Kebiri Kimia yang Kontroversial di Banyak Negara, Apa Efek Sampingnya?

Bukan hanya di Indonesia, hukuman kebiri kimia juga mendapatkan kritik baik tentang efektivitas hingga efek samping pada mereka yang menerimanya

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 27 Agu 2019, 13:00 WIB
Diterbitkan 27 Agu 2019, 13:00 WIB
Suntikan dan obat (iStock)
Ilustrasi steroid. (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Hukuman kebiri kimia yang akan dijatuhi pada seorang pria bernama Muhammad Aris (20) asal Mojokerto menimbulkan kontroversi di masyarakat. Beberapa pihak mendukung eksekusi pada pelaku pedofilia pada 9 anak gadis itu, namun tidak sedikit yang menolak.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Timur misalnya. Dikutip Liputan6.com dari suarasurabaya.net, mereka menilai bahwa hukuman kebiri kimia yang akan dilakukan bertentangan dengan kode etik dan sumpah dokter. Mereka juga menolak apabila diminta melakukan eksekusi tersebut.

Hukuman semacam ini ternyata tidak hanya menimbulkan kontroversi di Indonesia. Baru-baru ini, langkah serupa juga baru disahkan di Alabama, Amerika Serikat dan tentu saja, ada kritik yang menyertainya.

Mengutip Vox pada Selasa (27/8/2019), peraturan di Alabama menyatakan bahwa pelaku kejahatan seks di bawah 13 tahun harus menerima kebiri kimia sebelum dibebaskan.

CNN melaporkan mereka harus mendapatkan obat-obatan yang dirancang untuk meredam dorongan seksual hingga pengadilan memutuskan bahwa mereka bisa berhenti.

"Langkah untuk melindungi anak-anak di Alabama," kata gubernur Kay Ivey pada Juni lalu.

Simak juga Video Menarik Berikut Ini

Efektivitas Jika Prosedur Dihentikan

Ilustrasi pria masturbasi (iStockphoto)
Ilustrasi pria masturbasi (iStockphoto)

Kebiri kimia atau chemical castration sendiri telah diuji di beberapa negara seperti Swedia, Denmark, dan Kanada. Prosedur ini berbeda dengan kebiri bedah yang berarti pengangkatan alat kelamin. Sterilisasi harus dilakukan dalam prosedur secara terus menerus.

Cara ini dipercaya mampu menurunkan angka pelaku pelecehan seksual di negara-negara Skandinavia dari 40 menjadi sekitar 5 persen.

Namun News Liputan6.com melaporkan, Rio Hendra dari Ending Sexual Exploitation of Children (ECPAT) Indonesia mengungkapkan bahwa berdasarkan World Rape Statistic, negara-negara yang menerapkan hukuman kebiri atau mati justru menduduki 10 besar dengan kasus tertinggi di dunia.

Dr. Renee Sorrentino, psikiater forensik di Massachusetts mengatakan bahwa prosedur itu biasanya diberikan melalui suntikan setiap bulan atau 90 hari.

Meski begitu, dikutip dari The Sun, sebuah studi menyatakan bahwa kebiri kimia tidak efektif ketika itu dihentikan. Belum lagi, efek sampingnya yang dinilai bisa menimbulkan hal yang parah.

Dalam Journal of Korean Medical Science, ada beberapa obat yang digunakan dalam prosedur ini. Salah satunya adalah leuprorelin yang digunakan untuk merawat kesulitan dalam pengendalian gairah seks, fantasi atau hasrat yang berbahaya lainnya.

Efek Samping

Depresi (iStock)
Ilustrasi depresi. (iStockphoto)

Para peneliti juga mencatat zat lain yang digunakan antara lain medroksiprogesteron asetat, siproteron aseteat, LHRH, yang mampu mengurangi testosteron dan estradiol.

Karena estrogen memiliki peran penting pada pria dalam pertumbuhan tulang, fungsi otak, dan proses kardiovaskular, mereka yang mendapatkan kebiri ini rentan osteoporosis, penyakit kardiovaskular, depresi, hingga anemia.

Sorrentino juga mengatakan bahwa prosedur itu memiliki efek samping lain seperti rambut rontok, pertumbuhan payudara, pertumbuhan berat badan, serta diabetes.

Selain itu, tidak semua kasus bisa diselesaikan dengan kebiri kimia. Sorrentino mengungkapkan, bagi orang-orang yang melecehkan anak-anak hanya karena adanya kesempatan, kasus inses, atau memiliki gangguan kepribadian antisosial, "menurunkan testosteron mereka tidak akan menyelesaikan masalah."

Karena itu, para peneliti juga meminta agar para dokter memiliki kewajiban memantau dengan seksama setiap komplikasi akibat prosedur ini, pada para pelaku kejahatan seksual yang mendapatkan hukuman tersebut.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya