas Pabrik (FBLP) juga mengeluarkan pernyataan sikap  tentang penolakan buruh terhadap Inpres No. 9 Tahun 2013 berisi antara lain,  Inpres No. 9 Tahun 2013  belum berpihak kepada buruh, karena  penetapan upah yang dilakukan pemerintah hanya berdasarkan  perhitungan inflasi dan harus melalui mekanisme Tripartit. Terbitnya Inpres ini selain akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi, juga bertentangan dengan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Permenakertrans No. 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

Upaya “memprovokasi” agar banyak elemen buruh ataupun elemen lainnya masyarakat untuk mengikuti rencana mogok nasional buruh pada 28 s.d 30 Oktober 2013 juga sudah dilakukan berbagai kalangan. Salah satu organisasi mahasiswa dan buruh yang disinyalir berideologi kiri dalam sikap politiknya menulis seluruh elemen mahasiswa untuk bersatu dan  menyukseskan  aksi mogok nasional buruh pada 28 s.d. 30 Oktober 2013  dengan cara membagi selebaran, aksi unjuk rasa, orasi dan mimbar bebas di pusat-pusat perkumpulan buruh. Keterlibatan mahasiswa dalam mensukseskan aksi mogok nasional tersebut, karena  mempunyai beberapa manfaat di antaranya,  membangun karakter mahasiswa menjadi kerakyatan dan mendekatkan diri pada perjuangan kelas.  Membangun kesadaran bahwa untuk memenangkan perjuangan mencapai kesejahteraan hanya bisa dilakukan melalui kerja sama dengan kelas di luar mahasiswa  baik kalangan buruh, petani, maupun kaum miskin. Menumbuhkan kepercayaan diri rakyat untuk berjuang karena mendapatkan dukungan dari mahasiswa. Buruh dan mahasiswa memiliki keterhubungan yang erat dalam hubungan ekonomi-politik antara lain,  mayoritas mahasiswa ketika telah selesai kuliah  akan menjadi buruh.  Biaya pendidikan yang tinggi akan menyulitkan anak–anak buruh untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Lulusan sarjana kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak sementara buruh dibayang-bayangi ancaman PHK, serta sistem kerja outsourcing sehingga mahasiswa dan buruh sama–sama terancam menjadi pengangguran.

Dari rencana aksi mogok buruh secara nasional pada 28 s.d 30 Oktober 2013, maka wacana yang ingin disampaikan oleh mereka yang mendukung aksi buruh tersebut dengan melakukan eksklusi (mengeluarkan kelompok atau seseorang dari pembicaraan publik) dengan menggunakan media massa sebagai sarana propagandanya. Eksklusi tersebut dilakukan dengan cara marjinalisasi, labeling, stereotype bahkan mendelegitimasi terhadap upaya berbagai kalangan (Kadin, pengusaha bahkan pemerintah) dalam rangka meningkatkan kesejahteraan buruh yang notabene upah buruh di Indonesia saat ini sudah tertinggi di ASEAN.

Sedangkan kelompok masyarakat lainnya yang merasa terganggu kegiatan sehari-harinya termasuk kegiatan bisnisnya dengan rencana mogok kerja tersebut sudah mengklasifikasikan rencana unjuk rasa tersebut jika dilaksanakan sudah masuk kategori melakukan subversi ekonomi, sehingga “wajib” ditindak secara tegas namun terukur.

Ditengah pertarungan “wacana dan propaganda” tersebut, menurut penulis sebaiknya kalangan buruh, petani, mahasiswa ataupun perempuan tidak mengikuti atau tidak mendukung rencana mogok kerja nasional, karena lebih baik meningkatkan kinerja karena dengan peningkatan mutu SDM dan kinerja buruh tidak akan membuat pengusaha untuk rugi dalam membayar mahal mereka. Unjukrasa buruh ataupun mogok kerja nasional hanyalah upaya destruktif yang dapat mengancam buruh dengan meluasnya PHK. Cermati dan tolak ajakan unjuk rasa dan mogok kerja tersebut. (Otjih Sewandarijatun/kw)

*) Otjih Sewandarijatun adalah alumnus Universitas Udayana, Bali.

Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya