Liputan6.com, Sydney - Bangunan Parramatta Girls Home di Sydney menyimpan kisah kelam dan kejam. Hingga saat ini, Jenny McNally, salah satu mantan penghuni gedung itu masih dapat mendengar teriakan-teriakan para gadis yang disekap, diperkosa, dan dianiaya.
Parramatta Girls Home beroperasi mulai dari 1887 hingga 1974. Itu merupakan sebuah lembaga kesejahteraan yang didirikan untuk merawat anak-anak yang tidak memiliki keluarga dan pada saat itu menjadi satu-satunya yang diawasi oleh negara.
Namun faktanya yang terjadi bukannya sejahtera, anak-anak perempuan ini justru menderita. McNally baru berusia 15 tahun ketika ia menemukan dirinya di 'penjara' di mana ia mengenakan seragam, bekerja siang malam kadang disertai hukuman berupa menggosok lantai dengan sikat gigi.
Advertisement
Bahkan ada sebuah ruang isolasi, tempat di mana gadis-gadis disekap selama 24 jam karena dianggap telah melakukan "kejahatan" seperti mencabut alis mereka atau bahkan menjawab omongan. Bangunan yang seharusnya menjadi rumah bagi anak-anak yang hidup sebatang kara itu justru menjadi penjara mengerikan di mana fenomena kelaparan, penganiayaan, dan pelecehan seksual lazim terjadi.
"Anak-anak yang tidak dikunjungi semacam dialokasikan dan saya tidak memiliki keluarga untuk diajak bicara," ujar McNally kepada news.com.au seperti dikutip Liputan6.com, Minggu (2/10/2016).
"Kami dimasukkan dalam penjara gelap bawah tanah dan jika penjaganya adalah perempuan maka akan baik-baik saja. Tapi jika laki-laki, tidak. Apapun bisa saja terjadi di sana. Saya mendapat kekerasan seksual. Butuh waktu lama bagi saya untuk mengatakan pemerkosaan. Saya tak bisa menyebut kata itu...Saya tahu itu terjadi, tapi jika saya mengatakan kata tersebut maka saya semakin terhantui," ujar McNally.
McNally menceritakan ketika suatu hari ia diserang di ruang isolasi, ia menangis berharap pertolongan dan ia 'tak pernah berhenti' melakukannya. Setelah seorang petugas laki-laki meninggalkannya, masuklah seorang petugas perempuan yang merasa iba dan menyelinapkannya keluar dari ruangan itu.
"Saya hanya tidak bisa berada di ruangan gelap itu lagi karena sama sekali tak ada cahaya. Saya ingat ada seorang gadis di penjara gelap bawah tanah, dia berteriak dan terus berteriak dan saya tahu apa yang terjadi. Dia adalah gadis pribumi. Gadis-gadis pribumi dari barat tidak memiliki kesempatan," jelas McNally.
McNally mengaku sempat bertanya kepada petugas perempuan itu mengapa ia tak bisa menghentikan kejahatan di sana, "Namun mereka tak tahu bagaimana, hal tersebut sudah lama terjadi".
"Kami tidak memiliki seorang pun untuk menolong jadi kami harus menerima apa yang terjadi dan melewatinya. Tapi faktanya itu tidak bisa dihapus, itu akan selamanya ada," kata McNally.
Perempuan yang kini berusia 62 tahun itu beruntung karena ia dapat keluar setelah enam bulan mendekam di tempat itu. Dua tahun berikutnya ia meminta bantuan ke lembaga tersebut setelah mengetahui dirinya hamil.
McNally kembali dibawa ke tempat itu di mana ia bertatap muka dengan pelaku kekerasan seksual yang menyerangnya secara sangat brutal.
"Saya melihatnya dengan semua dendam atas apa yang pernah ia lakukan. Saya katakan, setidaknya kali ini ia tak dapat menyakiti saya karena saya hamil," jelas perempuan berkacamata itu.
Namun di luar dugaan, petugas pria itu mengisyaratkannya berulang kali untuk pergi ke suatu tempat.
"Dia meninju perut saya. Saya berteriak dan terus berteriak, namun tak seorang pun bertanya kenapa. Setelah itu saya berusaha menghindarinya dan bersikap baik selama berada di sana," tutur McNally.
Keberuntungan kedua didapat McNally ketika ia jatuh sakit dan dilarikan ke rumah sakit. Di sana, ia menceritakan apa yang dialaminya kepada perawat dan setelah itu ia tak pernah kembali lagi.
Bersama dengan sejumlah korban lainnya, McNally memberanikan diri untuk melaporkan ke Komisi Pelecehan Seksual Anak. Dan mereka telah menerima permintaan maaf dari pemerintahan New South Wales.
'Neraka' Bagi Penghuninya
Bonney Djuric, salah seorang mantan penghuni Parramatta Girls Home dan pendiri kelompok dukungan ParraGirls juga memiliki pengalaman serupa dengan McNally.
"Keluar dari tempat itu Anda tidak akan memiliki rasa percaya, dukungan, seseorang untuk mendengar dan pilihannya tenggelam atau tetap berenang. Jadi banyak yang berakhir dengan obat-obatan atau menjalani hubungan yang kasar," kata Djuric.
Salah seorang pendiri ParraGirls lainnya, Christina Riley meninggal dunia pada awal 2016 akibat bronkitis. Penyakit ini dideritanya setelah ia dipaksa membersihkan kotoran burung di ruang cuci yang terletak di loteng bertahun-tahun lalu.
Nama Riley dan nomornya saat itu masih tergurat dengan jelas pada lantai kayu di ruang isolasi di mana ia dipukuli hingga kulitnya berwarna hitam dan biru.
Setiap hari anak-anak remaja perempuan di tempat itu bangun, membersihkan kamar yang dihuni 36 orang, memakan bubur yang telah dipenuhi serangga, membersihkan bangunan, atau menjahit pakaian mereka sendiri. Dan setiap hari Sabtu, mereka akan dikunci dalam sebuah ruangan di mana mereka akan membersihkan lantai dari kerak lilin.
Toilet di sana berbentuk segi empat dan tak memiliki pintu sehingga petugas laki-laki dapat leluasa 'menonton' gadis-gadis itu.
"Rutinitas mandi adalah bentuk "penghinaan mutlak"," kata Riley.
Namun yang mengerikan dari semua itu adalah, sekelompok remaja perempuan membentuk geng. Mereka tak segan menyerang dan memerkosa sesama.
Pada kesempatan lain, remaja-remaja perempuan itu mencuci celana mereka, dan memperlihatkannya kepada petugas. Ketika pemeriksaan fisik berlangsung, mereka ditelanjangi.
"Begitulah sifat dari operasi institusi, kontrol penuh, represi, disiplin, dan kekuasaan. Adalah petugas laki-laki yang mengontrol lembaga ini. Hukuman yang paling brutal akan selalu diberikan oleh seorang pria," tegas Booney.
Gadis-gadis itu akan dikurung di kamar mereka dan tidak diizinkan pergi tanpa kawalan petugas.
"Begitu Anda melalui pintu dan keluar dari gedung, maka Anda sepenuhnya sadar bahwa Anda benar-benar di dalam penjara. Ada tembok, suara langkah kaki, semua orang berseragam, barang-barang pribadi dirampas, dan Anda diberi nomor," jelas perempuan berusia 62 tahun itu.
Ditambahkan Booney kesan begitu kuat yang dibangun bagi penghuni Parramatta Girls Home bahwa mereka adalah seorang kriminal. Ia bahkan takut memberi tahu orang lain bahwa ia telah berada di rumah karena khawatir akan dilabeli sebagai penjahat.
"Anda mulai melihat tembok-tembok dan di mana-mana ada ruangan yang dipenuhi kata-kata, penuh kerinduan: "Saya disini, saya masih hidup." Tak ada yang bisa dilakukan ketika disini. Pilihannya menggaruk tembok atau tubuh Anda sendiri," ujarnya.
"Jika Anda diam sejenak sekarang maka Anda dapat mendengar semua itu, teriakan penghuni bangunan ini. Tempat yang tak terjangkau, di mana anak-anak dianiaya fisik maupun kekerasan seksual," imbuh perempuan itu.
Advertisement