Tak Sekedar K-Pop dan Drakor, Ini Strategi Korsel di Indonesia hingga India

Sejak 2017 Korea Selatan menerapkan kebijakan New Southern Policy (NSP) di ASEAN dan India. Lebih dari sekedar K-pop dan drakor.

oleh Tanti Yulianingsih diperbarui 08 Mei 2021, 03:42 WIB
Diterbitkan 08 Mei 2021, 03:40 WIB
ajang Indonesian Next Generation Journalist on Korea Workshop pertama, Jumat 9 April 2021 di Jakarta.
Ajang Indonesian Next Generation Journalist on Korea Workshop pertama, Jumat 9 April 2021 di Jakarta. (Liputan6.com/Tanti Yulianingsih)

Liputan6.com, Jakarta - Korea Selatan memiliki sejarah panjang yang membentang selama 5.000 tahun, namun baru pada Abad ke-20 dunia mengenalnya dalam skala yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Berkat K-pop dan drama Korea atau populer disebut 'drakor' di Indonesia. 

Drama-drama seperti Winter Sonata, Dae Jang Geum yang tayang pada tahun 1990-an diyakini menjadi pemula. 

Dan kini, demam Korea atau Korean Wave (Hallyu) melanda Bumi. Dari bahasa, K-pop, K-drama, film, kuliner, wisata, fesyen, dance digemari banyak orang, lintas negara dan budaya. Produk-produk Negeri Ginseng pun laris manis di pasar internasional.

Belakangan, empat piala Oscar 2020 untuk film Parasite, penghargaan Academy Award 2021 di kategori peran pendukung terbaik untuk Yuh-Jung Youn, dan prestasi grup BTS di dunia musik internasional makin memantapkan posisi Korea Selatan di pentas global.

BTS. (Twitter/ bts_bighit)

 

K-pop juga jadi 'senjata rahasia' Korea Selatan untuk menguatkan hubungan dengan negara lain, sembari mempromosikan budayanya. Penampilan grup musik Red Velvet di Korea Utara pada 2018 adalah salah satu contoh dari K-Pop Diplomacy tersebut. 

Namun, Korea Selatan bukan hanya soal K-pop. Strategi diplomasi Seoul sebagai kekuatan menengah (middle power) penting di dunia juga patut disimak. 

Salah satunya terkait New Southern Policy (NSP) atau arah baru kebijakan yang lebih fokus ke selatan, termasuk ke Indonesia.

Diluncurkan Presiden Moon Jae-in pada November 2017, NSP membuka babak baru hubungan Seoul dengan negara-negara ASEAN dan India. 

Kepala Center for ASEAN–India Studies di Korea National Diplomatic Academy (KNDA), Choe Wongi mengatakan, kebijakan NSP bertujuan menyeimbangkan strategi diplomasi di ASEAN dan India.

"Melampaui batasan-batasan sempit hubungan ekonomi dan diplomatik Seoul, yang sangat bergantung hanya pada negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Jepang, dan China," tutur Choe dalam Indonesian Next Generation Journalist on Korea Workshop di Jakarta, Jumat 9 April 2021.

Untuk membuktikan komitmennya terhadap NSP, Presiden Moon Jae-in mengunjungi sepuluh negara ASEAN dalam masa jabatan pertamanya sebagai presiden. Indonesia adalah negara pertama yang ia kunjungi pada tahun 2017. Hal itu menandai pentingnya Indonesia sebagai mitra strategis.

Pada kunjungan tersebut, Presiden Moon Jae-in memberikan kado pernikahan istimewa untuk pasangan putri Presiden Joko Widodo, Kahiyang Ayu dan Bobby Nasution. Yakni, video ucapan selamat dari Minho SHINee dan album EXO. 

Kebijakan New Southern Policy (NSP) juga disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi di dunia. Pada KTT Republik Korea-ASEAN ke-21 pada tahun 2020, Presiden Moon Jae-in meluncurkan NSP Plus, dengan memasukkan kerja sama bidang kesehatan dan medis dalam menanggapi pandemi COVID-19.

 

Tak Mau Terseret Isu AS Vs China

Ilustrasi bendera Korea Selatan
Ilustrasi Korea Selatan (iStock)

Kebijakan NSP memiliki tiga pilar dalam aspek pengembangannya yakni hubungan antar-bangsa (people), kesejahteraan (prosperity), dan perdamaian (peace).

Tiga pilar dalam kebijakan itu, menurut Choe, memberikan penekanan khusus pada upaya peningkatan people-to-people exchange lewat pertukaran budaya, kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan, dan membangun komunitas yang mendukung perdamaian dan keamanan regional.

Di satu sisi, NSP mewakili ambisi Seoul, sebagai kekuatan menengah penting di tengah dunia yang terus berubah, untuk mengambil tanggung jawab dan peran internasional yang lebih besar, yang dianggap sesuai dengan statusnya itu.

Selain itu, NSP juga merefleksikan rasa percaya diri yang tinggi dan keinginan Korea untuk memproyeksikan kepemimpinan dan pengaruhnya sebagai kekuatan menengah di level regional.

Korsel memang berhak percaya diri. Negara tersebut naik kelas secara ekonomi, dengan keberhasilan mengatasi kemiskinan dan kerentanan absolut dalam beberapa dekade. Pada 2008, Seoul bahkan diundang untuk bergabung dalam G20. 

G20 terdiri atas 19 negara dengan perekonomian besar di dunia. Satu anggota lainnya adalah Uni Eropa. 

