Liputan6.com, Manila - Kehidupan tak pernah berjalan normal di balik jeruji besi. Namun memanusiakan manusia adalah prinsip dasar yang semestinya berlaku di mana saja, termasuk di penjara.
Ini kontras dengan apa yang terjadi di sebuah penjara di Kota Quezon, Filipina. Di sana, ribuan narapidana berjuang hidup setiap hari demi mendapat tempat, air, dan makanan.
Baca Juga
Seperti dilansir Daily Mail, Senin (1/8/2016), lembaga pemasyarakatan itu sebenarnya berkapasitas 800 orang. Namun penghuninya kini mencapai 3.800 orang, sekitar lima kali lipat lebih penuh dari yang seharusnya.Â
Advertisement
Sebagian dari narapidana terpaksa tidur dalam posisi jongkok di sudut ruangan yang berlantai basah. Beberapa di antara mereka bahkan lebih sibuk mengorek paku berkarat dan kecoak mati di dalam jatah makan yang dibagikan.
Ruam dan bisul menjadi hal yang lazim bagi ribuan narapidana yang hidup di dalam bangunan yang kurang ventilasi dan air itu. Mungkin kata higienis tak pernah dikenal di bangunan tersebut.
Terdapat 160-200 orang dalam satu sel yang seharusnya dihuni 20 narapidana. Kondisi penjara yang kelebihan muatan juga membuat para terhukum itu terpaksa tidur di lantai lapangan basket terbuka, anak tangga, kolong tempat tidur. Bahkan, beberapa di antaranya membuat "ayunan" dari selimut tua.
Menurut Inquirer, rumah tahanan itu dibangun enam dekade lalu untuk menempatkan narapidana yang kasus hukumnya masih tertunda.
Foto-foto yang beredar menunjukkan kehidupan sehari-hari para tahanan di mana tempat mereka mandi, memasak makanan, dan berolahraga terletak berdekatan. Dengan mengenakan baju berwarna kuning, ribuan narapidana ini juga berpartisipasi dalam kontes menari berkelompok dan permainan basket.
Kondisi tak manusiawi ini diungkapkan oleh mantan narapidana di penjara itu, Raymund Narag. Pria itu mendekam di sana selama tujuh tahun atas tuduhan pembunuhan terhadap seorang pemuda. Namun menurut dia, ia tak pernah melakukan hal itu.
Selepas bebas, Raymund berangkat ke Amerika Serikat (AS). Ia menempuh pendidikan di jurusan peradilan pidana di Southern Illinois University.
Raymund yang masih berusia 20 tahun ketika ditahan mengatakan, ia mendekam di sel bersama 30 orang lainnya. Kisah hidupnya selama di penjara itu ia bagikan dalam buku berjudul Freedom and Death Inside the Jail.
"Hampir selama tujuh tahun saya merasakan kematian di setiap momen hidup saya," kata dia.
"Laki-laki dipaksa tidur di ruangan berlantai basah, di mana saja ada celah atau dalam posisi jongkok. Itu bisa menyebabkan mereka terserang stroke saking padatnya," kata Raymund.
Menurut Raymund, jatah makan tak pernah datang tepat waktu dan makanan yang diberikan tak ubahnya pakan babi.
"Jatah makanan sangat sedikit dan sering mengandung paku berkarat serta kecoak mati. Ini memaksa orang-orang bertahan dalam kelaparan atau mencuri makanan dari narapidana lain," ujar pria itu.
Kondisi kotor, kekurangan makan, panas terik, serta tak ada ventilasi di dalam sel membuat banyak narapidana jatuh sakit atau menderita ruam dan bisul.
"Narapidana rentan terhadap penyakit menular karena kondisi hidup yang buruk. Mereka tidur berdesak-desakan di mana tak ada ventilasi. Pasokan air minum sangat terbatas. Makanan mereka tidak memiliki kandungan gizi yang memadai, sementara yang sakit dan sehat dikelompokkan dalam sel yang sama," katanya.
Ditambahkan Raymund, setiap bulan terdapat dua-lima orang narapidana meninggal dunia karena sakit di penjara itu. Tingkat kebosanan yang parah juga menyebabkan banyak di antara mereka depresi, sehingga mempertinggi masalah kesehatan mental.
Dalam bukunya, Raymund membagikan kisah seorang tahanan bernama Francis. Pria itu dituduh menganiaya seorang gadis, sesuatu yang disangkalnya. Namun ia tetap dikirim ke penjara sembari menunggu persidangan.
"Ia mendapati dirinya berada dalam sel berukuran 30 meter persegi yang dihuni bersama dengan 180 narapidana lain. Ruang itu pengap, baunya bercampur antara bau keringat, sampah, dan pakaian kotor. Tak ada tempat tidur atau tikar. Pilihannya hanya dua, tidur sambil berdiri atau jongkok di lantai basah," ucap Raymund.
Setelah Raymund meninggalkan tempat itu pada 2002, ia membulatkan tekad untuk menceritakan berbagai kengerian yang dilihat dan dialaminya kepada publik.
"Berjalan melintasi sel-sel di penjara di Kota Quezon membuat siapa saja tersadar betapa jauh tempat itu tertinggal dari standar rumah tahanan normal," tutup Raymund.