Petunjuk Mengerikan di Tubuh Pembelot Korut, Senjata Biologis?

Laporan dari Korea Selatan menyebut, Korea Utara mungkin tengah mengembangkan antraks sebagai senjata biologis.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 28 Des 2017, 14:03 WIB
Diterbitkan 28 Des 2017, 14:03 WIB
Kim Jong-un Tinjau Pembuatan Bom Hidrogen
Foto yang dirilis kantor berita Korea Utara (KCNA) di Pyongyang menunjukkan pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un meninjau pembuatan bom hidrogen yang dapat dimasukkan ke dalam rudal balistik antarbenua pada 3 September 2017. (AFP Photo/Kcna Via Kns/Str)

Liputan6.com, Pyongyang - Mencuatnya laporan yang menyebut tentang penemuan antibodi antraks pada tentara Korea Utara yang membelot, memicu momok baru seputar negara tersebut.

Momok baru itu adalah dugaan bahwa Korea Utara mungkin tengah mengembangkan senjata biologis dari bakteri Bacillus anthracis -- penyebab infeksi Antraks.

Kabar tersebut mencuat dari intelijen Korea Selatan yang mengatakan, satu dari empat tentara Korut yang membelot sepanjang tahun 2017, memiliki antibodi antraks di dalam tubuhnya. Demikian seperti dikutip dari USA Today, Kamis (28/12/2017).

Merespons kabar tersebut, analis pertahanan senior Shin Jong-woo dari Korea Defense Security Forum (KODEF) mengatakan, vaksin antibodi antraks mungkin diberikan kepada tentara Korea Utara yang berpartisipasi dalam proyek senjata biologis.

Rudal Berhulu Ledak Antraks?

Sementara itu, pada pekan lalu, beredar kabar yang menyebut bahwa Korea Utara telah memulai tes untuk memuat bakteri antraks dalam hulu ledak rudal balistik antarbenua mereka.

Surat kabar Jepang Asahi Shimbun, mengutip sumber intelijen di Seoul melaporkan, rezim Kim Jong-un diduga kuat menggelar tes ketahanan panas dan tekanan untuk menguji bakteri antraks agar dapat bertahan dalam panas yang hebat rudal balistik antarbenua saat memasuki atmosfer Bumi.

Dugaan itu semakin diperkuat dengan laporan dari Amerika Serikat.

Pemerintahan Presiden AS Donald Trump pekan lalu menuding bahwa Korut telah dan tengah melakukan penelitian dalam bidang "senjata kimia dan biologi" yang dapat dijadikan hulu ledak untuk rudal. Washington DC juga menuduh rezim Kim Jong-un menghabiskan biaya ratusan juta dolar untuk mengembangkan proyek hulu ledak senjata biologis dan kimia.

Kendati demikian, Korea Utara kerap membantah berbagai tuduhan dari komunitas internasional yang menyebut mereka tengah mengembangkan senjata kimia dan biologis. 

Dugaan Rudal Antraks Korea Utara Memicu Resah di Korea Selatan

Korea Utara menggelar perayaan atas kesuksesan tes rudal termutakhir yang dilesatkan pada 29 November lalu. Perayaan itu dilaksanakan di Pyongyang pada 30 November 2017 (Jon Chol-jin/AP)
Korea Utara menggelar perayaan atas kesuksesan tes rudal termutakhir yang dilesatkan pada 29 November lalu. Perayaan itu dilaksanakan di Pyongyang pada 30 November 2017 (Jon Chol-jin/AP)

Mencuatnya kabar dugaan rudal antraks yang tengah dikembangkan oleh Korea Utara itu memicu keresahan di Korea Selatan.

Pada Minggu, 24 Desember 2017, Kantor Kepresidenan Korea Selatan mengonfirmasi bahwa mereka tengah mengembangkan vaksin antraks sepanjang tahun ini. Namun, pihak kepresidenan membantah jika vaksin tersebut hanya akan diberikan kepada pejabat pemerintahan. Komentar itu menyulut kontroversi.

Dugaan kontroversi itu lantas memicu desakan dari sejumlah pihak Korea Selatan yang meminta agar vaksin antraks juga diberikan kepada semua warga Negeri Ginseng.

Guna menghentikan riuh kabar kontroversi tersebut, Juru Bicara Kepresidenan, Cheong Wa-dae mengatakan kepada media bahwa mereka tengah mengimpor 350 vaksin antraks pada 2 November dan menyimpannya di sebuah rumah sakit tentara nasional. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea Selatan juga memiliki vaksin antraks untuk 1.000 pasien yang disiapkan demi menghadapi kasus serangan teror biologis, kata pemerintah.

"Kami belum melakukan tes klinis terhadap vaksin, jadi kami hanya akan menggunakannya untuk mengobati, bukan untuk pencegahannya," kata Cheong Wa-dae.

Korsel: Pembelot Korea Utara Berpotensi Terpapar Radiasi Nuklir

Sukses Luncurkan Rudal Balistik, Korea Utara Pesta Kembang Api
Warga Korea Utara menghadiri sebuah demonstrasi massa untuk merayakan deklarasi Korea Utara di Pyongyang (29/11). Korut menyatakan bahwa negara mereka sudah mencapai targetnya menjadi negara nuklir. (AFP Photo/Kim Won-Jin)

Sejumlah pembelot yang pernah tinggal dekat dengan lokasi tes nuklir Korea Utara menunjukkan gejala berpotensi terpapar radiasi. Kata tim ilmuwan pemerintah Korea Selatan yang memeriksa para pembelot tersebut.

Para pembelot itu berasal dari Kilju, sebuah distrik dekat dengan Punggye-ri Nucleaer Tes Site, Korea Utara. Di lokasi itu selama bertahun-tahun, rezim Kim Jong-un telah melaksanakan seluruh uji coba nuklirnya -- yang sebagian besar dilakukan di bawah tanah.

Ilmuwan Korea Selatan mulai melakukan riset kesehatan kepada para pembelot asal Kilju itu pada Oktober 2017, satu bulan usai Kim Jong-un mengklaim sukses menggelar tes bom termonuklir (bom hidrogen) di Punggye-ri.

Periset mengatakan bahwa beberapa pembelot itu menunjukkan gejala berpotensi terpapar radiasi. Namun, periset belum mampu merilis simpulan akhir yang lebih definitif, mengingat minimnya data yang digunakan. Demikian seperti dilansir The New York Times, Rabu, 27 Desember 2017.

Riset yang dilakukan oleh pemerintah Korsel itu menganalisis 30 subjek penelitian yang seluruhnya merupakan pembelot dari Kilju, Korea Utara. Para subjek merupakan bagian dari 114 pengungsi Kilju yang telah membelot ke Korea Selatan sejak 2006 hingga 2016.

Berdasarkan uji kromosom, ada 4 dari 30 pembelot yang berpotensi telah terpapar radiasi. Sementara itu, subjek penelitian sisanya tak menunjukkan tanda-tanda tersebut.

Namun, temuan jejak radiasi pada keempat subjek penelitian itu sulit untuk dijadikan bukti komprehensif guna menyebut mereka sebagai "korban murni dampak dari aktivitas lokasi tes nuklir Punggye-ri".

Ilmuwan mengira, jejak radiasi itu mungkin dapat dipicu oleh faktor lain di samping Punggye-ri, seperti misalnya; rokok atau usia.

Namun, periset masih membutuhkan sampel lain yang lebih lengkap dan banyak, agar peneliti mampu menunjukkan hasil yang lebih komprehensif serta lebih mendalam.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya