Liputan6.com, Jakarta Hasil penelitian Vaksin Nusantara yang diprakarsai mentan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Terawan Agus Putranto terkuak dalam jurnal berjudul, Dendritic cell vaccine as a potential strategy to end the COVID-19 pandemic. Why should it be Ex Vivo?
Jurnal di atas tidak menyebut secara jelas penggunaan kata, 'Vaksin Nusantara' melainkan memakai kata, 'vaksin sel dendritik' (dendritic cell vaccine). Disebutkan dalam jurnal, vaksin berbasis sel dendritik adalah salah satu kandidat vaksin yang kandidat karena berperan dalam membentuk kekebalan dari COVID-19.
Baca Juga
Penggunaan sel dendritik biasanya dikembangkan untuk terapi kanker dan kronis infeksi virus. Vaksin berbasis sel dendritik adalah vaksin baru yang pendekatan. Studi vaksin sel dendritik pada kanker pasien yang telah dilakukan sampai saat ini menunjukkan hasil yang menjanjikan.
Advertisement
Sebagaimana jurnal yang diperoleh Health Liputan6.com, ditulis Minggu (29/5/2022) dijelaskan beberapa alasan untuk mengembangkan vaksin berbasis sel dendritik dalam pencegahan COVID-19. Pertama, virus SARS-CoV-2 menjadikan sel dendritik sebagai target vaksinasi yang tepat.
Selain itu, stimulasi DC menghasilkan respons yang kuat terhadap kinerja sel T untuk melawan virus. Respons sel T terhadap SARS-CoV-2 bertahan lebih lama. Menariknya, penelitian tentang SARS-CoV menunjukkan bahwa respons memori sel T terhadap virus dapat bertahan hingga 17 tahun setelah infeksi.
Dalam jurnal Vaksin Nusantara yang dipublikasikan di Taylor and Francis Online tertanggal 18 Mei 2022, vaksin berbasis sel dendritik mungkin menimbulkan respons sel T yang protektif terhadap infeksi.
Tidak seperti antibodi penetralisir, yang diperkirakan akan berkurang, beberapa temuan menunjukkan bahwa respons sel T dapat dipertahankan untuk waktu yang lama, bahkan bertahun-tahun.
Pada kasus ini, dosis booster mungkin hanya perlu diberikan setelah waktu yang lama waktu, dan bahkan mungkin tidak diperlukan. Oleh karena itu, vaksin berbasis sel dendritik dapat menjadi cara untuk memeroleh kekebalan jangka panjang, demikian tulis tim peneliti yang terdiri atas Jonny Jonny, Terawan Agus Putranto, Enda Cindylosa Sitepu, dan Raoulian Irfon.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Efek Merespons Kekebalan
Kedua, vaksin sel dendritik juga dapat menyebabkan efek kekebalan yang lebih luas. Bukti menunjukkan bahwa memori sel T tetap efektif terhadap varian virus Corona. Vaksin berbasis sel dendritik dapat menimbulkan respons kekebalan.
Selain itu, dapat memicu pembentukan respons germinal center (GC) untuk membentuk sel B yang dapat mengenali varian virus. Sel dendritik menginduksi--merespons pembentukan kekebalan. Dengan demikian, vaksin berbasis sel dendritik sangat cocok untuk memerangi virus dengan mutasi tinggi tingkat seperti SARS-CoV-2 penyebab COVID-19.
Ketiga, ketika respons imun bawaan tidak dapat menghancurkan antigen, tubuh mengaktifkan respons imun adaptif. Imunitas adaptif bergantung pada antigen. Hal ini dapat menginduksi memori imunologi yang menyebabkan lebih cepat reaksi terhadap paparan ulang antigen.
Antigen yang dimaksud adalah racun atau zat asing lainnya yang menginduksi respons imun dalam tubuh, terutama produksi antibodi. Penting untuk dicatat bahwa penelitian terbaru telah menemukan bahwa memori imunologis dapat juga terjadi pada kekebalan bawaan sampai batas tertentu.
Kunci untuk imunitas adaptif adalah pengenalan antigen dan pemberian Antigen Presenting Cells (APCs). APC merangsang reseptor spesifik pada sel T dan sel B. Dibandingkan dengan APC lain, sel dendritik lebih kuat dalam menginduksi sel T. Oleh karena itu, sel dendritik adalah APC paling penting yang menjembatani respons imun bawaan.
Advertisement
Biaya Produksi Tinggi
Fakta keempat soal Vaksin Nusantara berbasis sel dendritik dari sisi penargetan secara proses ex vivo (proses di luar tubuh). Dalam pendekatan ex vivo, sel dendritik disuntikkan kembali ke dalam tubuh individu. Vaksin ini bersifat spesifik dan individual.
Meskipun masih ada eksperimental, pendekatan ini juga sedang dikembangkan untuk vaksinasi SARS-CoV-2. Beberapa studi vaksin sel dendritik yang memasuki uji klinis menggunakan ex vivo.
Beberapa penelitian menggunakan sel dendritik yang dihasilkan ex vivo untuk terapi infeksi. Pendekatan ini sebagian besar dikembangkan untuk imunoterapi infeksi kronis seperti HIV-1, Hepatitis B, Hepatitis C, dan HSV (herpes).
Kelima, metode ex vivo vaksin berbasis sel dendritik untuk pencegahan infeksi virus dianggap tidak dapat dibenarkan karena tingginya biaya produksi.
Namun, pada kasus COVID-19, tujuan mengembangkan pendekatan ini masih memerlukan analisis biaya manfaat yang komprehensif, tulis peneliti.
Potensi dalam menginduksi kekebalan jangka panjang dan luas oleh vaksin berbasis sel dendritik mungkin menghilangkan kebutuhan terhadap vaksin booster, sehingga dalam jangka panjang total biaya produksi dan distribusi vaksin sel dendritik yang dihasilkan ex vivo dapat dibandingkan dengan vaksin konvensional.
Butuh SDM yang Terlatih
Keenam, aspek lain yang harus diperhatikan adalah kelayakan distribusi yang luas karena fakta bahwa produksi vaksin sel dendritik membutuhkan staf yang sangat terlatih. Peneliti menekankan, vaksin ini dibuat di tempat perawatan seperti rumah sakit dan laboratorium medis dapat menjadi solusi praktis.
Kesimpulannya, biaya dan keterbatasan dari pendekatan ex vivo tidak boleh membatasi potensi manfaat Lebih lanjut, dalam konteks vaksin SARS-CoV-2, dunia berpacu dengan waktu. Oleh karena itu, ex vivo saat ini merupakan metode yang tepat.
Kami telah menjelaskan bahwa sel dendritik memainkan peran penting dalam imunitas bawaan dan adaptif. Vaksin sel dendritik dengan pendekatan ex vivo dapat menghasilkan hasil klinis yang lebih baik, tulis peneliti.
Di sini, kami telah menguraikan alasan untuk mengembangkan berbasis sel dendritik untuk pencegahan COVID-19. Meskipun terutama dikembangkan untuk pengobatan kanker dan infeksi kronis, metode ini dapat juga diperluas untuk pencegahan infeksi SARS-CoV-2.
Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa vaksin berbasis sel dendritik dapat menginduksi kekebalan terhadap infeksi virus melalui aktivasi kekebalan sel T.
Menariknya, ketika sistem kekebalan terganggu seperti pada infeksi HIV, vaksin sel dendritik masih mampu menginduksi respons sel T, sehingga, ada kemungkinan vaksin sel dendritik akan tetap efektif untuk orang dengan kekebalan yang lebih lemah, seperti anak-anak, orang tua, dan orang dengan penyakit kronis, demikian pandangan dari tim Vaksin Nusantara dalam jurnal internasional ini.
Advertisement