Liputan6.com, Jakarta - BRIN melalui PRBM Eijkman terus mengembangkan vaksin Merah Putih sebagai karya anak bangsa. Periset PRBM Eijkman Brin Tedjo Sasmono menyampaikan, vaksin Merah Putih yang dikembangkan Eijkman BRIN menggunakan platform protein rekombinan yang diproduksi pada sel ragi maupun sel mamalia.
"Seed vaksin Merah Putih yang kami kembangkan berhasil mengekspresikan protein RBD di yeast baik pada skala flask (labu) maupun pada skala bioreaktor di fasilitas milik mitra industri, Bio Farma. Selain itu, seed vaksin Merah Putih Eijkman juga mampu menghasilkan protein RDB-Delta dengan yield yang tinggi dan mudah untuk dipurifikasi," jelas Tedjo, dikutip dari laman resmi BRIN.
Baca Juga
Pengembangan vaksin Merah Putih Eijkman baik yang diekspresikan di sel yeast maupun sel mamalia berhasil mendapatkan seed vaksin yang sudah memenuhi standar industri. Saat ini, seed (bibit) vaksin Merah Putih Eijkman sudah dalam tahap hilirisasi industri di Bio Farma. Diharapkan, vaksin Merah Putih bisa diproses untuk uji pra klinik dan uji klinik dalam beberapa bulan ke depan.
Advertisement
Dengan jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 272 juta jiwa tentu Indonesia tak bisa selamanya bergantung pada vaksin COVID-19 buatan luar negeri. Kegiatan vaksinasi booster pun membuat kebutuhan vaksin COVID-19 di Tanah Air semakin besar. Karenanya penting untuk dapat memproduksi vaksin COVID-19 secara mandiri.
Plt Kepala Pusat Riset Biologi Molekuler (PRBM) Eijkman BRIN Wien Kusharyoto mengatakan, vaksinasi booster mampu mengurangi risiko infeksi yang diakibatkan oleh varian Omicron.
“Peningkatan jumlah kasus terinfeksi COVID-19 yang disebabkan varian Omicron sudah mencapai lebih dari 80%. Varian Omicron juga menunjukkan sekitar 5x lebih tinggi risiko terinfeksi kembali jika dibandingkan dengan varian Delta. Oleh karena itu muncul wacana pemberian vaksin booster yang juga telah dilaksanakan. Pemberian vaksin booster di negara-negara maju terbukti efektif mengurangi angka rawat inap di rumah sakit sebesar 89%,” ujar Wien dalam acara Talk to Scientist, Rabu (26/1).
Memerlukan Proses hingga Belasan Tahun
Proses pengembangan vaksin memang memakan waktu, bahkan bisa hingga belasan tahun lamanya, seperti disampaikan periset dari Laboratorium Terapeutik dan Vaksin Pusat Riset Bioteknologi Andri Wardiana.
"Ada hal-hal yang dapat memperlambat setiap tahap pengembangan vaksin ini, termasuk adanya asesmen terhadap risiko ekonomi. Namun untuk vaksin SARS-Cov-2 ini pengembangannya dimungkinkan lebih cepat dikarenakan menggunakan data virus yang sudah ada sebelumnya seperti SARS-Cov dan MERS-Cov,” jelas Andri dalam seminar daring Riset Pengembangan Vaksin COVID-19 untuk Indonesia Tumbuh Bersama Bangkit Perkasa pekan lalu.
Tidak hanya membutuhkan waktu yang cukup lama, Andri juga menyampaikan bahwa transisi riset dari laboratorium ke produksi skala besar serta harus terpenuhinya regulasi dalam setiap tahapan menjadi tantangan tersendiri dalam pengembangan vaksin.
Advertisement