Ruben Onsu Sakit Apa? Mengenal Empty Sella Syndrome yang Diderita Presenter Kondang

Ruben Onsu dikabarkan menderita Empty Sella Syndrome. Apa itu ESS? Simak penjelasan lengkap tentang gejala, penyebab dan penanganan penyakit langka ini.

oleh Liputan6 diperbarui 03 Jan 2025, 15:44 WIB
Diterbitkan 03 Jan 2025, 15:44 WIB
[Bintang] Ruben Onsu
Saat ditemui di kawasan Tendean Jakarta Selatan pada Rabu (27/12/2017), Ruben mengaku memanfaatkan momen natal tahun ini mengunjungi penyanyi dangdut yang terjerat kasus asusila. (Nurwahyunan/Bintang.com)

Liputan6.com, Jakarta Belakangan ini, publik dihebohkan dengan kabar kesehatan presenter kondang Ruben Onsu yang kembali memburuk. Mantan suami Sarwendah ini dikabarkan harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit. Sebelumnya, Ruben memang pernah mengungkapkan bahwa dirinya menderita penyakit langka bernama Empty Sella Syndrome (ESS). Lantas, apa sebenarnya Empty Sella Syndrome yang diderita Ruben Onsu? Bagaimana gejala, penyebab dan penanganannya? Simak penjelasan lengkapnya dalam artikel berikut ini.

Apa Itu Empty Sella Syndrome?

Empty Sella Syndrome atau Sindrom Sella Kosong adalah suatu kondisi langka yang menyerang struktur tulang di dasar otak yang disebut sella turcica. Sella turcica merupakan rongga kecil berbentuk pelana di tulang sphenoid yang berfungsi melindungi dan menopang kelenjar pituitari. Pada penderita ESS, rongga sella turcica ini terlihat kosong atau hampir kosong saat diperiksa menggunakan pencitraan seperti MRI atau CT scan.

Kelenjar pituitari sendiri adalah kelenjar kecil berukuran sebesar kacang polong yang terletak di dasar otak, tepat di bawah hipotalamus. Kelenjar ini berperan sangat penting dalam mengatur berbagai fungsi tubuh karena menghasilkan berbagai hormon yang mengontrol kelenjar endokrin lainnya. Beberapa hormon yang dihasilkan kelenjar pituitari antara lain:

  • Hormon pertumbuhan (GH)
  • Hormon perangsang tiroid (TSH)
  • Hormon adrenokortikotropik (ACTH)
  • Hormon perangsang folikel (FSH)
  • Hormon luteinizing (LH)
  • Prolaktin
  • Oksitosin
  • Vasopresin

Pada penderita ESS, kelenjar pituitari mengalami penyusutan atau penipisan sehingga terlihat rata atau hampir tidak terlihat pada hasil pencitraan. Hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor, seperti peningkatan tekanan cairan serebrospinal di sekitar otak, tumor, atau riwayat radiasi di kepala. Meski demikian, pada sebagian besar kasus ESS, kelenjar pituitari masih dapat berfungsi normal meskipun ukurannya mengecil.

Jenis-jenis Empty Sella Syndrome

Berdasarkan penyebabnya, Empty Sella Syndrome dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:

1. Empty Sella Syndrome Primer

ESS primer terjadi ketika terdapat cacat anatomi kecil di atas kelenjar pituitari yang memungkinkan cairan serebrospinal mengisi sebagian atau seluruh sella turcica. Kondisi ini biasanya terjadi tanpa adanya penyebab yang jelas dan sering ditemukan secara tidak sengaja saat dilakukan pencitraan otak untuk alasan lain. ESS primer lebih sering terjadi pada wanita, terutama yang mengalami obesitas atau hipertensi.

2. Empty Sella Syndrome Sekunder

ESS sekunder terjadi sebagai akibat dari kondisi lain yang menyebabkan kerusakan atau penyusutan kelenjar pituitari. Beberapa penyebab ESS sekunder antara lain:

  • Tumor pituitari
  • Terapi radiasi di area kepala
  • Operasi otak di daerah kelenjar pituitari
  • Cedera kepala berat
  • Peningkatan tekanan intrakranial
  • Sindrom Sheehan (kekurangan oksigen pada kelenjar pituitari saat melahirkan)

Gejala Empty Sella Syndrome

Sebagian besar penderita ESS tidak menunjukkan gejala yang spesifik. Namun pada beberapa kasus, ESS dapat menyebabkan gangguan fungsi kelenjar pituitari sehingga menimbulkan berbagai gejala. Beberapa gejala yang mungkin dialami penderita ESS antara lain:

  • Sakit kepala kronis
  • Tekanan darah tinggi (hipertensi)
  • Kelelahan
  • Gangguan fungsi seksual (impotensi pada pria, penurunan libido)
  • Gangguan menstruasi pada wanita
  • Infertilitas
  • Gangguan penglihatan
  • Kebocoran cairan serebrospinal dari hidung (rinorea)
  • Pembengkakan diskus optikus (papiledema)

Pada kasus Ruben Onsu, ia mengaku mengalami beberapa gejala seperti tidak tahan berada di tempat dingin, penglihatan yang terganggu, serta tubuh yang mudah lemas. Ruben mengatakan, "Kalau kedinginan banget, gue bisa nggak engeh matanya. Mata jadi kayak buram, kabur, kaku kayak nggak bisa bergerak badannya."

Selain itu, Ruben juga pernah mengalami perbedaan suhu antara tangan kanan dan kirinya. Hal ini diungkapkan oleh rekan sesama presenter, Irfan Hakim, yang pernah diminta Ruben untuk memegang kedua tangannya. "Ruben pernah panggil gue, suruh pegang dua tangannya. Tahu enggak? Kiri sama kanan suhunya beda," ujar Irfan Hakim.

Penyebab Empty Sella Syndrome

Penyebab pasti dari Empty Sella Syndrome, terutama pada kasus ESS primer, masih belum diketahui secara pasti. Namun, beberapa faktor yang diduga berperan dalam terjadinya ESS antara lain:

1. Kelainan Anatomi Bawaan

Pada sebagian orang, terdapat cacat bawaan pada jaringan yang melapisi otak (diafragma sellae) yang memungkinkan cairan serebrospinal memasuki sella turcica. Hal ini dapat menyebabkan tekanan pada kelenjar pituitari sehingga kelenjar tersebut menjadi rata atau menyusut.

2. Peningkatan Tekanan Intrakranial

Kondisi yang menyebabkan peningkatan tekanan di dalam tengkorak, seperti tumor otak atau hipertensi intrakranial idiopatik, dapat menyebabkan herniasi ruang subarachnoid. Hal ini dapat mengakibatkan kompresi pada kelenjar pituitari.

3. Trauma Kepala

Cedera kepala yang parah, seperti cedera otak traumatis, dapat menyebabkan kerusakan pada kelenjar pituitari atau struktur di sekitarnya.

4. Tumor Pituitari

Adanya tumor pada kelenjar pituitari (adenoma hipofisis) dapat memberikan tekanan pada kelenjar tersebut dan menyebabkan kerusakan.

5. Terapi Radiasi

Pengobatan radiasi untuk tumor otak atau kondisi lain di area kepala dapat menyebabkan kerusakan pada kelenjar pituitari.

6. Sindrom Sheehan

Kondisi ini terjadi ketika seseorang mengalami kehilangan darah dalam jumlah besar saat melahirkan, yang dapat menyebabkan kekurangan oksigen pada kelenjar pituitari dan mengakibatkan kerusakan.

Diagnosis Empty Sella Syndrome

Diagnosis Empty Sella Syndrome umumnya dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain:

1. Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Medis

Dokter akan melakukan pemeriksaan fisik menyeluruh dan menanyakan riwayat medis pasien, termasuk gejala yang dialami dan riwayat penyakit sebelumnya.

2. Pencitraan Otak

Metode utama untuk mendiagnosis ESS adalah melalui pencitraan otak, seperti:

  • MRI (Magnetic Resonance Imaging): Teknik ini memberikan gambaran detail struktur otak, termasuk sella turcica dan kelenjar pituitari.
  • CT Scan (Computed Tomography): Meskipun tidak sedetail MRI, CT scan juga dapat membantu mendeteksi kelainan pada sella turcica.

3. Tes Hormon

Untuk mengevaluasi fungsi kelenjar pituitari, dokter mungkin akan melakukan serangkaian tes hormon, termasuk:

  • Tes kadar hormon pertumbuhan
  • Tes fungsi tiroid
  • Tes kadar kortisol
  • Tes hormon reproduksi (FSH, LH, estradiol, testosteron)
  • Tes kadar prolaktin

4. Tes Penglihatan

Karena ESS dapat mempengaruhi penglihatan, dokter mungkin akan melakukan pemeriksaan mata dan tes lapang pandang.

5. Pemeriksaan Cairan Serebrospinal

Jika dicurigai adanya kebocoran cairan serebrospinal, dokter mungkin akan melakukan pungsi lumbal untuk menganalisis cairan tersebut.

Dalam kasus Ruben Onsu, diagnosis ESS dilakukan melalui pemeriksaan MRI. Ia mengungkapkan, "Kemarin itu aku sudah MRI, jadi ada bercak-bercak putih di bagian otak, dan yang kedua juga ada empty sella syndrome."

Pengobatan Empty Sella Syndrome

Pengobatan Empty Sella Syndrome tergantung pada gejala yang dialami pasien dan ada tidaknya gangguan fungsi hormon. Beberapa pendekatan pengobatan yang mungkin dilakukan antara lain:

1. Observasi

Jika ESS tidak menimbulkan gejala dan fungsi kelenjar pituitari normal, biasanya tidak diperlukan pengobatan khusus. Pasien hanya perlu melakukan pemeriksaan rutin untuk memantau kondisinya.

2. Terapi Penggantian Hormon

Jika ESS menyebabkan gangguan produksi hormon, dokter akan meresepkan obat-obatan untuk menggantikan hormon yang kurang, seperti:

  • Hormon tiroid sintetis
  • Hormon pertumbuhan
  • Kortikosteroid
  • Hormon seks (estrogen atau testosteron)

3. Pengobatan Simptomatik

Untuk mengatasi gejala tertentu, dokter mungkin akan memberikan pengobatan seperti:

  • Obat pereda nyeri untuk sakit kepala
  • Obat antihipertensi untuk tekanan darah tinggi
  • Obat tetes mata untuk gangguan penglihatan

4. Operasi

Dalam kasus yang jarang, terutama jika terjadi kebocoran cairan serebrospinal, mungkin diperlukan tindakan operasi untuk memperbaiki kelainan anatomis.

5. Perubahan Gaya Hidup

Pasien ESS mungkin perlu melakukan beberapa perubahan gaya hidup, seperti:

  • Menjaga berat badan ideal
  • Menghindari paparan suhu ekstrem
  • Mengelola stres
  • Melakukan olahraga ringan secara teratur
  • Mengatur pola makan sehat

Dalam kasus Ruben Onsu, ia menjalani pengobatan rutin dan harus sering meneteskan obat mata untuk menjaga penglihatannya tetap stabil. Ia juga harus menghindari paparan suhu dingin yang berlebihan karena dapat memicu gejala.

Prognosis dan Komplikasi Empty Sella Syndrome

Prognosis Empty Sella Syndrome umumnya baik, terutama jika tidak ada gangguan fungsi hormon yang signifikan. Sebagian besar penderita ESS dapat menjalani kehidupan normal tanpa komplikasi serius. Namun, beberapa komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita ESS antara lain:

  • Gangguan keseimbangan hormon kronis
  • Infertilitas
  • Gangguan penglihatan permanen
  • Kebocoran cairan serebrospinal yang berulang
  • Peningkatan risiko infeksi otak

Penting bagi penderita ESS untuk melakukan pemantauan rutin terhadap fungsi kelenjar pituitari dan gejala yang mungkin muncul. Dengan penanganan yang tepat dan gaya hidup sehat, sebagian besar penderita ESS dapat menjalani hidup normal dan produktif.

Pencegahan Empty Sella Syndrome

Meskipun tidak ada cara pasti untuk mencegah Empty Sella Syndrome, terutama pada kasus ESS primer yang disebabkan oleh faktor genetik atau kelainan anatomi bawaan, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko terjadinya ESS sekunder:

1. Menjaga Kesehatan Otak

Melindungi otak dari cedera atau trauma dapat membantu mengurangi risiko ESS. Beberapa cara yang dapat dilakukan antara lain:

  • Selalu menggunakan helm saat berkendara sepeda atau motor
  • Menggunakan sabuk pengaman saat berkendara mobil
  • Menghindari olahraga kontak yang berisiko tinggi cedera kepala
  • Mengambil tindakan pencegahan untuk menghindari jatuh, terutama pada lansia

2. Mengelola Tekanan Darah

Hipertensi yang tidak terkontrol dapat meningkatkan risiko terjadinya ESS. Langkah-langkah untuk mengelola tekanan darah meliputi:

  • Menjalani pola makan sehat dan rendah garam
  • Melakukan olahraga teratur
  • Menghindari konsumsi alkohol berlebihan
  • Berhenti merokok
  • Mengelola stres dengan baik
  • Rutin memeriksakan tekanan darah dan mengonsumsi obat antihipertensi sesuai anjuran dokter

3. Menjaga Berat Badan Ideal

Obesitas merupakan salah satu faktor risiko ESS. Menjaga berat badan ideal dapat membantu mengurangi risiko terjadinya kondisi ini. Beberapa tips untuk menjaga berat badan ideal:

  • Mengonsumsi makanan sehat dan bergizi seimbang
  • Membatasi asupan kalori berlebih
  • Melakukan aktivitas fisik secara teratur
  • Menghindari makanan cepat saji dan minuman manis

4. Menghindari Paparan Radiasi Berlebih

Paparan radiasi di area kepala, terutama dalam dosis tinggi, dapat meningkatkan risiko kerusakan kelenjar pituitari. Beberapa langkah yang dapat dilakukan:

  • Menghindari pemeriksaan pencitraan yang tidak perlu
  • Menggunakan pelindung radiasi saat menjalani prosedur medis yang melibatkan radiasi
  • Berkonsultasi dengan dokter mengenai risiko dan manfaat terapi radiasi jika diperlukan

5. Pemeriksaan Kesehatan Rutin

Melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin dapat membantu mendeteksi dini adanya gangguan pada kelenjar pituitari atau kondisi lain yang dapat meningkatkan risiko ESS. Beberapa pemeriksaan yang mungkin dilakukan:

  • Tes fungsi hormon
  • Pemeriksaan tekanan darah
  • Pemeriksaan mata rutin
  • Pencitraan otak jika diperlukan

Mitos dan Fakta Seputar Empty Sella Syndrome

Berikut beberapa mitos dan fakta seputar Empty Sella Syndrome yang perlu diketahui:

Mitos 1: ESS selalu menyebabkan gejala yang parah

Fakta: Sebagian besar penderita ESS tidak mengalami gejala yang signifikan. Banyak kasus ESS ditemukan secara tidak sengaja saat melakukan pencitraan otak untuk alasan lain.

Mitos 2: ESS selalu membutuhkan pengobatan

Fakta: Jika ESS tidak menimbulkan gejala dan fungsi hormon normal, biasanya tidak diperlukan pengobatan khusus. Pemantauan rutin sudah cukup dalam banyak kasus.

Mitos 3: ESS pasti menyebabkan gangguan hormon

Fakta: Meskipun kelenjar pituitari mengalami perubahan bentuk, sebagian besar penderita ESS masih memiliki fungsi hormon yang normal.

Mitos 4: ESS hanya terjadi pada orang dewasa

Fakta: Meskipun lebih jarang, ESS juga dapat terjadi pada anak-anak dan remaja.

Mitos 5: ESS tidak dapat dideteksi

Fakta: ESS dapat dideteksi melalui pencitraan otak seperti MRI atau CT scan, serta pemeriksaan hormon yang menyeluruh.

Kapan Harus Ke Dokter?

Meskipun Empty Sella Syndrome seringkali tidak menimbulkan gejala, ada beberapa kondisi yang mengharuskan seseorang untuk segera berkonsultasi dengan dokter, antara lain:

  • Sakit kepala yang parah dan terus-menerus
  • Gangguan penglihatan yang tiba-tiba atau memburuk
  • Kebocoran cairan dari hidung yang tidak dapat dijelaskan
  • Kelelahan ekstrem yang tidak membaik dengan istirahat
  • Gangguan menstruasi yang signifikan
  • Penurunan libido atau disfungsi seksual yang tiba-tiba
  • Perubahan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
  • Gejala kekurangan hormon seperti kelemahan otot, sensitivitas terhadap dingin, atau kulit kering

Jika Anda mengalami gejala-gejala tersebut, terutama jika Anda memiliki riwayat cedera kepala atau pernah menjalani operasi otak, segera konsultasikan dengan dokter untuk evaluasi lebih lanjut.

Kesimpulan

Empty Sella Syndrome (ESS) yang diderita Ruben Onsu merupakan kondisi langka yang memengaruhi struktur tulang di dasar otak tempat kelenjar pituitari berada. Meskipun sebagian besar kasus ESS tidak menimbulkan gejala serius, beberapa penderita seperti Ruben dapat mengalami gangguan yang mempengaruhi kualitas hidupnya.

Pemahaman yang lebih baik tentang ESS, termasuk gejala, penyebab, dan penanganannya, dapat membantu meningkatkan kesadaran akan kondisi ini. Bagi mereka yang dicurigai mengidap ESS atau mengalami gejala yang mencurigakan, penting untuk segera berkonsultasi dengan dokter untuk mendapatkan diagnosis dan penanganan yang tepat.

Dengan penanganan yang tepat dan gaya hidup sehat, sebagian besar penderita ESS dapat menjalani hidup normal dan produktif. Kasus Ruben Onsu menunjukkan bahwa meskipun menghadapi tantangan kesehatan, seseorang tetap dapat menjalani karir dan kehidupan yang sukses dengan manajemen kondisi yang baik dan dukungan dari orang-orang terdekat.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya