Komisi IX Desak Pemerintah Jalankan Amanat UU Kekarantinaan Kesehatan

Anggota komisi IX Saleh Partaonan Daulay mendorong pemerintah untuk segera melaksanakan amanat UU No. 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

oleh Liputan6.com diperbarui 16 Mar 2020, 21:00 WIB
Diterbitkan 16 Mar 2020, 21:00 WIB
Petugas Medis Tangani Pasien Virus Corona di Ruang ICU RS Wuhan
Liu Huan (kanan), petugas medis dari Provinsi Jiangsu, memasuki sebuah bangsal ICU Rumah Sakit Pertama Kota Wuhan di Wuhan, Provinsi Hubei, 22 Februari 2020. Tenaga medis dari seluruh China mengerahkan upaya terbaik mereka untuk mengobati para pasien COVID-19 di rumah sakit itu. (Xinhua/Xiao Yijiu)

Liputan6.com, Jakarta Anggota komisi IX Saleh Partaonan Daulay mendorong pemerintah untuk segera melaksanakan amanat UU No. 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dalam hal mencegah penyebaran virus corona (Covid-19). Di dalam UU ini, dijelaskan secara teknis terkait Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.

Pemerintah, kata dia, sudah bisa menerapkan kedaruratan kesehatan karena kejadian yang ada saat ini sudah bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran virus corona yang membahayakan kesehatan dimana sudah menyebar lintas wilayah atau lintas negara.

Wakil Ketua Fraksi PAN ini menambahkan, dalam UU itu dijelaskan ada tiga karantina, yaitu karantina rumah, karantina rumah sakit, dan karantina wilayah. Karantina rumah difokuskan untuk mengisolasi yang terinfeksi di suatu rumah tertentu dengan pengawasan ketat.

"Semua kebutuhannya dipenuhi, termasuk pengobatan dan para medisnya. Karantina rumah sakit juga begitu. Hanya saja dilakukan di rumah sakit. Mereka yang sedang dirawat mestinya dijaga sehingga tidak bisa keluar rumah sakit sampai lolos uji dan dinyatakan sembuh," kata dia, saat dihubungi, Senin (16/3).

Sementara itu, karantina wilayah ini lebih mirip dengan lockdown di luar negeri. Karantina wilayah memang agak sulit dilaksanakan. Karena itu perlu kajian akademis sebelum dilaksanakan.

Termasuk memikirkan agar semua kebutuhan pokok warga dapat dipenuhi selama dilaksanakannya karantina. Selain itu, mobilitas warga juga harus dikontrol. Jika tidak diperlukan, mereka tidak diperkenankan untuk keluar rumah dan meninggalkan area yang dikarantina.

"Sekolah dan kampus diliburkan, keramaian dan kerumunan dilarang, para pekerja diminta bekerja di rumah, produksi dan distribusi pangan harus dipastikan aman, aparat kepolisian dan TNI harus menjaga agar warga tertib dan mengikuti semua instruksi pemerintah. Tentu upaya-upaya pengetesan dan pengujian sampling harus tetap dilanjutkan. Termasuk pengobatan dan isolasi bagi mereka yang terinfeksi," jelas dia.

Kalaupun pemerintah belum memilih apakah karantina rumah, karantina rumah sakit, atau karantina wilayah, pihaknya tetap mendesak agar tindakan ke arah itu harus tetap dipersiapkan. "Apalagi saat ini sudah ada gugus tugas yang dibentuk. Gugus tugas ini diharapkan dapat melibatkan para ahli dan akademisi untuk menentukan tindakan dan langkah yang terbaik yang harus dilakukan," tegasnya.

 

Simak Video Menarik Berikut Ini:

UU No. 6 tentang Kekarantinaan Kesehatan

Mengintip Ruang Isolasi Pasien Virus Corona di RSUP Persahabatan
Aktivitas tim medis saat menangani pasien dalam pengawasan (PDP) virus corona atau COVID-19 di ruang isolasi Gedung Pinere, RSUP Persahabatan, Jakarta Timur, Rabu (4/3/2020). Sebanyak 10 dari 31 pasien yang dipantau dan diawasi RSUP Persahabatan merupakan pasien rujukan. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Selain karantina, UU No. 6 tentang Kekarantinaan Kesehatan juga memberikan alternatif untuk melakukan pembatasan sosial. Walaupun mirip dengan karantina, tetapi pembatasan sosial terkesan tidak begitu ketat. Bedanya, pembatasan sosial kelihatannya lebih pada upaya membatasi orang-orang melakukan pertemuan dalam skala besar. Termasuk agenda-agenda sosial keagamaan, keumatan, kepemudaan, olah raga, tempat rekreasi, dan pusat-pusat perbelanjaan.

"Dari keempat alternatif itu, sejauh ini belum ada yang dilakukan secara baku. Kalaupun ada pembatasan sosial di daerah, itu justru lebih pada kebijakan kepala daerah. Ini yang mestinya disinergikan dengan kebijakan pemerintah pusat," tandasnya.

Wakil Ketua Fraksi PAN ini pun menyayangkan sikap rumah sakit persahabatan yang tidak segera melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap masyarakat yang dengan sadar datang untuk memeriksakan diri. Misalnya para pewarta istana.

Padahal pemeriksaan itu dinilai sangat penting mengingat mereka memiliki riwayat kontak dengan Budi Karya Sumadi, yang sudah dinyatakan positif Korona. Selain itu, pemeriksaan yang dimaksud juga sudah mendapat persetujuan dari jubir pemerintah, Achmad Yurianto.

"Wajar saja bila ada wartawan yang kecewa. Sebab, mereka sudah dengan sukarela mau memeriksakan diri. Itu artinya, ada kesadaran untuk melindungi diri dan orang lain," lanjut Saleh.

"Ini kan sudah sesuai prosedur yang berlaku. Setiap orang yang memiliki riwayat kontak harus segera diperiksa. Tidak boleh ditunda-tunda mengingat pergerakan virus corona dikenal sangat cepat," imbuhnya.

Dia memandang, ketidaksiapan rumah sakit persahabatan bisa jadi dianggap sebagai ketidaksiapan pemerintah. Jangankan untuk melacak dan memeriksa yang belum melapor, yang sudah melapor secara sukarela pun tidak bisa diperiksa. "Bagaimana dengan warga masyarakat lain yang jumlahnya sangat besar? Ini tidak bisa diangap main-main. Sangat perlu diseriusi," ungkapnya.

Dalam situasi seperti ini, tegas Saleh, pihak rumah sakit diharapkan dapat menyiagakan para dokter dan tenaga medis lainnya. Dengan begitu, masyarakat tetap dapat dilayani meskipun di masa libur. Ini tentu sangat penting untuk diperhatikan dan diprioritaskan.

"Virus kan tidak ada liburnya. Akan tetap bergerak dan berkembang. Jika tidak diantisipasi, bisa menjangkiti banyak orang," ujar dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya