Liputan6.com, Jakarta Siang tadi, lantai lima Panti Rawat Tunagrahita Berat Tri Asih, Jakarta Barat, diisi gelak tawa penghuninya. Entah apa yang membuat tertawa, tampaknya ada yang melontarkan candaan.
Selain tawa, di sudut lain seorang down syndrome tampak bermain bersama pendampingnya. Ada juga seorang wanita tampak menggigit-gigit handuk. Ada juga anak yang usil mengganggu temannya membuat suasana yang kala hujan deras itu menjadi lebih hangat.
Baca Juga
Advertisement
Tak lama, seorang wanita dengan kaus Hello Kitty menyapa. Namanya Rita, baru saja dia selesai belajar di Unit Pelatihan Kerja (UPK) Yayasan Tri Asih yang letaknya di gedung sebelah panti.
Berbeda dengan penghuni panti lainnya, Rita nyambung diajak berbicara. Rupanya anak pertama dari tiga bersaudara ini bisa dikatakan tidak dalam kategori tunagrahita. Tingkat kecerdasan intelektualnya 80. Sementara tunagrahita biasanya di bawah 75.
Rita menceritakan sejak 2013 mulai masuk ke panti. Ia beralasan sudah merasa dewasa dan tak mau lagi dimanja papa mama.
"Papa mama masih ada, tapi mama sakit pengapuran, dan papa sudah lumpuh. Aku enggak tega kalau tinggal di rumah harus ngerepotin papa mama terus," ceritanya.
Cita-cita mulia
Guna mengurangi beban papa mama, dia memilih tinggal di panti sembari belajar di UPK.
"Aku tadi belajar memasak, hari ini bikin makaroni panggang. Minggu kemarin membuat bolu kukus," tuturnya bangga.
Dia juga mengaku, sejak belajar di UPK keterampilannya bertambah. Selain memasak, kini sudah bisa menyulam. Dengan semangat, dia segera mengambil karya sulamnya.
"Maaf ya ini kotor. Ini sudah dibuat polanya sama guru, nah aku tinggal menyulam. Ini hasilnya," tuturnya dengan raut wajah senang.
Sudah empat tahun Rita belajar di UPK ini. Walau belum dinyatakan lulus dia sudah punya cita-cita yang menggagumkan untuk ukuran orang sepertinya.
"Kalau aku sudah berhasil lulus dari sini aku ingin memiliki workshop untuk anak-anak tunagrahita. Untuk mereka yang sudah terampil, bisa kerja di tempat itu," katanya.
Dia ingin, anak-anak tunagrahita yang memiliki keterampilan khusus bisa berkarya dan menghasilkan uang. Tidak hanya bergantung pada orang lain.
Cita-citanya itu pernah disampaikan ke sang mama dan disambut baik.
"Mama mengatakan itu bagus. Namun harus punya modal, untuk membuka tempat workshop kan butuh uang banyak. Jadi, mama ingatkan kerja terlebih dahulu, ngumpulin duit dulu," ceritanya.
Â
Advertisement
Mimpi bisa kuliah
Ritamengaku sejak kecil, ia sadar tidak sama seperti anak-anak lain. Jika anak-anak cepat paham akan sesuatu, dia tidak. Namun hal tersebut baru dirasakan ketika usia 10 tahunan.Â
Dia sempat sekolah biasa saat kelas 1, 2, 3, 4 SD. Namun ketika naik ke kelas lima jadi menyerah.
"Aku tidak bisa lagi sekolah biasa, susah sekali untuk mengikuti pelajaran seperti teman-teman lainnya," cerita Rita.
Akhirnya pendidikannya dilanjutkan ke sekolah luar biasa hingga setara sekolah menengah atas. Walau tahu dirinya berbeda, pernah ada mimpi bisa kuliah seperti anak-anak normal lainnya.
"Eh terus aku inget, ngapain perlu iri sama orang yang normal. Kadang orang normal saja kerjanya enggak benar. Yang penting aku senang saja menjalani hidup," tuturnya.