Studi Ini Kuak Musim Panas 2023 Jadi yang Terpanas dalam 2.000 Tahun

Para ilmuwan mendesak kebijakan untuk mengurangi emisi sebelum dampak panas ekstrem menjadi semakin sulit untuk diatasi.

oleh Benedikta Miranti T.V diperbarui 16 Mei 2024, 10:00 WIB
Diterbitkan 16 Mei 2024, 10:00 WIB
Cuaca Panas Melanda DKI Jakarta
Berhubung memasuki pancaroba, panasnya luar biasa. Menurut BMKG, berkisar 24 hingga 32 derajat celcius, dengan kelembaban 70-95 persen. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Studi terbaru yang diterbitkan Selasa (14/5/2024) menemukan bahwa musim panas di belahan Bumi bagian utara pada tahun 2023 merupakan yang terpanas dalam dua ribu tahun terakhir.

Para ilmuwan mengatakan tahun 2023 adalah tahun terpanas secara global sejak pencatatan dimulai pada tahun 1850.

Namun, sebuah penelitian di jurnal "Nature" menunjukkan bahwa perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia mendorong tingkat tertinggi musim panas di wilayah utara jauh melampaui apa yang pernah terjadi dalam dua milenium.

"Kita tidak perlu terkejut," kata penulis Utama studi Jan Esper kepada AFP, seperti dilansir CNA, Rabu (15/5/2024).

"Bagi saya, ini hanyalah kelanjutan dari apa yang kita mulai dengan melepaskan gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global," lanjut Esper, yang juga merupakan Profesor Klimatologi di Universitas Johannes Gutenberg Jerman.

Para ilmuwan menggunakan data lingkaran pohon dari berbagai lokasi di belahan Bumi utara untuk memperkirakan suhu global antara abad pertama M dan 1850, sebelum munculnya instrumen observasi modern.

Perkiraan konservatif menemukan bahwa tahun 2023 setidaknya 0,5 derajat Celcius lebih panas daripada musim panas terhangat di belahan bumi utara pada periode tersebut pada tahun 246 M.

Jika tidak, suhunya 1,19 derajat lebih hangat.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Desak Pengurangan Emisi

Hadapi Global Warming, Mesin Penghisap Emisi Karbon Kini Dibangun
Emisi karbon merupakan kunci penting untuk menghindari perubahan iklim saat ini. Solusinya adalah mesin penghisap karbon di Swiss. (Pixabay)

Rekan penulis studi lainnya, Max Torbenson, mengatakan bahwa 25 dari 28 tahun terakhir melampaui suhu tertinggi musim panas tahun 246 M – tahun terpanas sebelum pencatatan suhu modern dimulai.

Sebaliknya, musim panas paling dingin dalam 2.000 tahun tersebut adalah hampir empat derajat di bawah suhu musim panas tahun 2023 di belahan bumi utara akibat letusan gunung berapi besar.

Para ilmuwan mengatakan aktivitas gunung berapi dapat menyebabkan kondisi yang lebih dingin di masa depan seperti yang terjadi di masa lalu, namun pada akhirnya pelepasan gas rumah kaca yang dilakukan manusia akan terus memerangkap panas di atmosfer.

Pada tahun 1992, letusan tahun sebelumnya membantu meringankan dampak sistem cuaca El Nino, yang menghangatkan Samudera Pasifik dan dapat membawa kondisi global yang lebih panas.

Setelah efeknya mereda, suhu melonjak pada tahun 1998, yang menurut penelitian merupakan salah satu musim panas terpanas setelah tahun 2023 dan 2016 dimana keduanya juga merupakan tahun El Nino.

Esper mengatakan satu-satunya cara untuk mengekang kenaikan suhu adalah dengan segera mulai mengurangi emisi.

"Semakin lama kita menunggu, hal ini akan semakin sulit dan mahal," kata dia.


Risiko Kesehatan

Gelombang Panas Dunia
Orang-orang berjalan di bawah sinar matahari di Tokyo, Jepang, 12 Juli 2023. Cuaca panas pada hari Rabu telah ditetapkan dengan suhu naik lebih dari 36 derajat Celcius (97 derajat Fahrenheit) di Tokyo, menurut Badan Meteorologi Jepang. (AP Photo/Eugene Hoshiko)

Studi terpisah memperingatkan bahwa suhu yang lebih tinggi dan populasi yang menua akan menyebabkan puluhan juta orang lanjut usia terkena panas ekstrem yang berbahaya pada tahun 2050.

"Sudah 14 persen orang lanjut usia terpapar suhu melebihi 37,5 derajat, yang dapat memperburuk kondisi kesehatan dan bahkan menyebabkan kematian," bunyi studi tersebut.

Jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 23 persen pada pertengahan abad ini.

"Negara-negara di dunia menghadapi masalah yang sama…tetapi tingkat kesiapsiagaan, kapasitas adaptasi masyarakat dan masyarakatnya berbeda-beda," kata pemimpin penulis studi Giacomo Falchetta.


Kesenjangan di Seluruh Dunia

Cuaca Panas Melanda DKI Jakarta
Ultraviolet akan terasa mulai panas pukul 10.00 WIB atau 11.00 WIB. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Eropa, satu wilayah dengan pemanasan tercepat di Bumi, memiliki sistem untuk membantu masyarakat selama gelombang panas.

Sementara jumlah lansia di Afrika dan Asia akan meningkat secara dramatis meskipun populasi di wilayah miskin tidak memiliki akses terhadap air bersih atau layanan kesehatan yang memadai untuk mengatasi panas ekstrem.

"Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai kesenjangan di seluruh dunia dalam hal bagaimana pemerintah dan wilayah mampu mengatasi hal ini," kata Falchetta.

Meski tahun 2050 masih jauh, Falchetta mengatakan orang-orang berusia 40 tahun saat ini akan termasuk di antara mereka yang rentan terhadap gelombang panas di masa depan.

Infografis Journal
Infografis Journal Dunia Kepanasan, Akibat Perubahan Iklim Ekstrem?. (Liputan6.com/Tri Yasni)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya