Piprim, Jadi Dokter karena Doa Orangtua

Meski bukan berlatar belakang orangtua kedokteran, tapi dokter piprim sukses berkat doa orangtua.

oleh Fitri Syarifah diperbarui 16 Sep 2014, 16:00 WIB
Diterbitkan 16 Sep 2014, 16:00 WIB
dr. Piprim, Jadi Dokter Karena Doa Orangtua
Meski bukan berlatar belakang orangtua kedokteran, tapi dokter piprim sukses berkat doa orangtua.

Liputan6.com, Jakarta Ada yang bilang, doa orangtua adalah segalanya. Meski bukan berlatar belakang orangtua kedokteran, tapi dokter yang top di kalangan ibu-ibu karena mencetuskan vaksin murah ini sekarang sukses menjalani kehidupannya sebagai spesialis anak dan konsultan jantung anak.

Dia, dr dr. Piprim B Yanuarso Sp.A (K), pria kelahiran Malang, 15 Januari 1967 yang lulus Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran pada 1991. Baginya, semua usaha dan kerja kerasnya menjadi dokter tak luput dari doa orangtua yang selalu mendoakannya.

"Saya ingin jadi dokter karena banyak doa dari orangtua. Dulu, dari kecil, mereka selalu momong saya dan dari kecil ditanamkan, 'kalau sudah besar jadi dokter ya', katanya. Setiap ada karnaval 17 Agustus, saya pun berpakaian dokter. Dan dari perjalanannya, saya pikir, menjadi dokter adalah profesi mulia yang dapat membantu banyak orang," kata Piprim saat ditemui Liputan6.com di kediamannya, Rumah Vaksinasi Pusat, Jalan Inpres RT 5/9 No.81, Kel. Tengah Kec. Kramat Jati, Jakarta Timur, ditulis Selasa (16/9/2014).

Beruntung, berkat hobinya yang senang membaca dari kecil, jalan Piprim menjadi dokter juga dimudahkan. Sejak masuk Fakultas Kedokteran, ia mendapat beasiswa dan untuk biaya prakteknya ia juga banyak dimudahkan. "Alhamdulilah semua dimudahkan. saya dapat beasiswa, jadi bisa fokus belajar."

Dimarahi pasien

Pengalaman berkesan, pernah dimarahi pasien

Setelah lulus menjadi dokter umum, Piprim pun otomatis harus mengabdi di masyarakat. Seperti dokter lainnya, dia menjalani PTT pada 1992 di Puskesmas pedalaman Lampung Utara, tepatnya di Kecamatan Rawa Pitu Kabupaten Tulang bawang. Disana, ada pengalaman berkesan. Ia diomeli pasien yang ternyata anak kepala suku.

"Tiba-tiba tengah malam, pintu Puskesmas digedor-gedor. Kami semua sudah tidur. Pas saya buka buka pintu, ada anak sakit dan dibawa orang sekampung. Setelah diperiksa, anaknya cuma demam biasa. Tapi mereka nggak ngerti. Malah marah-marah. Mereka pikir pasti ini anaknya sakit parah, padahal nggak. Setelah saya tahu, ternyata dia anak kepala suku disitu," tutur dokter yang juga konsultan jantung anak di RS Cipto mangunkusumo tersebut.

Meski mengesalkan sikap orang kampung setempat, Piprim mengaku harus tetap sabar memberitahu pasien bahwa demam yang dialami anak hanya sakit ringan.

Pengalaman lainnya yang menarik menjadi dokter, selain di Lampung adalah ketika Piprim pindah ke Ambon, Nias dan daerha kecil lainnya. Disana, ia merasa semakin terpanggil untuk membantu masyarakat. Ia pun semakin bangga dengan gelarnya.

"Setelah bertemu berbagai lapisan orang, saya semakin merasa menjadi dokter itu salah satu profesi yang unik karena selalu dipanggil gelar. Coba kayak insinyur, mereka nggak dipanggil insinyur. Tapi dokter selalu dibilang pak dokter. Darisitu saya semakin yakin bahwa dokter tidak bisa mencari keuntungan kalau nggak mau disebut dokterpreneur tapi tujuannya mengabdi pada masyarakat. Insyallah kalau ada yang mendoakan kita, rejeki menyusul," terangnya.

Sistem pendidikan



Semoga sistem pendidikan Indonesia lebih hebat dibanding Malaysia

Setelah menyelesaikan studi untuk spesialis anak, Piprim hijrah ke negeri jiran, Malaysia untuk melakukan Fellowship Kardiologi Anak di Institut Jantung Negara, Kuala lumpur. Disana ia melihat, sistem pendidikannya sangat baik. Bukan bermaksud membandingkan, tapi katanya, pendidikan di Malaysia membuat orang yang tadinya tidak bisa apa-apa menjadi betul-betul pintar.

"Semua dikerjakan secara profeisonal. Dokter misalnya, disana mereka nggak harus praktek sampai malam, sampai sore cukup tapi terus digaji tinggi. Nggak ada tuh istilah rebutan pasien dengan dokter lain. Karena disana ada fix salary. Gaji dokter disini Rp 4 juta disana sampai Rp 100 juta. Nggak usah praktek pun mereka enjoy, kalau disni, untuk memenuhi kebutuhan harus bekerka diluar dari gaji," jelasnya.

Bagi Piprim, Indonesia juga sebenarnya bisa seperti Malaysia. Sayangnya, sejumlah profesi seperti kedokteran, insinyur dan banyak lainnya belum dianggap sebagai aset negara. "Negara itu lebih penting kehilangan idola menyanyi daripada profesi. Padahal ketika mereka nggak ada, negara nggak akan apa-apa. Tapi kalau dokter atau vaksin nggak ada di negara ini bagaimana? negara jadi pincang."

Biodata



Biodata

Nama: Dr Piprim Basarah Yanuarso, SpA(K)

Tempat dan tanggal lahir: Malang, 15 Januari 1967

Status: Menikah dengan Dr Elsa Hufaidah dan memiliki 6 anak

Pendidikan

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (1991)
Spesialis dokter anak (2002)
Pendidikan Konsultan Dokter Anak FK Universitas Indonesia (2004)
Fellowship Kardiologi Anak di Institut Jantung Negara, Kuala lumpur, Malaysia (2007)

Riwayat karir

Dokter PTT di Puskesmas Rawa Pitu Lampung Utara (1992-1995)
Dokter anak di Ambon (2003)
Dokter anak di Nias (2005)

Pekerjaan saat ini

Pengajar Kardiologi Anak FKUI-RSCM
Dokter jantung anak di Pelayanan Jantung Terpadu RSCM
Dokter di RS Ibu dan Anak Hermina Bekasi

Organisasi

Anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
Sekretaris 1 Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya