Tanggapi Kasus Penembakan di Selandia Baru, Psikiater : Itu Sih Bukan Gangguan Jiwa Lagi

Pelaku penembakan di Selandia Baru bukan lagi pantas disebut gangguan jiwa.

oleh Aditya Eka Prawira diperbarui 16 Mar 2019, 11:00 WIB
Diterbitkan 16 Mar 2019, 11:00 WIB
Ilustrasi bendera Selandia Baru (AFP)
Ilustrasi bendera Selandia Baru (AFP)

Liputan6.com, Jakarta Penembakan yang terjadi di Selandia Baru pada Jumat, 15 Maret 2019, pagi mengejutkan banyak pihak.

Tercatat sebanyak 40 orang yang akan melaksanakan salat Jumat di masjid Al Noor Mosque, Kota Christchurch, tersebut menjadi korban. Dua di antaranya adalah warga negara Indonesia (WNI).

Semua berduka atas apa yang terjadi di Selandia Baru. Dunia mengecam peristiwa tersebut. Banyak orang yang tak habis pikir, mengapa ada orang yang tega melakukan hal keji semacam itu.

Menurut dokter spesialis kedokteran jiwa konsultan, Ika Widyawati, dari Rumah Sakit Pondok Indah-Pondok Indah, orang-orang seperti pelaku penembakan di Selandia Baru bukan lagi mengalami gangguan jiwa. Melainkan memang ada yang 'rusak' di dirinya.

"Saya enggak bisa jawab itu," kata Ika saat dihubungi Health Liputan6.com pada Sabtu, 16 Maret 2019.

"Akan tetapi, kalau kita berpikir secara (orang normal) yang punya hati dan emosi, apa tega melakukan itu? Di masjid pula. Di tempat yang sangat sakral. Itu berarti ada something wrong," Ika melanjutkan.

Yang jelas, hanya orang yang jiwanya sakit tega membunuh orang. Selain itu, karena hilangnya akal sehat. "Orang yang di-brain wash, nalarnya hilang," katanya menjelaskan.

 

Peristiwa di Selandia Baru sama seperti di Sibolga

Penembakan di Masjid Selandia Baru
Warga menunggu dekat lokasi penembakan di Masjid Al Noor, Christchurch, Selandia Baru, Jumat (15/3). Polisi masih menyisir lokasi kejadian dan mengosokan seluruh ruas jalan Deans Avenue. (AP Photo/Mark Baker)

Seperti halnya yang terjadi di Sibolga. Ika, mengatakan, ibu mana yang tega 'membunuh' anak sendiri, kalau bukan seorang ibu yang memang tak dapat berpikir dengan akal sehat, dan hatinya sudah sangat tertutup.

"Mungkin orang itu, secara tanda kutip gangguan jiwa yang apa-apa istilahnya sudah enggak ada," kata Ika.

"...tapi sudah hilang akal, dan nalarnya untuk berpikir pun sudah hilang," Ika menekankan.

Tenaga medis seperti dirinya, lanjut Ika, sampai detik ini pun masih geleng-geleng kepala bila ada orang yang dicuci otaknya, dan berani melakukan hal keji lantaran dijanjikan surga saat mati.

"Kita ini berpikir normal, berpikir dengan nalar, dengan logika, dan emosi juga. Kok bisa ya (ada orang seperti itu?)," katnya.

 

Pelaku di Selandia Baru tak layak disebut gangguan jiwa

Penembakan di Masjid Selandia Baru
Sesosok jenazah tergeletak di jalan setelah insiden penembakan di Masjid Al Noor, Christchurch, Selandia Baru, Jumat (15/3). Saksi mata mengatakan kepada wartawan New Zealand Stuff dia melihat empat orang tergeletak bersimbah darah. (AP Photo/Mark Baker)

Menurut Ika, pelaku di Selandia Baru maupun di Sibolga, Sumatera Utara, mau disebut gangguan jiwa pun sangat sulit dicari persisnya. Mereka layak disebut sebagai individu yang mengalami gangguan kepribadian. Kepribadiannya sudah benar-benar rusak.

"Karena apanya ya macam-macam. Kalau mereka ini kan, saya percaya, awalnya manusia yang baik-baik, yang kemudian berubah total karena di-brain wash tadi itu," katanya.

 

Seperti Robot

Mereka ini selayaknya robot. Yang tak mampu berpikir jernih sama sekali. Bila di otaknya A, yang akan dijalankannya pun A. Selayaknya robot, bila disetel untuk jalan, maka dia akan jalan terus tanpa peduli orang lain.

"Kayak robot betul, lah. Engga punya perasaan dan enggak punya emosi memang gitu, kan?," kata Ika.

"Masa tega menembaki orang yang lagi salat. Orang yang sudah tergeletak pun masih ditembakin pula. Keterlaluan," Ika menekankan.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya