Bulan Jadi Biru... Ini 5 Fakta soal Letusan Dahsyat Gunung Krakatau

Cerita soal letusan Gunung Krakatau sudah terdengar hingga ke mana-mana. Bahkan, letusan ini menjadi salah satu bencana besar yang pernah melanda dunia.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 02 Okt 2018, 20:40 WIB
Diterbitkan 02 Okt 2018, 20:40 WIB
Gunung Anak Krakatau
Gunung Anak Krakatau. (dok BNPB)

Liputan6.com, Jakarta - Sebelum tsunami Aceh, gempa Lombok, Palu, dan Donggala terjadi, ada bencana besar lain yang pernah terjadi di Indonesia. Bahkan, saking besarnya musibah ini, efeknya dapat dirasakan hingga ke seluruh dunia.

Bencana tersebut adalah letusan Gunung Krakatau yang terjadi pada 27 Agustus 1883. Pada Minggu, 26 Agustus 1883, pukul 12.53, letusan permulaan menyemburkan awan gas yang bercampur material vulkanik setinggi 24 kilometer di atas Gunung Perboewatan.

Klimaksnya adalah ledakan mahadahsyat yang terjadi pada Senin, 27 Agustus 1883 pukul 10.02 pagi.

Empat ledakan dahsyat yang terjadi membikin tuli orang-orang yang berada relatif dekat dengan Gunung Krakatau. Namun, gelegarnya terdengar hingga Perth, Australia yang jaraknya 4.500 kilometer.

Cerita soal letusan gunung Krakatau sudah terdengar hingga kemana-mana. Bahkan, letusan ini menjadi salah satu bencana besar yang pernah melanda dunia.

Seperti dikutip dari berbagai sumber, Selasa (2/10/2018), berikut 5 fakta soal Gunung Krakatau yang perlu Anda ketahui:

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

1. Suara Letusan Paling Keras

Ilustrasi letusan Gunung Krakatau pada 1883
Ilustrasi letusan Gunung Krakatau pada 1883 (Wikipedia)

Suara ledakan dan gemuruh letusan Krakatau terdengar sampai radius lebih dari 4.600 km hingga terdengar sepanjang Samudra Hindia, dari Pulau Rodriguez dan Sri Lanka di barat, hingga ke Australia di timur.

Letusan tersebut masih tercatat sebagai suara letusan paling keras yang pernah terdengar di muka Bumi. Siapa pun yang berada dalam radius 10 kilometer niscaya menjadi tuli. The Guiness Book of Records mencatat bunyi ledakan Krakatau sebagai bunyi paling hebat yang terekam dalam sejarah.

"Akibatnya tak hanya melenyapkan sebuah pulau beserta orang-orangnya, melainkan membuat mandek perekonomian kolonial yang berusia berabad-abad," demikian ungkap Simon Winchester, penulis buku Krakatoa: The Day the World Exploded, 27 Agustus 1883.

2. Bulan Menjadi Biru Saat Krakatau Meletus

Dampak letusan Krakatau 1883, karang di dasar laut naik ke daratan
Dampak letusan Krakatau 1883, karang di dasar laut naik ke daratan (Wikipedia)

Sejarah mencatat letusan dahsyat Gunung Krakatau pada Senin, 27 Agustus 1883. Para ilmuwan menyebut kekuatannya setara dengan 100 megaton bom nuklir atau setara 13.000 kali kekuatan bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki.

Letusan Krakatau juga menciptakan fenomena angkasa. Lewat abu vulkaniknya. Abu yang muncrat ke angkasa, membuat Bulan berwarna biru.

Seperti dimuat situs Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA), beberapa partikel abu Krakatau, memiliki ukuran 1 mikron (atau satu per sejuta meter), ukuran yang tepat untuk menghamburkan warna merah, namun masih memberi peluang bagi warna lain untuk menerobos. Sinar Bulan yang bersinar putih berubah menjadi biru, kadang hijau.

Bulan berwarna biru bertahan bertahun-tahun pasca-erupsi. Kala itu, tak hanya Bulan yang penampakannya berubah. Orang-orang saat itu juga menyaksikan Matahari berwarna keunguan seperti lavender.

3. Suhu Global Meningkat

krakatau
Tinggi kolom abu letusan bervariasi antara 200 m hingga 1000 meter dari puncak kawah. (foto: Liputan6.com / BNPB / edhie prayitno ige)

Sejumlah laporan bahkan menyebut, korban letusan Krakatau mencapai 120 ribu. Kerangka-kerangka manusia ditemukan mengambang di Samudra Hindia hingga pantai timur Afrika sampai satu tahun setelah letusan.

Seperti dikutip dari situs sains LiveScience, muncul dinding air setinggi 120 kaki atau 36,5 meter, yang dipicu melesaknya Krakatau dan naiknya dasar laut.

Di wilayah pesisir, suara gelegar terdengar dari kejauhan, suaranya kian dekat dan kuat. Laut pun kemudian menggila.

Tsunami menerjang tanpa ampun, rumah gedek milik pribumi, maupun gedung tembok beratap merah kepunyaan bangsa Eropa di Anyer hancur lebur. Wilayah pesisir lain di Jawa dan Sumatera menemui nasib sama.

Ledakan tersebut melemparkan sekitar 45 kilometer kubik material vulkanik ke atmosfer. Menggelapkan langit yang menaungi wilayah yang berada di radius 442 km dari Krakatau. Barograf di seluruh dunia mendokumentasikan tujuh kali gelombang kejut.

Dalam 13 hari, lapisan sulfur dioksida dan gas lainnya mulai menyaring jumlah sinar matahari yang bisa mencapai Bumi.

Efek atmosfer yang diakibatkan membuat pemandangan matahari terbenam yang spektakuler di seluruh Eropa dan Amerika Serikat. Suhu global rata-rata mencapai 1,2 derajat lebih dingin selama lima tahun setelahnya.

 

4. Bencana Global Pertama yang Diliput dalam Sejarah

krakatau
Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, Banten. (Liputan6.com. Yandhi Deslatama)

Media Forbes menyebut, erupsi Krakatau, dalam beberapa aspek, adalah bencana global pertama yang tercatat dalam sejarah.

Dan, berkat temuan alat komunikasi modern (telegraf), kabarnya segera tersebar ke seluruh dunia.

Jurnal Belanda, Dutch Java Bode, yang pertama mengabarkannya, pada hari yang sama saat Krakatau meletus. Sejumlah media internasional menyusul kemudian.

Kisah letusan Krakatau diabadikan dalam film, buku, dokumenter, bahkan komik. Di sisi lain, letusan Gunung Tambora 70 tahun sebelumnya, yang dampaknya lebih dahsyat hingga mampu mengubah sejarah dunia, nyaris terlupakan.

5. NASA Pantau Anak Krakatau

Sail Krakatau
Sail Krakatau 30 April 2017 diikuti 1.500 peserta (Liputan6.com / Yandhi Deslatama)

Pasca-erupsi dahsyat Krakatau hancur sama sekali. Mulai pada 1927 atau kurang lebih 40 tahun setelahnya, muncul gunung api yang dikenal sebagai Anak Krakatau.

Ia terus meletus secara sporadis sejak saat itu. Ia sedang bertumbuh, terus mendekati ukuran induknya yang hancur berkeping.

Anak Krakatau adalah satu dari 100 gunung berapi yang terus dipantau NASA melalui satelit Earth Observing-1 atau EO-1.

Ada dua alasan yang membuat NASA terus mengamati Anak Krakatau. Selain karena terus-menerus bererupsi, ini juga dilatarbelakangi faktor historis.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya