Liputan6.com, Jakarta - Studi terbaru yang diterbitkan Selasa (14/5/2024) menemukan bahwa musim panas di belahan Bumi bagian utara pada tahun 2023 merupakan yang terpanas dalam dua ribu tahun terakhir.
Para ilmuwan mengatakan tahun 2023 adalah tahun terpanas secara global sejak pencatatan dimulai pada tahun 1850.
Namun, sebuah penelitian di jurnal "Nature" menunjukkan bahwa perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia mendorong tingkat tertinggi musim panas di wilayah utara jauh melampaui apa yang pernah terjadi dalam dua milenium.
Advertisement
"Kita tidak perlu terkejut," kata penulis Utama studi Jan Esper kepada AFP, seperti dilansir CNA, Rabu (15/5/2024).
"Bagi saya, ini hanyalah kelanjutan dari apa yang kita mulai dengan melepaskan gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global," lanjut Esper, yang juga merupakan Profesor Klimatologi di Universitas Johannes Gutenberg Jerman.
Para ilmuwan menggunakan data lingkaran pohon dari berbagai lokasi di belahan Bumi utara untuk memperkirakan suhu global antara abad pertama M dan 1850, sebelum munculnya instrumen observasi modern.
Perkiraan konservatif menemukan bahwa tahun 2023 setidaknya 0,5 derajat Celcius lebih panas daripada musim panas terhangat di belahan bumi utara pada periode tersebut pada tahun 246 M.
Jika tidak, suhunya 1,19 derajat lebih hangat.
Desak Pengurangan Emisi
Rekan penulis studi lainnya, Max Torbenson, mengatakan bahwa 25 dari 28 tahun terakhir melampaui suhu tertinggi musim panas tahun 246 M – tahun terpanas sebelum pencatatan suhu modern dimulai.
Sebaliknya, musim panas paling dingin dalam 2.000 tahun tersebut adalah hampir empat derajat di bawah suhu musim panas tahun 2023 di belahan bumi utara akibat letusan gunung berapi besar.
Para ilmuwan mengatakan aktivitas gunung berapi dapat menyebabkan kondisi yang lebih dingin di masa depan seperti yang terjadi di masa lalu, namun pada akhirnya pelepasan gas rumah kaca yang dilakukan manusia akan terus memerangkap panas di atmosfer.
Pada tahun 1992, letusan tahun sebelumnya membantu meringankan dampak sistem cuaca El Nino, yang menghangatkan Samudera Pasifik dan dapat membawa kondisi global yang lebih panas.
Setelah efeknya mereda, suhu melonjak pada tahun 1998, yang menurut penelitian merupakan salah satu musim panas terpanas setelah tahun 2023 dan 2016 dimana keduanya juga merupakan tahun El Nino.
Esper mengatakan satu-satunya cara untuk mengekang kenaikan suhu adalah dengan segera mulai mengurangi emisi.
"Semakin lama kita menunggu, hal ini akan semakin sulit dan mahal," kata dia.
Advertisement
Risiko Kesehatan
Studi terpisah memperingatkan bahwa suhu yang lebih tinggi dan populasi yang menua akan menyebabkan puluhan juta orang lanjut usia terkena panas ekstrem yang berbahaya pada tahun 2050.
"Sudah 14 persen orang lanjut usia terpapar suhu melebihi 37,5 derajat, yang dapat memperburuk kondisi kesehatan dan bahkan menyebabkan kematian," bunyi studi tersebut.
Jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 23 persen pada pertengahan abad ini.
"Negara-negara di dunia menghadapi masalah yang sama…tetapi tingkat kesiapsiagaan, kapasitas adaptasi masyarakat dan masyarakatnya berbeda-beda," kata pemimpin penulis studi Giacomo Falchetta.
Kesenjangan di Seluruh Dunia
Eropa, satu wilayah dengan pemanasan tercepat di Bumi, memiliki sistem untuk membantu masyarakat selama gelombang panas.
Sementara jumlah lansia di Afrika dan Asia akan meningkat secara dramatis meskipun populasi di wilayah miskin tidak memiliki akses terhadap air bersih atau layanan kesehatan yang memadai untuk mengatasi panas ekstrem.
"Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai kesenjangan di seluruh dunia dalam hal bagaimana pemerintah dan wilayah mampu mengatasi hal ini," kata Falchetta.
Meski tahun 2050 masih jauh, Falchetta mengatakan orang-orang berusia 40 tahun saat ini akan termasuk di antara mereka yang rentan terhadap gelombang panas di masa depan.
Advertisement