"Itu membuat banyak orang Korea merasa negerinya akhirnya bergabung di jajaran negara paling kuat dan terkaya di dunia," kata Choe. Di sisi lain, negara-negara berkembang juga melihat pencapaian Korsel sebagai panutan (role model).

Elemen inti pertama dan terpenting dari NSP adalah diversifikasi ekonomi. Tujuannya, untuk menyelaraskan kembali dan memperluas portofolio ekonomi Korsel serta memperkuat hubungan dengan negara-negara Asia Tenggara dan India yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang meningkat.

Motivasi yang mendasari itu adalah untuk mengamankan pasar baru dan sumber baru bagi pertumbuhan ekonomi Korea.

Tingkat pertumbuhan PDB Korsel sejak 2010 ada di kisaran 2-3 persen per tahun. Perekonomian domestik kurang dinamis dan potensi pertumbuhan dibebani dengan populasi yang menua dan tingkat pengangguran yang tinggi terutama di kalangan generasi muda.

Di sisi lain, ASEAN dan India masih memiliki potensi yang sangat besar. Dengan pertumbuhan ekonomi 6 persen per tahun selama dekade terakhir (di luar pandemi) dan mayoritas penduduknya berusia di bawah 30 tahun.

Motivasi lain untuk melakukan diversifikasi ekonomi adalah kebutuhan strategis Seoul untuk mengurangi ketergantungan ekonomi yang besar pada China. Beijing saat ini menyumbang lebih dari 27 persen dari keseluruhan volume perdagangan Korea. 

Ketergantungan menghadirkan tekanan pada Seoul. Misalnya, pasca-Korsel  menyetujui pemasangan anti-rudal balistik Terminal High-Altitude Area Defense (THAAD) yang dioperasikan Amerika Serikat pada 2016, China membalasnya dengan menargetkan sejumlah perusahaan Korea. 

"Pelajaran mahal pun dipetik: ketergantungan besar pada China ternyata menjadi sumber kerentanan," kata Choe.

Dalam tiga tahun terakhir pelaksanaan NSP, hubungan Seoul kian meningkat dengan India dan negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia. 

 

Posisi Dilematis

Penerapan New Southern Policy (NSP) bukannya tanpa hambatan. Salah satunya kendala geopolitik eksternal dan limitasi internal dari kebijakan NSP.

Itu mengapa Seoul tidak menyinggung isu politik dan keamanan yang sensitif, di luar ruang lingkup NSP. Tujuannya, untuk meminimalkan risiko geopolitik, khususnya soal rivalitas AS dan China. 

"Untuk meminimalkan risiko terseret ke dalam pusaran persaingan AS-China, Seoul merancang inisiatif ini sebagai murni agenda kerja sama dengan mengesampingkan isu strategis yang sensitif dari pilar perdamaian NSP," kata Choe.

Apalagi, Seoul meyakini, kekuatan nasionalnya bukanlah terletak pada hard power, tapi kesuksesan mengembangkan industri berteknologi tinggi, dan soft power dengan pengaruh budaya yang makin kuat.

Untuk menguatkan posisinya sebagi kekuatan menengah melalui NSP, pemerintahan Presiden Moon harus bekerja keras mengatasi tantangan-tantangan yang ada, termasuk menjagasikap netral di tengah persaingan China dan AS.

Lebih dari Sekedar K-pop

Ilustrasi konser Kpop/dok. Unplash Rachel
Ilustrasi konser Kpop/dok. Unplash Rachel

K-pop atau drakor mungkin jadi hal pertama yang terbesit di pikiran orang Indonesia soal Korea. 

 "Ibu rumah tangga dan remaja lebih tahu banyak tentang Korea sepertinya," ujar Endy M. Bayuni, Senior Editor of The Jakarta Post selaku moderator dalam Indonesian Next Generation Journalist on Korea Workshop. 

Padahal, ada sejumlah hal lain yang digagas oleh pemerintah Korea Selatan. Misalnya, pertukaran pelajar Korea dengan negara Asia Tenggara, salah satunya Indonesia.

"Dalam rangka pertukaran generasi muda antara Korea dan Indonesia, masih banyak yang perlu kita lakukan. Salah satu program yang diprioritaskan adalah meningkatkan program pertukaran bagi generasi muda. Misalnya melalui program beasiswa," ujar Choe Wongi, yang juga anggota dewan penasihat Presidential Committee on New Southern Policy in Korea. 

Santo Darmosumarto, Direktur Asia Timur dan Pacific Affairs, Kementerian Luar Negeri Indonesia di Korea Selatan sepakat bahwa Korea Selatan itu bukan hanya soal K-Pop dan drakor. 

"Saya pikir baik Indonesia dan Korea Selatan menyadari pentingnya mengembangkan lebih banyak hubungan antar-generasi muda. Bukan hanya hubungan yang terkait dengan K-pop dan K-drama saja," kata dia.

Penting juga untuk memahami nilai-nilai yang dimiliki kedua negara.  "Tentang ekonomi, lingkungan, pemerintahan dan juga media. Saya lihat akhir-akhir ini jurnalis adalah anak-anak muda. Saya pikir itu bisa jadi kelompok yang mengubah cara pandang orang tentang Korea, untuk melihat Korea di luar K-Pop dan K-drama" imbuh Santo.

Selain itu, Santo pun berharap Indonesia lebih juga dikenal di Korea Selatan. "Semoga orang Korea dapat melihat Indonesia lebih dari sekedar fakta bahwa Indonesia adalah negara tropis," kata dia.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya