Liputan6.com, Jakarta Kecenderungan terhadap peningkatan gangguan jiwa atau disabilitas mental semakin besar di era globalisasi dan persaingan bebas ini.
Hal ini disampaikan peneliti dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto, Jawa Tengah, Dewantara Damai Nazar. Menurutnya, ini disebabkan stressor (pemicu stres) dalam kehidupan yang semakin kompleks.
Baca Juga
Peristiwa kehidupan yang penuh tekanan seperti kehilangan orang yang dicintai, putusnya hubungan sosial, pengangguran, masalah pernikahan, kesulitan ekonomi, tekanan dunia kerja, dan diskriminasi meningkatkan risiko hilangnya kesadaran dan penerimaan diri pada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
Advertisement
Dewantara menambahkan, gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara berpikir (cognitive), kemauan (volition), emosi (affective), tindakan (psychomotor), dan kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan mental.
Keabnormalan tersebut mencakup gangguan jiwa (Neurosa), dan sakit jiwa (Psikosa). Keabnormalan dapat terlihat dalam berbagai macam gejala utama yakni ketegangan (tension), rasa putus asa, murung, gelisah, cemas, perbuatan-perbuatan yang terpaksa (convulsive), histeria, rasa lemah, tidak mampu mencapai tujuan, takut, dan pikiran-pikiran buruk.
Gangguan jiwa juga disebut disabilitas mental, yaitu kondisi terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku seseorang. Gangguan ini mencakup skizofrenia, bipolar, depresi, anxiety (cemas), dan gangguan kepribadian.
Ada pula disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di antaranya autisme dan hiperaktif.
“Penyandang disabilitas mental masih dianggap sebagai hal yang memalukan atau sebuah aib bagi keluarga atau kerabat yang salah satu anggota keluarga mengalami gangguan kesehatan mental atau kejiwaan,” tulis Dewantara dalam penelitiannya yang berjudul Penerimaan Diri Sebagai Penyandang Disabilitas Mental Dalam Proses Rehabilitasi di Rumah Pelayanan Sosial Disabilitas Mental (RPSDM) “Martani”, Kroya, Cilacap, dikutip Senin (22/2/2021).
Simak Video Berikut Ini
Minimnya Pengetahuan
Dewantara juga meninjau prosiding penelitian dan pengabdian masyarakat yang ditulis oleh Nadira Lubis pada 2015 yang menyatakan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia beranggapan bahwa gangguan kesehatan mental atau kejiwaan tidak dapat disembuhkan sehingga penderitanya layak dikucilkan.
Minimnya pengetahuan tentang kesehatan mental atau kejiwaan, membuat masyarakat Indonesia memberikan penilaian bahwa orang dengan gangguan kesehatan mental atau kejiwaan berbeda dengan penderita sakit fisik yang dapat disembuhkan maupun sulit disembuhkan.
“Sehingga labeling penderita gangguan kesehatan mental atau kejiwaan adalah orang aneh,” kata peneliti.
Hingga penelitian ini diterbitkan pada 2020, kesehatan jiwa masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang signifikan di dunia, termasuk di Indonesia.
Menurut data World Health Organization (WHO) pada 2016, terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 4,5 juta terkena demensia.
Advertisement