Liputan6.com, Jakarta - Jika Anda pernah mendengar tentang keberadaan oarfish, mungkin akan langsung teringat tentang mitos yang mengaitkannya sebagai penanda gempa dan tsunami besar. Hal ini diyakini oleh banyak masyarakat di seluruh dunia.
Sejumlah komunitas akademik menilai bahwa mitos itu ada benarnya. Mengingat habitat oarfish yang berada di laut sedalam 1.000 meter, memungkinkannya peka terhadap pergerakan lempeng Bumi di dasar laut.
Ditambah, mungkin saja ikan itu mampu mendeteksi dini tumbukan lempeng di dasar laut yang dapat menjadi sebab-musabab gempa berpotensi tsunami.
Advertisement
Menurut riwayat, seminggu sebelum gempa berkekuatan 8,9 Skala Richter dan tsunami besar melanda pantai timur Jepang pada 11 Maret 2011, ditemukan banyak oarfish yang naik ke daratan pantai Jepang dan sebagian tersangkut di jaring nelayan.
Â
Baca Juga
Tak hanya itu, ilmuwan juga menilai bahwa oarfish bertanggung jawab atas beberapa legenda tentang monster ular laut di sejumlah kebudayaan manusia.
Namun, apakah hal tersebut juga berlaku pada tragedi gempa dan tsunami yang melanda Palu, Donggala, dan Sigi pada Jumat pekan lalu? Tidak ada yang tahu.
Satu catatan yang masih terekam jelas adalah kemunculan oarfish berukuran panjang 3,5 meter di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat pada 18 Juni 2017. Hal itu langsung menarik perhatian warganet.
Kala itu. publik menduga-duga bencana gempa seperti apa yang akan terjadi di tanah Sulawesi, namun pada akhirnya tidak terbukti.
Kemudian ketika gempa dan tsunami melanda Palu, Sigi, dan Donggala pada Jumat pekan lalu, khalayak pun kembali mengaitkan kemunculan oarfish di Majene dengan bencana alam yang telah merenggut lebih dari 1.400 nyawa, berdasarkan data terakhir Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Rabu 3 Oktober.
Tidak hanya kemunculan oarfish, terjadinya gempa dahsyat juga memiliki keterkaitan dengan banyak mitos dan legenda lainnya, seperti dua contoh populer berikut, yang Liputan6.com rangkum dari beragam sumber, Rabu (3/10/2018):
Â
Simak video pilihan berikut:Â
Legenda Kebaikan Hati Hamaguchi
Gempa Ansei-Nankai yang terjadi pada tahun 1854 silam di Jepang, diketahui berkekuatan 8,4 skala Richter. Di Pulau Kyushu yang berlokasi di selatan, bencana tersebut merenggut sekitar 10.000 nyawa.
Namun, banyak masyarakat Negeri Matahari Terbit sibuk menyalahkan seekor lele raksasa, yang dijuluki Nazu. Mitos hewan raksasa ini konon tinggal di bawah perut Bumi, tepat di bawah Jepang.
Gerakan liar ikan berwarna hitam dan berkepala gepeng itu diyakini memicu guncangan hebat. Hanya Dewa Kashima yang bisa mengendalikan polahnya.
Berbeda dengan mayoritas masyarakat Negeri Sakura, seorang pria paruh baya bernama Hamaguchi Gohei, merasa gempa yang dirasakannya itu sangat tak biasa.
Durasinya panjang, gerakan yang berdenyut membuat kepala pria itu puyeng bukan kepalang. Dari balkon rumahnya yang terletak di atas bukit, mata Hamaguchi memandang ke arah kampung halamannya di Hiro-Mura, Semenanjung Kii.
Lalu, ia pun bangkit dari duduknya, memandang ke arah laut yang seketika terlihat gelap gulita. Ombak bergerak terbalik, menjauhi bibir pantai. Segara yang surut membuat ikan-ikan menggelepar di atas pasir. Penduduk desa juga menyaksikan fenomena itu. Ramai-ramai mereka berlarian menuju pantai, ke laut yang mendadak berubah jadi daratan.
Hamaguchi sadar, malapetaka segera terjadi. Tak cukup waktu untuk memperingatkan penduduk desa atau meminta para biksu membunyikan lonceng keras-keras. Ia berpikir keras, dan kemudian ingat tumpukan padi di sawah.Â
Seperti dikutip dari situs Inamuranohi.jp, Hamaguchi menyuruh cucunya yang berusia 10 tahun, Tada, mengambil obor dan kayu pinus. Seketika ia membakar lumbung itu dalam diam.Â
Tanpa perlu menjelaskan alasan tindakannya tersebut, posisi sebagai saudagar kaya di kampungnya, membuat Hamaguchi mudah memengaruhi banyak orang. Banyak warga kemudian mengikutinya beerlari ke atas bukit tanpa berani bertanya lebih jauh.Â
Sesampainya di atas bukit, Hamaguchi langsung menunjuk ke arah laut. Semua mata pun menoleh ke mana ujung jarinya mengarah. Warga desa menyaksikan ombak raksasa meluncur cepat. "Tsunami!," suara teriakan orang-orang teredam gemuruh.
Gelombang gergasi menghantam bukit. Sampai lima kali. Cipratan air bercampur busa membumbung tinggi. Mata-mata mereka menatap sedih ke bawah, ke rumah-rumah yang rata dengan tanah. Harta benda mereka musnah digulung bah.
Kemudian, suara Hamaguchi memecah keheningan. "Itu alasan mengapa aku membakar lumbung padi." Hari itu ia menyelamatkan 400 nyawa.
Advertisement
Syair Smong yang Menyelamatkan Warga Aceh
Pada 26 Desember 2004 silam, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dilanda gempa kuat, yang memicu datangnya tsunami maut. Namun, ada satu wilayah yang sebagian besar warganya selamat, yakni Kabupaten Simeulue.
Terletak di sebuah pulau di barat laut lepas pantai Aceh, Simeulue memegang teguh petuah leluhur, yang menandakan peringatan terhadap bahaya gempa dan tsunami.
Â
Smong dumek-dumek mo (tsunami itu air mandimu)
Linon uwak-uwak mo (aempa ayunanmu)'
Elaik Keudang-keudang mo (petir kendang-kendangmu)
Kilek suluh-suluh mo (halilintar lampu-lampumu)
Â
Angalinon ne mali (jika gempanya kuat)
Oek suruk sauli (disusul air yang surut)
Maheya mihawali (segeralah cari tempat)
Fano me tenggi (dataran tinggi agar selamat)
Â
Masyarakat Simeulue tahu benar syair itu. Kearifan lokal dari nenek moyang yang terbukti menyelamatkan mereka dari maut. Menjadi jembatan informasi antar-generasi tentang bencana yang bahkan yang terdata para ilmuwan gempa.
Berdasarkan penelitian geologi yang dilakukan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh bersama Earth Observatory Singapore (EOS), Pulau Simuelue dan Aceh diperkirakan beberapa kali dihantam tsunami di antaranya pada 1394 dan 1450 Masehi.
Tsunami purba saat itu diperkirkan menjadi penyebab hilangnya Kerajaan Lamuri pada Abad ke-14, dan menenggelamkan pusat Kerajaan Indrapurwa di Ujong Pancu, Peukan Bada, Aceh Besar.
Setelah 1934 dan 1450, tsunami diperkirakan pernah melanda Pulau Simeulue pada 1907.