Citizen6, Jakarta: Di Indonesia, setiap kali perayaan Imlek di samping identik dengan barongsai, kue keranjang dan angpau tentunya juga akan identik dengan sosok Gus Dur alias Abdurrahman Wahid.
Apa sebab sosok Gus Dur yang juga tokoh NU sekaligus Presiden RI ke IV ini begitu identik dengan perayaan Imlek di Indonesia?
Umumnya orang dan komunitas tionghoa mengenal keterkaitan sosok Gus Dur dalam perayaan Imlek hanya sebatas upayanya menghapus aturan Orde Baru dalam Inpres Nomor 14/1967 yang melarang warga China dan keturunan yang tinggal di Indonesia merayakan peringatan Imlek serta kegiatan agama dan adat istiadat Tionghoa secara terbuka.
Hingga pada saat menjabat Presiden RI ke IV, Gus Dur membuka keran kebebasan beragama bagi masyarakat Tionghoa dengan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya).
Dimulai dari Peristiwa Pernikahan
Seyogyanya menarik untuk disimak, perjalanan Gus Dur dalam pembelaannya terhadap kaum Tionghoa tidak hanya sebatas peristiwa politik penerbitan Inpres Nomor 19/2001. Jauh sebelum itu, pada 1996 sebuah peristiwa penting luput dari pengamatan publik luas, namun tidak bagi Gus Dur. Saat itu pasangan Tionghoa yang menikah secara Konghucu ditolak oleh kantor catatan sipil yang merupakan instutusi legal negara dalam pengesahan pernikahan.
Peristiwa yang melanda pasangan Budi Wijaya dan Lanny Guito di Surabaya itu, sampai ketelinga Gus Dur, setelah sebelumnya kasus tersebut mencuat sampai ke Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) di Jakarta. Gus Dur yang saat itu sudah menjadi ketua PBNU secara lantang membela pasangan Budy-Lanny di pengadilan dengan menjadi saksi. Hingga akhirnya peristiwa lokal tersebut, mencuat dan menjadi isu 'perlawanan' nasional secara terbuka dimasa Orde Baru.
Seiring berjalannya waktu, Gus Dur terus menyuarakan keberpihakan dan pembelaanya kepada kaum minoritas, terutama para etnis keturunan China terkekang yang selama masa Orde Baru. Bahkan sewaktu-waktu Gus Dur secara terang-terangan membuka jati dirinya yang memiliki darah Tionghoa. Gus Dur alias Abdurrahman Wahid mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak.
Gus Dur Keturunan Tionghoa
Dikutip dari laman Wikipedia yang disalin dari buku Zhiwang, Huang, berjudul "Gus Dur Dan Silsilah Tionghoa", Tan Kim Han sendiri berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis, Louis-Charles Damais diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari puteri Campa, seorang puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V.
Di samping alasan pembelaan yang banyak dilakukan Gus Dur terhadap kaum Tionghoa, mungkin alasan silsilah keturunan China itu pulalah yang melatar belakangi komunitas Tionghoa Indonesia menyematkan gelar Bapak Tionghoa Indonesia pada sosok Gus Dur.
Pengangkatan dilakukan 10 Maret 2004 dalam sebuah upacara di Klenteng Tay Kek Sie Semarang. Beragam gelar 'pluaralisme' disematkan pada tokoh peraih 10 Doktor Honoris causa ini, termasuk Lifetime Achievement Award dalam Liputan 6 Awards 2010. Penghargaan ini diserahkan langsung kepada Sinta Nuriyah, istri Gus Dur.
Jadi sangat wajar, jika perayaan Imlek bagi warga Tionghoa di Indonesia akan senantiasa melekat pada sosok Gus Dur. Apalagi perayaan Imlek tahun 2014 kali ini, yang jatuh pada 31 Januari 2013 juga bertepatan dengan hari lahir ke-88 Nahdlatul Ulama (NU) 31 Januari 1926- 2014. (mar)
Penulis
Abdul Rahman Sutara
Jakarta, abdul.sutxxx@kmkonline.co.id
Baca juga:
Pesta Kembang Api Warnai Tahun Baru Imlek di Pangkalpinang
`Gepeng` Dadakan Berebut Berkah Imlek di Klenteng Kwan Tie Bio
10 Wisata Kuda Pacu di Tahun Kuda Kayu
Disclaimer:
Citizen6 adalah media publik untuk warga. Artikel di Citizen6 merupakan opini pribadi dan tidak boleh menyinggung SARA. Isi artikel menjadi tanggung jawab si penulisnya.
Anda juga bisa mengirimkan link postingan terbaru blog Anda atau artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas, kesehatan, keuangan, wisata, kuliner, gaya hidup, sosial media, dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.
Mulai 7 Januari sampai 7 Februari 2014 Citizen6 mengadakan program menulis bertopik dengan tema "Warga Mengadu". Ada hadiah dari Liputan6.com dan Dyslexis Cloth bagi 6 artikel terpilih. Caranya bisa disimak di sini.
Apa sebab sosok Gus Dur yang juga tokoh NU sekaligus Presiden RI ke IV ini begitu identik dengan perayaan Imlek di Indonesia?
Umumnya orang dan komunitas tionghoa mengenal keterkaitan sosok Gus Dur dalam perayaan Imlek hanya sebatas upayanya menghapus aturan Orde Baru dalam Inpres Nomor 14/1967 yang melarang warga China dan keturunan yang tinggal di Indonesia merayakan peringatan Imlek serta kegiatan agama dan adat istiadat Tionghoa secara terbuka.
Hingga pada saat menjabat Presiden RI ke IV, Gus Dur membuka keran kebebasan beragama bagi masyarakat Tionghoa dengan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya).
Dimulai dari Peristiwa Pernikahan
Seyogyanya menarik untuk disimak, perjalanan Gus Dur dalam pembelaannya terhadap kaum Tionghoa tidak hanya sebatas peristiwa politik penerbitan Inpres Nomor 19/2001. Jauh sebelum itu, pada 1996 sebuah peristiwa penting luput dari pengamatan publik luas, namun tidak bagi Gus Dur. Saat itu pasangan Tionghoa yang menikah secara Konghucu ditolak oleh kantor catatan sipil yang merupakan instutusi legal negara dalam pengesahan pernikahan.
Peristiwa yang melanda pasangan Budi Wijaya dan Lanny Guito di Surabaya itu, sampai ketelinga Gus Dur, setelah sebelumnya kasus tersebut mencuat sampai ke Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) di Jakarta. Gus Dur yang saat itu sudah menjadi ketua PBNU secara lantang membela pasangan Budy-Lanny di pengadilan dengan menjadi saksi. Hingga akhirnya peristiwa lokal tersebut, mencuat dan menjadi isu 'perlawanan' nasional secara terbuka dimasa Orde Baru.
Seiring berjalannya waktu, Gus Dur terus menyuarakan keberpihakan dan pembelaanya kepada kaum minoritas, terutama para etnis keturunan China terkekang yang selama masa Orde Baru. Bahkan sewaktu-waktu Gus Dur secara terang-terangan membuka jati dirinya yang memiliki darah Tionghoa. Gus Dur alias Abdurrahman Wahid mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak.
Gus Dur Keturunan Tionghoa
Dikutip dari laman Wikipedia yang disalin dari buku Zhiwang, Huang, berjudul "Gus Dur Dan Silsilah Tionghoa", Tan Kim Han sendiri berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis, Louis-Charles Damais diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari puteri Campa, seorang puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V.
Di samping alasan pembelaan yang banyak dilakukan Gus Dur terhadap kaum Tionghoa, mungkin alasan silsilah keturunan China itu pulalah yang melatar belakangi komunitas Tionghoa Indonesia menyematkan gelar Bapak Tionghoa Indonesia pada sosok Gus Dur.
Pengangkatan dilakukan 10 Maret 2004 dalam sebuah upacara di Klenteng Tay Kek Sie Semarang. Beragam gelar 'pluaralisme' disematkan pada tokoh peraih 10 Doktor Honoris causa ini, termasuk Lifetime Achievement Award dalam Liputan 6 Awards 2010. Penghargaan ini diserahkan langsung kepada Sinta Nuriyah, istri Gus Dur.
Jadi sangat wajar, jika perayaan Imlek bagi warga Tionghoa di Indonesia akan senantiasa melekat pada sosok Gus Dur. Apalagi perayaan Imlek tahun 2014 kali ini, yang jatuh pada 31 Januari 2013 juga bertepatan dengan hari lahir ke-88 Nahdlatul Ulama (NU) 31 Januari 1926- 2014. (mar)
Penulis
Abdul Rahman Sutara
Jakarta, abdul.sutxxx@kmkonline.co.id
Baca juga:
Pesta Kembang Api Warnai Tahun Baru Imlek di Pangkalpinang
`Gepeng` Dadakan Berebut Berkah Imlek di Klenteng Kwan Tie Bio
10 Wisata Kuda Pacu di Tahun Kuda Kayu
Disclaimer:
Citizen6 adalah media publik untuk warga. Artikel di Citizen6 merupakan opini pribadi dan tidak boleh menyinggung SARA. Isi artikel menjadi tanggung jawab si penulisnya.
Anda juga bisa mengirimkan link postingan terbaru blog Anda atau artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas, kesehatan, keuangan, wisata, kuliner, gaya hidup, sosial media, dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.
Mulai 7 Januari sampai 7 Februari 2014 Citizen6 mengadakan program menulis bertopik dengan tema "Warga Mengadu". Ada hadiah dari Liputan6.com dan Dyslexis Cloth bagi 6 artikel terpilih. Caranya bisa disimak di sini.