Jumlah Bayi Lahir Prematur Meningkat Usai Bencana Alam

Ibu hamil yang tengah menghadapi bencana alam rentan stres. Hal tersebut bisa memicu janin yang dikandung lahir prematur.

oleh Liputan6.com diperbarui 09 Agu 2018, 10:00 WIB
Diterbitkan 09 Agu 2018, 10:00 WIB
Gempa 7 SR di Lombok Utara, BMKG: Peringatan Dini Tsunami Berakhir
Ilustrasi kerusakan struktur tanah yang retak akibat gempa. Foto: Pixabay

Liputan6.com, Jakarta Beberapa studi menyebutkan jumlah ibu yang melahirkan buah hatinya secara prematur meningkat ketika terjadi gempa dan bencana alam lainnya. Mengapa bisa begitu?

Gempa tentu saja akan menimbulkan stres, kekhawatiran, dan kecemasan pada ibu hamil. Keadaan ini dapat memicu tingginya hormon kortisol pada ibu, yang berdampak pada tingginya hormon kortisol di cairan amniotik (ketuban).

Level kortisol yang tinggi pada cairan amnion dapat memperpendek usia kehamilan. Sebuah penelitian di Amerika Serikat menemukan bahwa berbagai bencana alam, seperti gempa bumi, badai salju, dan Hurricane Sandy tahun 2012 meningkatkan level stres pada ibu hamil.

Kondisi ini dapat menyebabkan peningkatan katekolamin yang dilepaskan oleh ibu hamil, sehingga dapat menyebabkan kelahiran prematur.

Uniknya, efek ini tidak hanya diamati bagi ibu hamil yang mengalami gempa bumi pada trimester akhir kehamilannya, juga bagi mereka yang terkena bencana alam saat trimester pertama kehamilan.

Saat terjadi Tropical Cyclone Yasi tahun 2011 di Queensland, Australia, ditemukan peningkatan kelahiran prematur sebanyak 20 persen pada ibu hamil. Saat bencana alam tersebut terjadi, mereka tengah menjalani trimester pertama kehamilan.

 

Saksikan juga video menarik berikut:

Melahirkan lebih awal

Ilustrasi bayi
Ilustrasi bayi lahir prematur (iStock)

Studi lainnya dilakukan pada tahun 1994 saat gempa di Northridge, Amerika Serikat, dan menemukan hasil serupa. Wanita yang tengah hamil pada trimester pertama kehamilan akhirnya melahirkan kurang lebih satu minggu lebih awal, dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak mengalami gempa bumi tersebut.

Penelitian pada gempa bumi 2005 di Chile menemukan bahwa gempa yang dialami hingga enam bulan sebelum persalinan dapat memberikan dampak negatif bagi kehamilan.

Pada kasus gempa Chile, ditemukan persalinan prematur lebih banyak terjadi (8 persen), dibandingkan persalinan prematur pada waktu lainnya (sekitar 5 persen).

 

Ibu hamil trimester pertama alami gangguan emosional

Ilustrasi Wanita Hamil (iStockphoto)
Ilustrasi Wanita Hamil (iStockphoto)

Berbagai kasus di atas kemudian terjawab oleh studi yang dilakukan oleh University of California. Dari penelitian tersebut ditemukan perbedaan persepsi mengenai gempa antara ibu hamil.

Mereka yang sedang hamil pada trimester pertama akan mengalami gangguan emosional yang luar biasa, sementara mereka yang sedang hamil trimester ketiga mengalami gangguan emosional moderat. Dengan kata lain, ibu hamil trimester pertama memiliki tingkat stres lebih besar saat terjadi gempa.

Dijelaskan juga bahwa gempa bumi yang dialami saat awal kehamilan tidak akan memicu proses persalinan secara langsung. Namun, hal ini dapat menyebabkan persalinan menjadi lebih awal.

Wajar bila goncangan gempa bumi seperti yang terjadi di Lombok dapat memicu bayi lahir prematur. Karena di tengah suasana bencana alam, kondisi psikologis ibu hamil menjadi tidak stabil dan rentan stres. Semoga bencana gempa bumi di Lombok cepat berlalu dan tak memakan korban lagi.

 

 

Penulis: dr. Sara Elise Wijono MRes

Sumber: Klikdokter.com 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya