Mengapa Pengembangan Vaksin COVID-19 Bisa Lebih Cepat Dari yang Lainnya?

Cepatnya pengembangan vaksin COVID-19 adalah permintaan WHO demi menyudahi pandemi Virus Corona

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 03 Feb 2021, 14:06 WIB
Diterbitkan 03 Feb 2021, 14:06 WIB
Kusnandi Rusmil
Ketua Tim Peneliti Vaksin Covid-19 Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Kusnandi Rusmil. (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Liputan6.com, Jakarta - Peneliti Utama Uji Klinis Vaksin COVID-19Ā Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Prof Kusnandi Rusmil, mengatakan bahwa proses pengembangan vaksin COVID-19 cenderung lebih cepat dari vaksin-vaksin lain.

Menurut Kusnandi, sebetulnya proses uji klinisĀ vaksin COVID-19 belum selesai, tapi vaksin ini sudah bisa digunakan karena alasan darurat.

"Karena pandemi, WHO minta dipercepat agar vaksin bisa digunakan secepatnya. Walau vaksin belum selesai tapi ada Emergency Use Authorization (EUA),ā€ kata Kusnandi dalamĀ webinarĀ Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada Rabu, 3 Februari 2021.

EUA adalah otorisasi penggunaan darurat yang dikeluarkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)Ā gunaĀ memercepat izin penggunaan vaksin. EUA hanya bisa dikeluarkan dalam kondisi-kondisi darurat seperti pandemi COVID-19 sekarang ini.

Walau demikian, bukan berarti pengembangan vaksin COVID-19 ini dilakukan secara sembarangan. Tahapan demi tahapan dilakukan sesuai prosedur, katanya.

Kusnandi, menjelaskan,Ā uji klinis vaksin CoronaĀ terbagi dalam tiga tahap yakni uji laboratorium pada hewan atau uji praklinis, uji klinis (uji pada manusia), serta tahap persetujuan dan lisensi.

Pengujian pada hewan dilakukan untuk melihat respons imun, menentukan dosis yang aman saat uji klinis, dan mencoba ketahanan hewan post imunisasi terhadap infeksi penyakit.

ā€œUji klinis ini dilakukan pada kera yang kemudian disuntik intravena. Kita lihat jaringan di paru-paru, otak, dan sebagainya. Kalau pada hewan tidak terjadi apa-apa maka dilanjutkan dengan uji klinis pada manusia,ā€ ujar Kusnandi.

Dalam proses pembuatan vaksinĀ baru, kesulitan tidak hanya ditemukan dalam menemukan antigen yang sesuai tapi juga sulit menemukan komponen lain. Proses manufacturing uji klinis dan regulasi juga sangat rumit dan sulit, tambah Kusnandi.

Ā 

Ā 

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Simak Video Berikut Ini

Pengembangan Vaksin pada Umumnya

Biasanya, lanjut Kusnandi, pengembangan vaksin dapat berlangsung selama 10 hingga 15 tahun. Mulai dari tahap eksploratori di laboratorium yang memakan waktuĀ dua hinggaĀ empat tahun. Dilanjutkan dengan tahap praklinis pada tikus atau kera selamaĀ satu hingga dua tahun.

Belum lagi tahap klinis yang terdiri dari tiga fase. YakniĀ Fase I yang memakan waktuĀ satu hinggaĀ dua tahun,Ā Fase II selama dua tahun, danĀ Fase IIIĀ selama tiga sampaiĀ empatĀ tahun.

PadaĀ Fase I dilakukan penyuntikan pada sukarelawan. Standar relawan sehat yang perlu disuntik adalah 20 hingga 80 orang. Fase II mirip denganĀ Fase I, tapi jumlah sampel lebih banyak hingga ratusan orang.

Fase kedua dilakukan untuk menilai keamanan, imunogenitas, dosis yang akan digunakan, jadwal pemberian, dan cara penyuntikan vaksin.

SedangkanĀ Fase III adalah uji klinis yang lebih besar. Dilakukan untuk menilai keamanan dan efikasi secara luas, melihat efek samping yang lebih jarang, dan sampel bisa mencapai ribuan hingga puluhan ribu orang.

Infografis Negara Pertama Suntik Vaksin COVID-19, Inggris atau China?

Infografis Negara Pertama Suntik Vaksin Covid-19, Inggris atau China? (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Negara Pertama Suntik Vaksin Covid-19, Inggris atau China? (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya