Mengapa Orang Papua Kerap Makan Lemak, tapi Jarang Sakit?

Bukan maksudnya supaya kita rajin minum obat dari dokter, melainkan menjadikan makanan kita sehari-hari sebagai obat atau pencegah

oleh Gabriel Abdi Susanto diperbarui 08 Agu 2016, 12:00 WIB
Diterbitkan 08 Agu 2016, 12:00 WIB
Festival Budaya Lembah Baliem 2016 Digelar di Wamena Papua
Festival Budaya Lembah Baliem merupakan festival tertua yang ada di jantung Pulau Papua.

Liputan6.com, Jakarta Bapak kedokteran modern, Hippocrates, yang hidup 400 tahun sebelum Masehi, pernah mengingatkan, “Biarlah makanan menjadi obatmu dan obat menjadi makananmu.” Bukan maksudnya supaya kita rajin minum obat dari dokter (yang notabene adalah racun), melainkan menjadikan makanan kita sehari-hari itu sebagai pencegah maupun solusi mengatasi penyakit.

Kesehatan dan vitalitas dapat diraih melalui pemahaman tentang makanan mana yang baik bagi tubuh. Ini bukan perkara berapa kalori, melainkan bagaimana membuat tubuh dalam kondisi seimbang. Penemu visioner Thomas A. Edison juga pernah berkata, dokter-dokter di masa depan tidak akan memberi obat, tetapi lebih tertarik untuk merawat pasien sebagai manusia, melalui makanan dan apa yang menjadi penyebab sakitnya.

“Alasan mengapa begitu banyak di antara kita menjadi sakit dan terus-menerus sakit adalah ketidakseimbangan nutrisi,” tulis Elson Haas, MD, penulis buku Staying Healthy with Nutrition. Keluhan banyak orang modern sakit nyeri, kram, kesemutan pertanda terjadi gangguan pada saraf tepi. Boleh jadi keluhan itu disebabkan oleh kebiasaan makan ampas karbohidrat beras putih pulen. Mereka tidak pernah makan bekatul yang diketahui sebagai sumber vitamin B1, B6, B12, dan B 15, yang merupakan vitamin bagi saraf.

Orang modern suka makan makanan yang diproses dan diawetkan, padahal makanan tersebut telah kehilangan kandungan nutrisinya. “Vitamin dan serat yang tertinggal hanya sedikit, sementara yang banyak adalah lemak, gula, dan garam,” begitu peringatan Dr. Haas.

Nina Planck, penulis buku Real Food, What to Eat and Why, mengajak untuk kembali ke makanan tradisional, yang diolah, ditanam, dan diternakkan secara tradisional. Melalui bukunya itu ia memberikan bukti-bukti dan argumentasi bahwa teknologi modern di bidang pertanian, peternakan, dan pengolahan pangan sangat tidak pro pada kesehatan kita.

Mengapa masyarakat tradisional di Papua sampai Nigeria bisa mengonsumsi lemak jenuh dalam jumlah banyak dan tidak terserang penyakit jantung? Menurut Planck, karena makanan tradisional tidak banyak mengandung tepung terigu dan gula (yang menghabiskan vitamin B), tetapi kaya daging, hati, ikan, padi-padian alami, sayuran hijau yang semuanya merupakan sumber asam folat dan vitamin B yang sangat baik.

Asam folat, vitamin B6 dan B12 menjaga tingkat homosistein tetap rendah. Homosistein tinggi meningkatkan trigliserida dan membentuk LDL (lemak jahat) teroksidasi, sehingga menyebabkan penyumbatan arteri.

Mungkin orang modern sulit membayangkan makan sayur yang baru dipetik dari kebun, tanpa pestisida dan insektisida. Atau minum susu segar yang baru diperah dari sapi yang makan rumput liar, menikmati telur rebus dari ayam kampung yang makannya rumput liar, makan roti gandum bikinan sendiri dengan selai nanas resep dari nenek.

Bagaimanapun, memilih makanan yang kita konsumsi secara cermat merupakan langkah tepat untuk menjaga tubuh tetap sehat. Bila tidak dapat 100 persen, kita akan mendapatkan manfaat dari upaya kita sehari-hari semaksimal mungkin memilih makanan alami, segar, dan tradisional.

Buat apa tampak gaya dan modern, tetapi menciptakan penyakit bagi diri sendiri? You are what you eat.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya