Liputan6.com, Washington DC - Ketua DPR Amerika Serikat (House of Representatives) Nancy Pelosi, pada Selasa sore (24/9) mengumumkan secara resmi penyelidikan dalam upaya untuk memakzulkan Presiden Donald Trump.
Pengumuman itu datang pasca munculnya laporan media bahwa sang presiden terlibat dalam dugaan penyalahgunaan kekuasaan. Ia dituduh telah membekukan anggaran yang disetujui Kongres bagi Ukraina sementara mendesak negara itu agar menyelidiki salah satu saingan politiknya, demikian seperti dikutip dari VOA Indonesia, Rabu (25/9/2019).
Sebelumnya menghadapi tekanan yang kian memuncak, presiden berjanji untuk merilis “secara lengkap, tanpa diedit dan dinilai tidak rahasia” seluruh pembicaraan telponnya dengan pemimpin Ukraina, yang menjadi pusat perdebatan antara Kongres dan Gedung Putih terkait keluhan seorang pelapor.
Advertisement
Laporan sejumlah media mengatakan Trump telah menekan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy untuk menyelidiki kandidat calon presiden Partai Demokrat Joe Biden dan putranya, Hunter, yang pernah bekerja di sebuah perusahaan gas Ukraina.
"Anda akan melihat betapa sangat bersahabat dan tepatnya pembicaraan telpon itu. Tidak ada tekanan, dan tidak seperti mantan wakil presiden Joe Biden dan putranya, tidak ada janji imbalan! Ini tidak lebih dari sekadar kelanjutan upaya mencari-cari kesalahan terbesar dan paling merugikan sepanjang sejarah!" demikian cuit Trump di Twitter hari Selasa 24 September.
Sebelumnya Trump mengukuhkan ia telah mengatakan kepada stafnya untuk menahan sekitar 400 juta dolar dana bantuan bagi Ukraina selama beberapa hari sebelum melakukan pembicaraan telpon dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy.
"Soal menahan anggaran tersebut, semuanya sudah dikucurkan," ujar Donald Trump. "Tetapi keluhan saya selalu, dan saya akan menahan lagi, dan akan terus menerus menahan dana seperti itu hingga Eropa dan negara-negara lain ikut berkontribusi pada Ukraina."
Trump Bersikeras Tidak Bersalah
Trump bersikeras ia tidak melakukan kesalahan ketika menelpon Zelenskiy, tetapi mengakui bahwa "ada tekanan terkait Joe Biden. Apa yang Joe Biden lakukan bagi putranya merupakan sesuatu yang seharusnya diselidiki."
Tak lama setelah Trump berbicara hari Selasa, tim kampanye Joe Biden mengatakan mantan presiden itu berencana menyerukan Kongres untuk memulai proses pemakzulan terhadap Trump jika pemerintahnya tidak mulai bekerjasama secara penuh dengan penyelidikan Kongres dan memenuhi perintah pengadilan.
Anggota Kongres yang juga tokoh hak-hak sipil John Lewis juga mendukung proses pemakzulan Trump, dengan mengatakan kepada mitra-mitranya di DPR bahwa ia "telah bersabar sambil mengupayakan setiap cara lain" dan mengingatkan "masa depan demokrasi kini menjadi taruhan."
Advertisement
Trump di Tengah Prahara Ukraina dan Eks Wapres Joe Biden
Anggota Kongres yang juga tokoh hak-hak sipil John Lewis juga mendukung proses pemakzulan Trump, dengan mengatakan kepada mitra-mitranya di DPR bahwa ia "telah bersabar sambil mengupayakan setiap cara lain" dan mengingatkan "masa depan demokrasi kini menjadi taruhan."
Prahara ini terasa seperti deja vu Pilpres AS 2016 --yang sama-sama melibatkan Trump, seorang oposisi (Hillary Clinton kala itu) dan negara asing (Rusia).
Seorang politikus oposisi dan kritikus Trump menuduh sang presiden menggunakan kekuasaan kepresidenan untuk menggertak Ukraina agar menggali informasi yang merusak tentang saingan politiknya, Joe Biden.
Biden, pada tahun ini, mengumumkan pencalonan dirinya sebagai capres AS dari jalur kandidasi Partai Demokrat jelang Pilpres AS 2020.
Sementara itu, Trump dan para pendukungnya menuduh mantan wakil presiden itu menyalahgunakan kekuasaannya untuk menekan Ukraina agar mundur dari penyelidikan kriminal yang dapat melibatkan putranya, Hunter Biden.
Dengan kata lain, semua prahara ini adalah demi memperebutkan kursi di Oval Office Gedung Putih tahun depan, demikian seperti dikutip dari BBC, Selasa (24/9/2019).
Bagaimana Kontroversi Baru Itu Bermula?
Tuduhan terhadap Donald Trump bermula ketika ia dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky melakukan pembicaraan telepon pada 25 Juli 2019. Dalam komunikasi itu, Trump dituduh menekan rekannya dari Ukraina untuk menyelidiki mantan Wakil Presiden Joe Biden.