Di Masa Depan Fundamentalisme Agama akan Dianggap Penyakit Jiwa

Di masa depan, fundamentalisme agama dapat dipandang sebagai sakit kejiwaan yang dapat disembuhkan.

oleh Alexander Lumbantobing diperbarui 17 Feb 2016, 10:00 WIB
Diterbitkan 17 Feb 2016, 10:00 WIB
Fundamentalisme Sebagai Bentuk Penyakit Jiwa
Kathleen Taylor, penulis buku Brainwashing: The Science of Thought Control. (Sumber oxfordliteraryfestival.org dan amazon.com)

Liputan6.com, Oxford - Beberapa tahun lalu, seorang peneliti dan penulis dari Oxford University menengarai, di masa depan, fundamentalisme agama dapat dipandang sebagai sakit kejiwaan yang dapat disembuhkan.

Dikutip dari Huffington Post pada Rabu (17/2/2016), Kathleen Taylor mengemukakan dugaan itu dalam presentasi penelitian di Hay Literary Festival pada musim panas 2013.

Ia menanggapi suatu pertanyaan tentang masa depan ilmu saraf, katanya, “Salah satu kejutan adalah bahwa orang-orang dengan kepercayaan tertentu dapat disembuhkan.”

“Seseorang yang, misalnya, telah mengalami radikalisasi kepada ideologi kultus—kita mungkin tidak lagi melihatnya sebagai pilihan pribadi yang mereka pilih karena pilihan bebas. Kita mulai melihatnya sebagai suatu gangguan mental.”

Lanjutnya, “Dalam banyak hal, itu bisa menjadi hal yang positif karena tidak diragukan lagi, kepercayaan-kepercayaan di masyarakat kita telah membawa kerusakan besar.”

Ini bukanlah untuk pertama kalinya Taylor mendalami proses-proses pemikiran seorang radikal. Pada 2006, ia menulis buku tentang pengendalian pikiran berjudul ‘Brainwashing: The Science of Thought Control’. Buku itu mendalami keilmuan yang berada di belakang taktik rayuan kelompok-kelompok semacam kelompok kultus dan Al Qaeda.

Katanya melalui tayangan video tentang buku itu, “Tentu saja kita semua pernah mengubah kepercayaan. Kita semua membujuk satu sama lain untuk melakukan berbagai hal, kita semua menonton iklan, kita semua menjalani pendidikan dan mengalami agama. Cuci otak, bisa dibilang adalah ujung ekstremnya. Ada sejenis pemaksaan, kekuatan, dan penyiksaan psikologis.”

Ia juga melihat bahwa cuci otak, walaupun ekstrem, sebetulnya merupakan bagian dari “fenomena yang tersebar lebih luas” dari persuasi.

Artinya, “cara kita membuat orang berpikir tentang hal-hal yang mungkin tidak baik bagi mereka, bahwa karenanya mereka tidak bisa memilih untuk berpikir lain.”

Namun demikian, Taylor juga mewanti-wanti soal etika berurusan terlalu dalam pada kerja otak yang misterius. Katanya di suatu blog lawas, “Teknologi yang langsung memindai atau merekayasa otak bukanlah perangkat yang netral karena terbuka untuk dijelajahi oleh gawai baru manapun.”

Ujarnya, “Kehebatan otak memberikan kesempatan memperbaiki kehormatan manusia, tapi juga mengundang risiko penyalahgunaan.”

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya