Seperti Jokowi - Prabowo, Para Presiden AS Ini Gaet Rival ke Kabinetnya

Bergabungnya tokoh saingan utama bahkan lintas partai, ke dalam kabinet pemerintahan seorang presiden tak hanya terjadi di Indonesia seperti Jokowi-Prabowo.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 24 Okt 2019, 11:31 WIB
Diterbitkan 24 Okt 2019, 11:31 WIB
Tawa Jokowi dan Prabowo di Istana Merdeka
Presiden Joko Widodo tertawa saat menerima Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (11/10/2019). Dalam pertemuan tersebut mereka membahas permasalahan bangsa dan koalisi. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Langkah Presiden RI Joko Widodo untuk 'merangkul' mantan saingan selama Pilpres 2019, Prabowo Subianto, menjadi anggota kabinet dalam periode kedua pemerintahanya, dinilai sejumlah orang sebagai 'plot twist' paling mengejutkan dalam dinamika politik tanah air tahun ini.

Publik tentu mengingat bagaimana keduanya bak minyak dan air serta melontarkan retorika yang memperuncing persaingan mereka selama kampanye Pilpres --yang bahkan belum genap setahun berlalu.

Sebagian orang menilai bahwa meleburnya seorang pemimpin oposisi utama, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto untuk kemudian menjadi pro-pemerintah dan menyandang titel Menteri Pertahanan RI akan mengancam prinsip checks and balances dalam demokrasi Indonesia.

Terlebih, dengan bergabungnya Gerindra ke dalam koalisi Jokowi, kini menyisakan hanya sekitar 25 persen kursi oposisi di DPR-RI, yang digawangi partai PKS, Demokrat dan PAN.

Namun, bergabunya seorang tokoh saingan utama, bahkan lintas partai, ke dalam sebuah kabinet pemerintahan seorang presiden tak hanya terjadi di Indonesia saja. Salah satu negara demokrasi tertua di dunia, Amerika Serikat, pernah mengalami hal serupa.

Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto mendapat ucapan selamat dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) didampingi Ibu Negara Iriana seusai pelantikan Kabinet Indonesia Maju di Istana Negara, Jakarta, Rabu (23/10/2019). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Dalam sejarah modern, publik mengenal bagaimana Presiden Barack Obama merangkul Hillary Clinton sebagai anggota kabinetnya, bahkan menduduki salah satu posisi strategis dalam pemerintahan sekaligus posisi teratas dalam garis suksesi pengganti presiden.

Clinton adalah saingan Obama dalam bursa capres AS dari Partai Demokrat pada 2008 (2008 Democratic Party presidential primaries). Keduanya bahkan bersaing ketat di internal partai untuk kemudian mewakili Demokrat dalam Pilpres AS 2008 melawan oposisi Partai Republik.

Meski bukan saingan lintas-partai, namun, kontestasi keduanya dalam memperebutkan tiket kandidasi final dalam Pilpres AS 2008 dinilai sebagai salah satu perlombaan terketat dalam sejarah proses nominasi (primaries) Partai Demokrat.

Obama memenangkan persaingan dengan mengantungi delegate count lebih banyak dari Clinton, yakni 2.272 melawan 1.978 --yang akhirnya meloloskan Senator Illinois itu ke dalam Pilpres 2008.

Namun, Obama kalah dalam popular vote (meski popular vote tidak dijadikan penentu kemenangan final) dengan Clinton, di mana ia terpaut kurang dari 300.000 ribu suara dari Clinton (17.535.458 untuk Obama melawan 17.822.145 untuk Clinton) --yang menunjukkan betapa ketatnya persaingan tersebut.

Presiden Amerika Serikat Barack Obama secara resmi mendukung Hillary Clinton (hillaryclinton.com)

Pada akhirnya, Obama menunjuk Clinton sebagai Menteri Luar Negeri AS (2009 - 2013). 'Si Anak Menteng' juga menunjuk saingan lainnya dalam primaries, Joe Biden, sebagai Wakil Presiden AS.

Obama juga melakukan langkah bipartisan dengan menunjuk politikus Partai Republik yang beroposisi sebagai anggota kabinetnya, Ray LaHood sebagai Menteri Transportasi; dan Robert Gates yang mempertahankan posisinya sebagai Menteri Pertahanan sejak era Presiden George W Bush --demikian seperti dikutip dari Bipartisanpolicy.org.

Akan tetapi, yang paling terkenal adalah bagaimana Presiden Abraham Lincoln menunjuk semua mantan pesaingnya dalam bursa capres AS dari Partai Republik pada 1860 (1860 Republican National Convention) sebagai anggota kabinetnya. Mereka adalah: William Seward sebagai Menteri Luar Negeri; Salmon Chase sebagai Menteri Keuangan, dan Edward Bates sebagai Jaksa Agung.

Lincoln kemudian juga melakukan langkah bipartisan, dengan menunjuk politikus Partai Demokrat yang beroposisi, Edwin Stanton, untuk menduduki kursi paling 'panas' dalam kabinetnya yang tengah menghadapi Perang Saudara; Menteri Perang.

"Penjelasan Lincoln kala itu adalah, bahwa mereka merupakan orang terkuat di negara. Ia berkomitmen, pada saat genting (AS saat itu tengah dilanda Perang Saudara), negara membutuhkan orang-orang kuat, dan ia tidak bisa mengabaikan talenta mereka," kata Doris Kearns Goodwin sejarawan dan penulis buku 'Team of Rivals: The Political Genius of Abraham Lincoln' dikutip dari artikel yang ditulis oleh Ellen Fried untuk situs resmi Badan Arsip Nasional AS archives.gov, Kamis (24/10/2019).

File arsip Arsip Nasional ini diambil antara 1861-1865 yang menunjukkan mantan Presiden AS Abraham Lincoln. Lincoln dilantik sebagai Presiden AS ke-16 pada tanggal 4 Maret 1861 (AFP)

"Dengan menempatkan rivalnya dalam kabinet, Lincoln jadi memiliki banyak opsi dan opini, yang ia sadari mampu mempertajam cara berpikirnya sendiri. Itu juga memberikannya cara untuk menampung semua opini bertentangan dalam satu wadah ... jadi, memiliki semua opini itu dalam kabinetnya tak hanya membantu dirinya sendiri, itu turut membantu negara," lanjut Goodwin.

Argumentasi senada tentang mengapa Jokowi akhirnya menunjuk Prabowo sebagai anggota kabinetnya, digambarkan secara sederhana oleh jurnalis senior Kornelius Purba dalam kolom opini untuk The Jakarta Post edisi 24 Oktober 2019.

"Prabowo telah mengikrarkan loyalitas kepada 'bos'-nya, untuk membantu pembangunan negara, khususnya sesuai dengan bidang keahliannya: militer," tulis Kornelius.

"... Dan (bagi Jokowi) adalah keliru jika ia mengesampingkan sifat kenegarawanan Prabowo. Prestasinya di Kabinet akan menunjukkan cintanya pada negaranya --setara dengan Jokowi. Kedua pria itu akan bekerja bersama untuk kebaikan semua orang Indonesia," lanjutnya.

Simak video pilihan berikut:

Ditunjuknya Prabowo sebagai Anggota Kabinet Jokowi Menuai Perhatian Dunia

Prabowo Subianto
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto berjalan memasuki kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (21/10/2019). Prabowo Subianto tiba di Istana di tengah suasana pengumuman calon menteri kabinet Presiden Joko Widodo atau Jokowi. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Kendati demikian, keputusan Presiden RI Joko Widodo untuk menunjuk mantan saingan semasa Pilpres 2019, Prabowo Subianto sebagai anggota kabinetnya pada periode kepresidenan kedua, menuai sorotan media asing --dengan beberapa mengkritiknya.

Outlet surat kabar Singapura, Strait Times, menyorot keputusan Jokowi untuk menjadikan Prabowo sebagai Menteri Pertahanan RI dengan tajuk berita berjudul; "Indonesians angry, disappointed over Jokowi's decision to include Prabowo in new Cabinet."

"Perubahan posisi partainya (Gerindra yang dipimpin Prabowo) --menjadi pro-pemerintah-- telah lama diantisipasi setelah pembicaraannya dengan partai pengusung Jokowi, PDI-P," tulis koresponden Strait Times di Indonesia, Linda Yulisman, dikutip pada Rabu (23/10/2019).

Sementara itu, media Qatar Al Jazeera turut menyorot dengan berita berjudul "Indonesia's Widodo appoints challenger Prabowo to Cabinet."

"Presiden Indonesia Joko Widodo, pada Rabu, menunjuk Prabowo Subianto --pemimpin oposisi Jokowi selama periode presidensi pertamanya dan saingan tunggal dalam pemilu sengit April lalu-- sebagai menteri pertahanan, sebuah langkah yang diperkirakan akan menuai kontroversi," tulis Al Jazeera, mengutip kantor berita internasional Reuters.

Baca selengkapnya...

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya