Liputan6.com, Jakarta Pidana tutupan merupakan salah satu jenis sanksi pidana pokok yang dikenal dalam sistem pemidanaan di Indonesia. Secara sederhana, pidana tutupan dapat didefinisikan sebagai bentuk hukuman alternatif dari pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa atas pertimbangan tertentu.
Meskipun termasuk dalam jenis pidana pokok, pidana tutupan memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dari jenis pidana lainnya seperti pidana penjara atau kurungan. Beberapa hal penting terkait pengertian pidana tutupan antara lain:
- Diatur dalam Pasal 10 KUHP sebagai salah satu jenis pidana pokok
- Merupakan alternatif dari pidana penjara
- Dapat dijatuhkan kepada terdakwa atas pertimbangan tertentu
- Pelaksanaannya dilakukan di tempat khusus yang disebut Rumah Tutupan
- Bertujuan memberikan perlakuan yang lebih baik dibanding pidana penjara biasa
Advertisement
Jadi pada intinya, pidana tutupan adalah jenis hukuman alternatif yang dapat diberikan kepada terpidana dengan pertimbangan khusus, dimana pelaksanaannya dilakukan di tempat yang berbeda dari penjara biasa dengan perlakuan yang lebih baik.
Advertisement
Sejarah Pidana Tutupan di Indonesia
Pidana tutupan memiliki sejarah yang cukup panjang dalam sistem hukum pidana Indonesia. Jenis hukuman ini pertama kali diperkenalkan melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan. Beberapa poin penting terkait sejarah pidana tutupan di Indonesia antara lain:
- Diundangkan pada tanggal 31 Oktober 1946
- Merupakan penambahan jenis pidana pokok dalam Pasal 10 KUHP
- Dilatarbelakangi kondisi politik dan keamanan pasca kemerdekaan
- Bertujuan memberikan alternatif hukuman bagi pelaku kejahatan politik
- Pernah diterapkan dalam kasus Peristiwa 3 Juli 1946
Penerapan pidana tutupan pertama kali terjadi dalam kasus yang dikenal sebagai Peristiwa 3 Juli 1946 atau "Tiga Juli Affaire". Kasus ini melibatkan beberapa tentara yang menolak kebijakan pemerintah untuk berunding dengan Belanda dan memilih melawan menggunakan senjata. Mahkamah Militer saat itu menjatuhkan pidana tutupan kepada para terdakwa dengan pertimbangan bahwa tindakan mereka didorong oleh maksud yang patut dihormati.
Meskipun telah diatur sejak 1946, penerapan pidana tutupan dalam praktik peradilan pidana di Indonesia sangat jarang terjadi. Setelah kasus Peristiwa 3 Juli 1946, hampir tidak ada lagi putusan pengadilan yang menjatuhkan jenis hukuman ini. Hal ini menunjukkan bahwa pidana tutupan memang dimaksudkan sebagai jenis hukuman yang bersifat khusus dan tidak umum diterapkan.
Advertisement
Dasar Hukum Pidana Tutupan
Pengaturan mengenai pidana tutupan di Indonesia didasarkan pada beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan
- Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1948 tentang Rumah Tutupan
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP (KUHP Baru)
Dalam KUHP, pidana tutupan dimasukkan sebagai salah satu jenis pidana pokok melalui Pasal 10. Namun KUHP sendiri tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai definisi dan penerapan pidana tutupan. Pengaturan lebih rinci mengenai pidana tutupan kemudian diatur dalam UU No. 20 Tahun 1946 dan PP No. 8 Tahun 1948.
UU No. 20 Tahun 1946 menjadi dasar hukum utama yang mengatur mengenai pidana tutupan. Undang-undang ini mengatur antara lain mengenai syarat penjatuhan pidana tutupan, kewenangan hakim, serta pelaksanaan hukuman. Sementara PP No. 8 Tahun 1948 secara khusus mengatur mengenai Rumah Tutupan sebagai tempat pelaksanaan pidana tutupan.
Dalam perkembangannya, pidana tutupan juga dimasukkan sebagai salah satu jenis pidana pokok dalam KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023). Hal ini menunjukkan bahwa konsep pidana tutupan masih dipertahankan dalam pembaruan hukum pidana di Indonesia.
Syarat Penjatuhan Pidana Tutupan
Penjatuhan pidana tutupan tidak dapat dilakukan secara sembarangan, melainkan harus memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Beberapa syarat penting yang harus dipenuhi untuk dapat menjatuhkan pidana tutupan antara lain:
- Tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara
- Pelaku terdorong oleh maksud yang patut dihormati
- Perbuatan tidak sedemikian berat sehingga lebih tepat dijatuhi pidana penjara
- Hakim menilai pidana tutupan lebih tepat dibanding pidana penjara
Syarat utama yang harus dipenuhi adalah bahwa tindak pidana yang dilakukan memang diancam dengan pidana penjara. Artinya, pidana tutupan hanya dapat dijatuhkan sebagai alternatif dari pidana penjara, bukan jenis pidana lainnya seperti pidana mati atau denda.
Selain itu, faktor motivasi atau maksud pelaku juga menjadi pertimbangan penting. Undang-undang mensyaratkan bahwa pelaku harus terdorong oleh maksud yang patut dihormati. Meskipun tidak dijelaskan secara rinci, umumnya hal ini merujuk pada motif-motif yang bersifat idealis atau patriotis.
Hakim juga harus mempertimbangkan tingkat keseriusan tindak pidana yang dilakukan. Jika perbuatan dinilai terlalu berat, maka pidana penjara tetap dianggap lebih tepat dibanding pidana tutupan. Penilaian akhir diserahkan sepenuhnya kepada hakim untuk menentukan apakah pidana tutupan memang lebih tepat dijatuhkan dalam kasus konkret.
Advertisement
Perbedaan Pidana Tutupan dengan Pidana Penjara
Meskipun sama-sama merupakan jenis pidana perampasan kemerdekaan, pidana tutupan memiliki beberapa perbedaan signifikan dibandingkan dengan pidana penjara biasa. Beberapa perbedaan utama antara pidana tutupan dan pidana penjara antara lain:
- Tempat pelaksanaan hukuman
- Fasilitas dan perlakuan terhadap terpidana
- Kewajiban kerja bagi terpidana
- Pengaturan kunjungan dan komunikasi
- Sistem pembinaan dan rehabilitasi
Dari segi tempat, pidana tutupan dilaksanakan di Rumah Tutupan yang terpisah dari Lembaga Pemasyarakatan tempat pelaksanaan pidana penjara. Rumah Tutupan dirancang dengan fasilitas yang lebih baik dibanding penjara biasa.
Terpidana tutupan juga mendapatkan perlakuan yang lebih baik, termasuk dalam hal makanan, pakaian, dan fasilitas lainnya. Mereka tidak diwajibkan mengenakan pakaian seragam seperti narapidana biasa.
Dalam hal pekerjaan, terpidana tutupan hanya diwajibkan bekerja di dalam Rumah Tutupan sesuai dengan kemampuan dan keterampilannya. Berbeda dengan narapidana biasa yang dapat dipekerjakan di luar Lapas.
Pengaturan kunjungan dan komunikasi bagi terpidana tutupan juga lebih longgar dibanding narapidana biasa. Mereka memiliki kesempatan lebih besar untuk berkomunikasi dengan keluarga dan kerabat.
Sistem pembinaan dan rehabilitasi bagi terpidana tutupan juga dirancang berbeda, dengan penekanan lebih besar pada aspek pendidikan dan pengembangan diri dibanding narapidana biasa.
Pelaksanaan Pidana Tutupan
Pelaksanaan pidana tutupan diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1948 tentang Rumah Tutupan. Beberapa hal penting terkait pelaksanaan pidana tutupan antara lain:
- Dilaksanakan di Rumah Tutupan yang terpisah dari Lembaga Pemasyarakatan
- Terpidana wajib bekerja di dalam Rumah Tutupan sesuai kemampuan
- Jam kerja dan istirahat diatur oleh Kepala Rumah Tutupan
- Terpidana dapat memperoleh penghargaan atas pekerjaan tambahan
- Makanan dan fasilitas lebih baik dibanding narapidana biasa
- Pengaturan kunjungan dan komunikasi lebih longgar
- Terpidana tidak wajib mengenakan pakaian seragam
Rumah Tutupan sebagai tempat pelaksanaan pidana tutupan memiliki pegawai dan seorang Kepala Rumah Tutupan. Kepala Rumah Tutupan memiliki sejumlah kewenangan, termasuk memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan yang dilakukan terpidana.
Sanksi yang dapat dijatuhkan antara lain berupa teguran, pencabutan hak-hak tertentu, atau hukuman tutupan sunyi. Tutupan sunyi adalah bentuk isolasi dimana terpidana dilarang berkomunikasi dengan siapapun kecuali petugas Rumah Tutupan atau guru agama.
Setelah menjalani masa hukuman, terpidana tutupan harus dibebaskan. Jika terpidana meninggal dunia sebelum masa hukuman berakhir, pemakaman dilakukan oleh keluarga atau sahabatnya. Jika tidak memungkinkan, negara yang akan mengurus pemakamannya.
Advertisement
Penerapan Pidana Tutupan dalam Praktik Peradilan
Meskipun telah diatur dalam peraturan perundang-undangan sejak 1946, penerapan pidana tutupan dalam praktik peradilan pidana di Indonesia sangat jarang terjadi. Beberapa faktor yang menyebabkan jarangnya penerapan pidana tutupan antara lain:
- Syarat penjatuhan yang cukup ketat
- Kurangnya pemahaman aparat penegak hukum
- Tidak tersedianya Rumah Tutupan di banyak daerah
- Kecenderungan hakim memilih pidana penjara
- Sifatnya yang memang dimaksudkan sebagai hukuman khusus
Sepanjang sejarah praktik hukum di Indonesia, hanya ada satu kasus yang tercatat dimana hakim menjatuhkan pidana tutupan. Kasus tersebut adalah Peristiwa 3 Juli 1946 yang diadili oleh Mahkamah Tentara Agung RI pada 27 Mei 1948.
Dalam kasus tersebut, setidaknya ada 7 orang yang dijatuhi pidana tutupan. Para terdakwa diadili dengan dasar Pasal 107 KUHP tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara. Namun hakim menilai bahwa tindakan mereka didorong oleh maksud yang patut dihormati sehingga lebih tepat dijatuhi pidana tutupan.
Setelah kasus tersebut, hampir tidak ada lagi putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana tutupan. Hal ini menunjukkan bahwa jenis hukuman ini memang bersifat sangat khusus dan tidak umum diterapkan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
Pidana Tutupan dalam RUU KUHP
Meskipun jarang diterapkan dalam praktik, konsep pidana tutupan tetap dipertahankan dalam rancangan pembaruan hukum pidana di Indonesia. Dalam Rancangan Undang-Undang KUHP (RUU KUHP), pidana tutupan tetap dimasukkan sebagai salah satu jenis pidana pokok. Beberapa hal penting terkait pengaturan pidana tutupan dalam RUU KUHP antara lain:
- Tetap dimasukkan sebagai salah satu jenis pidana pokok
- Pengaturan lebih rinci dibanding KUHP lama
- Memperluas cakupan penerapan pidana tutupan
- Mengatur lebih jelas mengenai pelaksanaan pidana tutupan
- Memberikan pedoman penjatuhan bagi hakim
RUU KUHP memperluas cakupan penerapan pidana tutupan dengan menyebutkan bahwa jenis hukuman ini juga dapat diterapkan kepada pelaku yang menjalani hukuman karena keadaan pribadi tertentu. Hal ini berbeda dengan pengaturan sebelumnya yang hanya merujuk pada motif atau maksud yang patut dihormati.
Selain itu, RUU KUHP juga mengatur lebih rinci mengenai pelaksanaan pidana tutupan, termasuk mengenai hak-hak terpidana, kewajiban kerja, serta pembinaan dan rehabilitasi. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan pedoman yang lebih jelas bagi aparat penegak hukum dalam menerapkan jenis hukuman ini.
Pengaturan pidana tutupan dalam RUU KUHP menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang masih memandang perlu untuk mempertahankan jenis hukuman ini sebagai alternatif dari pidana penjara dalam kasus-kasus tertentu. Meskipun demikian, efektivitas penerapannya dalam praktik masih perlu dievaluasi lebih lanjut.
Advertisement
Kritik dan Evaluasi terhadap Pidana Tutupan
Sebagai salah satu jenis pidana yang dikenal dalam sistem hukum Indonesia, pidana tutupan tidak lepas dari berbagai kritik dan evaluasi. Beberapa kritik dan evaluasi yang sering disampaikan terhadap konsep pidana tutupan antara lain:
- Jarang diterapkan sehingga dinilai tidak efektif
- Berpotensi menimbulkan diskriminasi dalam penegakan hukum
- Tidak relevan dengan perkembangan sistem pemasyarakatan modern
- Kurangnya infrastruktur pendukung (Rumah Tutupan)
- Ketidakjelasan kriteria "maksud yang patut dihormati"
Kritik utama yang sering disampaikan adalah bahwa pidana tutupan sangat jarang diterapkan dalam praktik sehingga dinilai tidak efektif. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah jenis hukuman ini masih relevan untuk dipertahankan dalam sistem pemidanaan di Indonesia.
Selain itu, konsep pidana tutupan juga dinilai berpotensi menimbulkan diskriminasi dalam penegakan hukum. Adanya perlakuan yang berbeda antara terpidana tutupan dengan narapidana biasa dapat dianggap melanggar prinsip kesetaraan di hadapan hukum.
Dari segi pelaksanaan, ketiadaan Rumah Tutupan di banyak daerah juga menjadi kendala utama. Hal ini menyebabkan pidana tutupan sulit diterapkan meskipun hakim ingin menjatuhkan jenis hukuman ini.
Kriteria "maksud yang patut dihormati" sebagai syarat penjatuhan pidana tutupan juga dinilai terlalu abstrak dan subjektif. Hal ini dapat menimbulkan perbedaan penafsiran di antara aparat penegak hukum.
Terlepas dari berbagai kritik tersebut, beberapa pihak masih memandang bahwa pidana tutupan tetap relevan sebagai alternatif dari pidana penjara dalam kasus-kasus tertentu. Namun demikian, diperlukan evaluasi menyeluruh untuk meningkatkan efektivitas penerapannya dalam praktik.
Kesimpulan
Pidana tutupan merupakan jenis hukuman alternatif yang dikenal dalam sistem pemidanaan di Indonesia. Meskipun telah diatur sejak 1946, penerapannya dalam praktik peradilan sangat jarang terjadi. Beberapa poin penting terkait pidana tutupan antara lain:
- Merupakan alternatif dari pidana penjara untuk kasus-kasus tertentu
- Pelaksanaannya dilakukan di Rumah Tutupan dengan perlakuan lebih baik
- Syarat penjatuhan cukup ketat, termasuk adanya "maksud yang patut dihormati"
- Hanya pernah diterapkan sekali dalam kasus Peristiwa 3 Juli 1946
- Tetap dipertahankan dalam RUU KUHP meski jarang diterapkan
- Mendapat berbagai kritik terkait efektivitas dan potensi diskriminasi
Meskipun jarang diterapkan, keberadaan pidana tutupan menunjukkan upaya sistem hukum Indonesia untuk memberikan alternatif pemidanaan yang lebih manusiawi dalam kasus-kasus tertentu. Namun demikian, diperlukan evaluasi menyeluruh untuk meningkatkan efektivitas penerapannya di masa mendatang.
Advertisement