Perbedaan Tembang Macapat dan Geguritan, Memahami Dua Karya Sastra Jawa

Pelajari perbedaan tembang macapat dan geguritan, dua bentuk puisi tradisional Jawa. Ketahui ciri khas, struktur, dan perkembangannya.

oleh Anugerah Ayu Sendari Diperbarui 17 Feb 2025, 19:10 WIB
Diterbitkan 17 Feb 2025, 19:10 WIB
perbedaan tembang macapat dan geguritan
perbedaan tembang macapat dan geguritan ©Ilustrasi dibuat AI... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Tembang macapat dan geguritan merupakan dua bentuk karya sastra puisi dalam khazanah budaya Jawa yang memiliki keunikan dan karakteristik tersendiri. Meskipun keduanya termasuk dalam kategori puisi Jawa, terdapat sejumlah perbedaan mendasar yang membedakan tembang macapat dan geguritan. Artikel ini akan mengupas secara mendalam mengenai definisi, sejarah, struktur, jenis, dan perbedaan antara tembang macapat dan geguritan, serta relevansinya dalam konteks budaya Jawa kontemporer.

Definisi dan Sejarah Tembang Macapat

Tembang macapat merupakan salah satu bentuk puisi tradisional Jawa yang memiliki aturan ketat dalam penulisannya. Istilah "macapat" sendiri memiliki beberapa penafsiran etimologis. Ada yang menyebutkan bahwa "macapat" berasal dari kata "maca papat-papat" yang berarti membaca empat-empat, merujuk pada cara membacanya yang dipenggal setiap empat suku kata. Interpretasi lain menyatakan bahwa "macapat" berasal dari "ma + cepat", yang mengindikasikan cara membacanya yang cepat dan tidak banyak cengkok.

Sejarah tembang macapat dapat ditelusuri hingga masa kejayaan Kerajaan Majapahit pada abad ke-14 hingga 15. Pada masa itu, tembang macapat mulai berkembang sebagai bentuk sastra yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat luas dibandingkan dengan kakawin yang menggunakan bahasa Kawi. Perkembangan tembang macapat semakin pesat pada masa-masa selanjutnya, terutama saat penyebaran agama Islam di Jawa oleh para Wali Songo.

Beberapa tokoh yang dianggap berperan dalam pengembangan tembang macapat antara lain:

  • Sunan Kalijaga, yang dikenal menciptakan tembang macapat untuk media dakwah
  • Raden Ngabehi Ranggawarsita, pujangga besar Keraton Surakarta yang banyak menciptakan karya sastra dalam bentuk tembang macapat
  • KGPAA Mangkunegara IV, yang juga dikenal sebagai pencipta tembang macapat

Tembang macapat memiliki fungsi yang beragam dalam masyarakat Jawa, di antaranya sebagai media pendidikan moral, penyampaian ajaran agama, dokumentasi sejarah, dan hiburan. Hingga saat ini, tembang macapat masih dilestarikan melalui berbagai kegiatan budaya dan pendidikan di Jawa.

Struktur dan Aturan Tembang Macapat

Salah satu ciri khas tembang macapat adalah adanya aturan yang ketat dalam penulisannya. Aturan-aturan ini meliputi:

  1. Guru Gatra: jumlah baris dalam setiap bait
  2. Guru Wilangan: jumlah suku kata dalam setiap baris
  3. Guru Lagu: bunyi vokal pada akhir setiap baris

Setiap jenis tembang macapat memiliki aturan guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu yang berbeda-beda. Berikut adalah contoh aturan untuk beberapa jenis tembang macapat:

  • Maskumambang: 4 baris (8i, 6a, 8i, 8a)
  • Pocung: 4 baris (12u, 6a, 8i, 12a)
  • Asmarandana: 7 baris (8i, 8a, 8e/o, 8a, 7a, 8u, 8a)
  • Sinom: 9 baris (8a, 8i, 8a, 8i, 7i, 8u, 7a, 8i, 12a)
  • Dhandhanggula: 10 baris (10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i, 7a)

Selain aturan-aturan tersebut, tembang macapat juga memiliki pola metrum yang khas, yang menentukan irama dan cara melantunkannya. Setiap jenis tembang macapat memiliki karakter dan watak tersendiri yang sesuai dengan tema atau pesan yang ingin disampaikan.

Jenis-jenis Tembang Macapat

Terdapat 11 jenis tembang macapat yang umum dikenal dalam tradisi sastra Jawa. Setiap jenis memiliki karakteristik dan fungsi yang berbeda-beda. Berikut adalah penjelasan singkat mengenai masing-masing jenis tembang macapat:

  1. Maskumambang: Menggambarkan kesedihan atau penderitaan
  2. Mijil: Melukiskan suasana kelahiran atau awal kehidupan
  3. Sinom: Menggambarkan masa muda yang penuh semangat
  4. Kinanthi: Menceritakan tentang cinta dan kasih sayang
  5. Asmarandana: Mengungkapkan perasaan asmara yang menggebu
  6. Gambuh: Menggambarkan kesetiaan dan kecocokan dalam hubungan
  7. Dhandhanggula: Melukiskan keindahan dan kemanisan hidup
  8. Durma: Menggambarkan suasana marah atau pertempuran
  9. Pangkur: Menceritakan tentang semangat dan tekad yang kuat
  10. Megatruh: Menggambarkan kesedihan karena perpisahan
  11. Pocung: Biasanya digunakan untuk menyampaikan teka-teki atau humor

Urutan tembang macapat ini sering dikaitkan dengan perjalanan hidup manusia, mulai dari kelahiran (Mijil) hingga kematian (Pocung). Setiap jenis tembang memiliki pesan moral dan filosofis yang mendalam, mencerminkan kearifan lokal masyarakat Jawa.

Definisi dan Sejarah Geguritan

Geguritan merupakan bentuk puisi Jawa modern yang berkembang sebagai evolusi dari tembang macapat. Istilah "geguritan" berasal dari kata dasar "gurit" yang berarti coretan atau tulisan. Dalam perkembangannya, geguritan menjadi bentuk ekspresi sastra yang lebih bebas dan tidak terikat oleh aturan-aturan ketat seperti tembang macapat.

Sejarah geguritan dapat ditelusuri hingga awal abad ke-20, ketika pengaruh modernisasi mulai masuk ke dalam dunia sastra Jawa. Pada tahun 1920-an, mulai muncul karya-karya puisi Jawa yang tidak lagi mengikuti pakem tembang macapat. Perkembangan geguritan semakin pesat setelah kemerdekaan Indonesia, seiring dengan munculnya gerakan-gerakan sastra modern di Jawa.

Beberapa tokoh yang berperan penting dalam perkembangan geguritan antara lain:

  • R. Intoyo, salah satu pelopor puisi Jawa modern
  • Subagiyo Ilham Notodijoyo, penyair yang aktif menulis geguritan pada masa awal perkembangannya
  • Suripan Sadi Hutomo, kritikus sastra yang banyak mengkaji perkembangan geguritan

Geguritan menjadi media ekspresi bagi para penyair Jawa untuk mengungkapkan gagasan dan perasaan mereka dengan cara yang lebih bebas dan kontemporer. Tema-tema yang diangkat dalam geguritan pun lebih beragam, mulai dari kritik sosial, politik, hingga eksplorasi estetika bahasa Jawa modern.

Struktur dan Karakteristik Geguritan

Berbeda dengan tembang macapat, geguritan memiliki struktur yang lebih bebas dan tidak terikat oleh aturan-aturan baku. Namun demikian, geguritan tetap memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dari bentuk puisi lainnya:

  1. Bahasa: Geguritan umumnya menggunakan bahasa Jawa modern yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat kontemporer.
  2. Tipografi: Penulisan geguritan lebih bebas, bisa berbentuk bait-bait atau larik-larik yang tidak beraturan.
  3. Diksi: Pemilihan kata dalam geguritan lebih beragam, bisa menggunakan kata-kata sehari-hari hingga ungkapan-ungkapan puitis yang kompleks.
  4. Tema: Geguritan dapat mengangkat berbagai tema, dari yang personal hingga isu-isu sosial dan politik.
  5. Gaya bahasa: Penggunaan majas dan gaya bahasa dalam geguritan lebih fleksibel dan beragam.

Meskipun tidak memiliki aturan baku seperti tembang macapat, geguritan tetap memperhatikan aspek-aspek estetika puisi seperti rima, irama, dan citra. Para penyair geguritan seringkali bereksperimen dengan bentuk dan gaya penulisan untuk menciptakan efek puitis yang kuat.

Jenis-jenis Geguritan

Geguritan, sebagai bentuk puisi Jawa modern, memiliki variasi yang lebih beragam dibandingkan dengan tembang macapat. Meskipun tidak ada klasifikasi baku seperti pada tembang macapat, geguritan dapat dibedakan berdasarkan beberapa aspek:

  1. Berdasarkan bentuk:
    • Geguritan bebas: tidak terikat oleh aturan bait atau jumlah baris tertentu
    • Geguritan berpola: mengikuti pola tertentu dalam jumlah baris atau suku kata, meskipun tidak seketat tembang macapat
  2. Berdasarkan tema:
    • Geguritan lirik: mengungkapkan perasaan dan pengalaman pribadi penyair
    • Geguritan naratif: menceritakan suatu kisah atau peristiwa
    • Geguritan deskriptif: menggambarkan suatu objek atau keadaan
    • Geguritan kritik sosial: mengangkat isu-isu sosial dan politik
  3. Berdasarkan gaya:
    • Geguritan simbolik: banyak menggunakan simbol dan metafora
    • Geguritan imajis: menekankan pada citra visual dan sensori
    • Geguritan eksperimental: bereksperimen dengan bentuk dan bahasa

Keberagaman jenis geguritan ini mencerminkan fleksibilitas dan kebebasan ekspresi yang menjadi ciri khas puisi Jawa modern. Para penyair geguritan dapat memilih bentuk, tema, dan gaya yang paling sesuai untuk mengungkapkan gagasan dan perasaan mereka.

Perbedaan Utama Tembang Macapat dan Geguritan

Meskipun sama-sama merupakan bentuk puisi dalam sastra Jawa, tembang macapat dan geguritan memiliki sejumlah perbedaan mendasar. Berikut adalah perbandingan utama antara kedua bentuk karya sastra tersebut:

  1. Aturan dan struktur:
    • Tembang Macapat: Memiliki aturan ketat dalam hal guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu. Setiap jenis tembang macapat memiliki pola yang baku.
    • Geguritan: Tidak terikat oleh aturan baku, memiliki struktur yang lebih bebas dan fleksibel.
  2. Bahasa:
    • Tembang Macapat: Umumnya menggunakan bahasa Jawa kuna atau tengahan, dengan kosakata yang lebih arkais.
    • Geguritan: Menggunakan bahasa Jawa modern yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat kontemporer.
  3. Cara penyampaian:
    • Tembang Macapat: Biasanya dinyanyikan atau dilantunkan dengan irama tertentu.
    • Geguritan: Umumnya dibacakan atau dideklamasikan tanpa melodi tertentu.
  4. Tema dan isi:
    • Tembang Macapat: Sering mengangkat tema-tema tradisional seperti ajaran moral, sejarah, atau kisah-kisah klasik.
    • Geguritan: Dapat mengangkat tema yang lebih beragam dan kontemporer, termasuk isu-isu sosial dan politik.
  5. Fungsi sosial:
    • Tembang Macapat: Sering digunakan dalam konteks ritual, upacara adat, atau pertunjukan tradisional.
    • Geguritan: Lebih banyak digunakan sebagai media ekspresi personal atau kritik sosial.
  6. Periode perkembangan:
    • Tembang Macapat: Berkembang sejak masa Kerajaan Majapahit hingga masa kolonial.
    • Geguritan: Mulai berkembang pada awal abad ke-20 dan terus berkembang hingga saat ini.
  7. Proses penciptaan:
    • Tembang Macapat: Memerlukan penguasaan aturan-aturan baku dan sering kali diciptakan oleh pujangga istana atau tokoh agama.
    • Geguritan: Dapat diciptakan oleh siapa saja dengan lebih bebas, tanpa harus menguasai aturan-aturan khusus.

Perbedaan-perbedaan ini mencerminkan evolusi sastra Jawa dari bentuk yang lebih tradisional dan terikat aturan (tembang macapat) menuju bentuk yang lebih modern dan bebas (geguritan). Meskipun demikian, kedua bentuk karya sastra ini tetap memiliki nilai dan peran penting dalam khazanah budaya Jawa.

Relevansi Tembang Macapat dan Geguritan dalam Konteks Modern

Meskipun berakar dari tradisi yang berbeda, baik tembang macapat maupun geguritan tetap memiliki relevansi dalam konteks masyarakat Jawa modern. Berikut adalah beberapa aspek yang menunjukkan pentingnya kedua bentuk karya sastra ini di era kontemporer:

  1. Pelestarian budaya:
    • Tembang Macapat: Menjadi sarana untuk melestarikan nilai-nilai tradisional dan kearifan lokal masyarakat Jawa.
    • Geguritan: Memungkinkan ekspresi budaya Jawa dalam bentuk yang lebih kontemporer dan relevan dengan zaman.
  2. Pendidikan:
    • Tembang Macapat: Digunakan dalam pembelajaran bahasa dan sastra Jawa di sekolah-sekolah, membantu siswa memahami struktur bahasa Jawa klasik.
    • Geguritan: Menjadi media untuk mengajarkan kreativitas dan ekspresi diri dalam bahasa Jawa modern.
  3. Kritik sosial:
    • Tembang Macapat: Meskipun lebih subtil, beberapa tembang macapat klasik mengandung kritik terhadap penguasa atau kondisi sosial.
    • Geguritan: Menjadi sarana yang lebih eksplisit untuk menyuarakan kritik sosial dan politik dalam masyarakat Jawa kontemporer.
  4. Inovasi seni:
    • Tembang Macapat: Menjadi inspirasi bagi seniman modern untuk menciptakan karya-karya baru yang mengadaptasi bentuk tradisional.
    • Geguritan: Membuka ruang eksperimentasi dalam sastra Jawa, mendorong inovasi dalam penggunaan bahasa dan bentuk puisi.
  5. Identitas kultural:
    • Tembang Macapat: Menjadi simbol identitas budaya Jawa yang khas, membedakannya dari budaya lain di Indonesia.
    • Geguritan: Menunjukkan dinamika dan perkembangan budaya Jawa yang mampu beradaptasi dengan perubahan zaman.

Dalam praktiknya, banyak seniman dan sastrawan Jawa kontemporer yang mengombinasikan elemen-elemen tembang macapat dan geguritan dalam karya-karya mereka. Hal ini menunjukkan bahwa kedua bentuk sastra ini tidak harus dilihat sebagai dikotomi, melainkan sebagai spektrum ekspresi budaya Jawa yang saling melengkapi.

Tantangan dan Peluang Pelestarian Tembang Macapat dan Geguritan

Melestarikan dan mengembangkan tembang macapat dan geguritan di era modern bukanlah tanpa tantangan. Namun, di balik tantangan tersebut juga terdapat berbagai peluang yang dapat dimanfaatkan. Berikut adalah beberapa tantangan dan peluang dalam upaya pelestarian kedua bentuk sastra Jawa ini:

Tantangan:

  1. Modernisasi dan globalisasi:
    • Pengaruh budaya global yang semakin kuat dapat menggeser minat masyarakat terhadap sastra tradisional.
    • Penggunaan bahasa Jawa yang semakin berkurang di kalangan generasi muda.
  2. Kurangnya regenerasi:
    • Semakin sedikitnya generasi muda yang menguasai tembang macapat atau tertarik menulis geguritan.
    • Berkurangnya jumlah guru atau seniman yang mampu mengajarkan tembang macapat secara komprehensif.
  3. Keterbatasan akses:
    • Sulitnya akses terhadap naskah-naskah tembang macapat klasik atau karya-karya geguritan yang berkualitas.
    • Kurangnya platform atau media yang secara khusus mempromosikan sastra Jawa.
  4. Persepsi kuno:
    • Anggapan bahwa tembang macapat dan geguritan adalah bentuk seni yang kuno dan tidak relevan dengan kehidupan modern.
    • Kurangnya inovasi dalam penyajian atau pengajaran sastra Jawa.

Peluang:

  1. Teknologi digital:
    • Pemanfaatan platform digital untuk menyebarluaskan dan mengajarkan tembang macapat dan geguritan.
    • Pengembangan aplikasi atau game edukasi berbasis sastra Jawa.
  2. Kolaborasi lintas disiplin:
    • Mengintegrasikan tembang macapat dan geguritan dengan bentuk seni modern seperti musik kontemporer atau seni visual.
    • Kolaborasi antara sastrawan Jawa dengan seniman dari disiplin lain untuk menciptakan karya-karya inovatif.
  3. Revitalisasi pendidikan:
    • Mengembangkan kurikulum yang lebih menarik dan interaktif untuk pembelajaran sastra Jawa di sekolah.
    • Menyelenggarakan festival atau kompetisi sastra Jawa untuk menarik minat generasi muda.
  4. Diplomasi budaya:
    • Mempromosikan tembang macapat dan geguritan sebagai bagian dari diplomasi budaya Indonesia di kancah internasional.
    • Mengadakan pertukaran budaya dengan komunitas sastra dari daerah atau negara lain.
  5. Ekonomi kreatif:
    • Mengembangkan industri kreatif berbasis sastra Jawa, seperti penerbitan buku, produksi pertunjukan, atau merchandise budaya.
    • Memanfaatkan tembang macapat dan geguritan sebagai daya tarik pariwisata budaya.

Dengan memahami tantangan dan memanfaatkan peluang yang ada, upaya pelestarian dan pengembangan tembang macapat dan geguritan dapat dilakukan secara lebih efektif dan berkelanjutan. Diperlukan kolaborasi antara berbagai pihak, mulai dari pemerintah, lembaga pendidikan, komunitas sastra, hingga masyarakat umum untuk mewujudkan hal ini.

Kesimpulan

Tembang macapat dan geguritan merupakan dua bentuk karya sastra Jawa yang memiliki karakteristik dan sejarah perkembangan yang berbeda. Tembang macapat, dengan aturannya yang ketat dan nuansa tradisionalnya, mewakili warisan sastra klasik Jawa. Di sisi lain, geguritan hadir sebagai bentuk ekspresi sastra Jawa yang lebih modern dan bebas.

Meskipun memiliki perbedaan yang signifikan, baik tembang macapat maupun geguritan tetap memiliki peran penting dalam melestarikan dan mengembangkan budaya Jawa. Keduanya menawarkan cara yang unik untuk mengekspresikan gagasan, perasaan, dan nilai-nilai masyarakat Jawa dari masa ke masa.

Di era modern, tantangan utama adalah bagaimana menjaga relevansi kedua bentuk sastra ini agar tetap diminati dan diapresiasi oleh generasi muda. Diperlukan inovasi dan kreativitas dalam pengajaran, penyajian, dan pengembangan tembang macapat dan geguritan agar dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan esensi kulturalnya.

Pada akhirnya, memahami perbedaan dan karakteristik unik dari tembang macapat dan geguritan tidak hanya penting bagi pelestarian budaya, tetapi juga membuka wawasan tentang kekayaan dan dinamika sastra Jawa. Dengan pemahaman yang lebih mendalam, diharapkan masyarakat dapat lebih mengapresiasi dan berpartisipasi dalam menjaga kelangsungan kedua bentuk sastra ini sebagai bagian integral dari identitas budaya Jawa.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence

Video Pilihan Hari Ini

Live dan Produksi VOD

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya