Liputan6.com, Jakarta Minum obat secara rutin sesuai arahan dokter adalah hal yang penting bagi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
Menurut dokter di RS Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang, Antari Puspita Primananda, perpaduan obat jiwa jangka pendek dan jangka panjang merupakan strategi untuk membantu mencegah kekambuhan.
Baca Juga
“Walaupun obat yang digunakan baik, tetapi bila penyandang tidak mengonsumsi secara teratur maka umumnya hasil pengobatan akan kurang optimal. Kenyataan lain bahwa obat gangguan jiwa harus dikonsumsi dalam jangka panjang bahkan seumur hidup,” kata Antari mengutip laman Yankes Kemkes, Rabu (26/6/2024).
Advertisement
Dia menambahkan, diperlukan bantuan pengawasan minum obat dari caregiver untuk mengingatkan dan menyediakan obat secara langsung kepada ODGJ. Pasalnya, tingginya tingkat keberhasilan untuk remisi dikaitkan dengan perhatian dan dukungan dari caregiver.
Antari menggarisbawahi, pengobatan tidak akan menyembuhkan ODGJ 100 persen tetapi dengan pengobatan maka waktu remisi pasien menjadi setahun lebih lama dan gejala psikosis tidak akan terlalu parah.
“Hal ini tentunya akan memperingan beban hidup pasien. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa intervensi terhadap masalah kepatuhan ini sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.”
“Hal ini bisa dilakukan melalui terapi kognitif atau perilaku, komunikasi keluarga, dan terapi komunitas untuk meningkatkan kepatuhan minum obat melalui peningkatan pemahaman pasien,” jelas Antari.
Faktor Penentu Kepatuhan ODGJ dalam Minum Obat
Beberapa faktor yang menjadi penentu terjadinya kepatuhan antara lain faktor pasien, dukungan keluarga, efek samping obat, hubungan terapeutik, dan karakteristik penyakit.
Perbedaan kultur dan sistem kesehatan dapat menjadi faktor lain yang menyebabkan ketidakpatuhan pada pasien di Indonesia
Untuk mencapai perbaikan gejala, diperlukan keteraturan atau kepatuhan berobat bagi setiap ODGJ.
Selain itu, lanjut Antari perlu pengawasan dari tenaga kesehatan jiwa setempat atau pemegang program jiwa untuk memantau dan memotivasi ODGJ dan keluarga selama menjalani pengobatan.
ODGJ yang patuh terhadap pengobatan memiliki prognosis yang jauh lebih baik dari pada ODGJ yang tidak patuh terhadap pengobatan.
Advertisement
Jumlah ODGJ Terus Meningkat
Sebelumnya, Antari mengatakan bahwa orang dengan gangguan jiwa atau ODGJ memiliki masalah pada kejiwaannya yang memengaruhi cara berpikir, berperilaku, serta emosinya dalam kehidupan sehari-hari.
Kondisi tersebut menyebabkan pasien kesulitan menjalani hidup dengan normal, terutama dalam berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya.
Jumlah ODGJ di seluruh dunia terus mengalami peningkatan. Data Riset Kesehatan Dasar 2013 mencatat prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia mencapai 1,7 per mil. Artinya, 1-2 orang dari 1.000 penduduk di Indonesia mengalami gangguan jiwa berat.
Kesenjangan pengobatan gangguan jiwa di Indonesia mencapai lebih dari 90 persen. Artinya, kurang dari 10 persen pengidap gangguan jiwa yang mendapatkan layanan terapi oleh petugas kesehatan.
ODGJ dalam Data Riskesdas
Riset Kesehatan Dasar 2007 menyebutkan, prevalensi gangguan mental emosional berupa depresi dan cemas pada masyarakat berumur di atas 15 tahun mencapai 11,6 persen.
Jika jumlah penduduk pada kelompok umur tersebut tahun 2010 ada 169 juta jiwa, jumlah pengidap gangguan jiwa adalah 19,6 juta orang.
Dari Riskesdas 2007, Prevalensi gangguan jiwa tertinggi ada di Jawa Barat sebesar 20 persen. Semakin bertambah umur, jumlah pengidap gangguan mental makin besar.
Sementara, Riskesdas 2018 menunjukkan data kasus ODGJ berat adalah 1,8 per 1000 penduduk atau 429.332 ODGJ Berat.
Gangguan jiwa lebih banyak dialami mereka yang berpendidikan rendah, yaitu yang tidak tamat sekolah dasar.
Perlakuan dan penanganan yang tidak tepat justru bisa berakibat buruk bagi kondisi pasien, bahkan memperparah penyakit yang dideritanya. Padahal, dengan pengobatan yang benar, kualitas hidup ODGJ akan lebih baik.
Advertisement