Liputan6.com, Jakarta Sebuah survei baru-baru ini mengidentifikasi potensi gejala COVID-19 jangka panjang yang sebelumnya belum pernah dilaporkan, termasuk rambut rontok.
Penelitian ini dilakukan oleh seorang dokter dari Indiana University School of Medicine dan kelompok penyintas COVID-19 dari kelompok Survivor Corps dengan media polling (jajak pendapat) di Facebook.
Baca Juga
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) telah mengidentifikasi 17 gejala COVID-19 yang persisten. Survei yang tim ini lakukan memiliki responden lebih dari 1500 pasien dan menemukan 98 gejala yang memungkinkan, menurut Dr. Natalie Lambert, seorang profesor peneliti di Indiana University school of medicine.
Advertisement
Adapun gejala baru yang diidentifikasi oleh mereka yaitu nyeri saraf yang parah, sulit berkonsentrasi, sulit tidur, penglihatan kabur dan kerontokan rambut, papar Lambert dalam sebuah pernyataan tertulis.
Ditambah gejala yang diidentifikasi CDC berupa demam atau meriang, atuk, sesak napas, kelelahan, nyeri otot atau tubuh, sakit kepala, kehilangan indera pengecap dan penciuman, sakit tenggorokan, hidung tersumbat atau pilek, mual atau muntah dan diare yang mungkin muncul antara 2-14 hari setelah terpapar virus.
Menurut survei, terdapat lebih dari seperempat gejala yang dilaporkan (26,5%) menyakitkan. Itupun termasuk gejala yang sama yang diidentifikasi oleh CDC, ditambah mulas, nyeri punggung dan nyeri dada.
Gejala sisanya tidak menimbulkan rasa sakit, misalnya rambut rontok, yang hampir sepertiga responden mengalaminya. Adapun gejala lain pada survei yang diisi responden diantaranya adalah masalah ingatan, kecemasan, pusing dan penglihatan kabur.
Â
Simak Video Berikut Ini:
75 persen pasien kehilangan rambut
Salah satu anggota kelompok yang mengatakan dia mengontrak COVID-19 pada awal April memperkirakan ia kehilangan 75% rambutnya dan menulis bahwa ia berencana menggunakan wig.
"Wajah saya sudah terlihat lebih tua sejak tertular virus tetapi saya masih ulet. Aku tidak yakin apakah rambutku akan kembali sama," tulisnya.
American Academy of Dermatology juga melacak "manifestasi dermatologis" dari virus corona dan telah memperingatkan gejala ruam atau "COVID toes" (jari kaki COVID) yang bengkak dan berubah warna.
Dr. Esther Freeman, dermatolog yang juga meneliti COVID-19 mengatakan kepada Today.com bahwa ia dan timnya juga melihat peningkatan jumlah kasus kerontokan rambut.
Adapun penjelasan ilmiah terkait rambut rontok, biasanya dikaitkan dengan suatu kondisi yang disebut telogen effluvium. Yaitu kondisi yang menyebabkan orang yang mengalami penyakit stres atau peristiwa kehidupan lainnya terlimpahkan pada kerontokan rambut. Menurut Freeman, rambut rontok Telogen effluvium biasanya dimulai sekitar tiga bulan setelah peristiwa yang membuat stres, yang jika terjadi pada situasi saat ini, bertepatan dengan puncak pandemi.
Sementara masih banyak yang harus dipelajari tentang COVID-19, banyak anggota dari Survivor Corps telah melaporkan kesulitan dalam mendapatkan bantuan dari dokter mereka untuk mengelola gejala virus corona yang kurang umum.
Sementara Facebook biasanya tidak digunakan sebagai dasar untuk studi medis, Lambert mengatakan kelompok Survivor Corps bermanfaat untuk pengalaman crowdsourcing.
“Sampai ada lebih banyak penelitian yang membantu kita memahami mengapa gejala jangka panjang ini terjadi dan bagaimana cara mengobatinya, ribuan pengangkut (penyakit) jangka panjang akan terus menderita di rumah; baik dari gejala COVID-19 yang menyakitkan dan ketidakpastian tentang kapan mereka akan merasa sehat kembali."
Advertisement