Liputan6.com, Jakarta Polusi udara Jakarta terus menjadi sorotan karena dianggap memiliki kualitas udara terburuk di dunia yang bisa memicu batuk atau gangguan pernapasan.
Per 15 Agustus, hari ini, perusahaan teknologi berbasis di Swiss, IQAir bahkan melaporkan kualitas udara di Jakarta terburuk ketiga setelah Baghdad, Iraq dan Dhaka, Banglades.
Baca Juga
Guru Besar FKUI sekaligus Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Prof Tjandra Yoga Aditama mengatakan, dampak polusi udara pada kesehatan adalah penyakit infeksi akut seperti ISPA dalam bentuk radang tenggorok, bronkitis, hingga perburukan penyakit kronik.
Advertisement
"Misalnya seseorang yang memang punya asma akan lebih mudah dapat serangan asma kambuh, begitu juga pasien PPOK (penyakit paru obstruktif kronik) akan lebih mungkin eksaserbasi akut," katanya dalam keterangan tertulis, Selasa (15/8/2023).
Tetapi kenyataannya polusi udara akan berfluktuasi, kadang-kadang buruk dan lalu membaik, ujarnya.
Dampak Polusi Udara pada Kesehatan
Jadi dampak terjadinya penyakit paru kronik sampai mungkin kanker paru dll bukanlah terjadi akibat polusi udara yang memburuk hanya dalam beberapa hari/minggu saja seperti sekarang ini," jelasnya.
Lantas bagaimana bila gejala batuk dan ISPA akibat polusi muncul?
Prof Tjandra menyarankan untuk masyarakat untuk banyak minum. "Karena akan mengencerkan dahak sehingga mudah dikeluarkan dan jalan napas jadi bersih.
Selebihnya, jika ingin konsumsi obat batuk yang dijual bebas maka ingat ada 3 jenisnya:
1. Pengencer dahak (mukolitik),
2. Pengeluar dahak (ekspektoran)Â
3. Penekan batuk kering (antitusif).
"Pilihlah sesuai kebutuhan. Kalau dahak berwarna kuning atau hijau maka itu menunjukkan adanya tanda radang / infeksi," katanya.
Sementara kalau batuk disertai keluhan sesak, atau setidaknya napas berat, maka mungkin diperlukan pelega napas (bronkodilator).
"Kalau keluhan batuk berkepanjangan maka segera berkonsultasi ke petugas kesehatan," tegasnya.
Â
Cara Mengatasi ISPA
Gangguan pernapasan ISPA juga dapat terjadi akibat polusi udara. Prof Tjandra mengungkapkan, ISPA atau Infeksi Saluran Pernasan Atas sebagian besar disebabkan oleh virus jadi tidak memerlukan antibiotika.
"Cukup obat simtomatik (sesuai gejala), diet yang baik dan istirahat. Tentu kalau ISPA tidak kunjung membaik maka (pada sebagian kecil kasus) dapat berkembang menjadi infeksi yang lebih berat, sampai ke pneumonia dll," jelasnya.
Â
Â
Â
Advertisement
Yang Perlu Dilakukan
Prof Tjandra pun tiga hal yang perlu dilakukan masyarakat sehubungan dengan sedang tingginya kadar polutan di udara.
1. Sedapat mungkin membatasi aktifitas fisik berat di daerah dimana polusi udara memang sedang tinggi, misalnya di jalan macet dll.
"Tentu hal ini tidak mudah dilakukan, tetapi setidaknya perlu jadi perhatian kalau dimungkinkan. Ada juga pertanyaan tentang masker. Tentu masker tidak sepenuhnya dapat mencegah polutan udara masuk ke paru, tetapi setidaknya dapat membantu, selain juga mencegah penularan penyakit lain," jelasnya.
Ada juga pertanyaan tentang alat air purifier. Menurut Prof Tjandra, hal ini tentunya perlu bukti ilmiah yang valid dulu, juga akan tergantung dari seberapa besar polusi udara di dalam ruangannya, bagaimana ventilasi ruangan itu dll.
"Sehingga jangan cepat mengambil kesimpulan sebelum ada data ilmiah yang jelas," katanya.
2. Untuk warga masyarakat yang punya penyakit kronik pernapasan dll maka kalau memang selama ini ada obat yang harus rutin dikonsumsi maka ingatlah untuk mengkonsumsinya sesuai aturan yang ada.
"Kalau ada perburukan dan keluhan tambahan (serangan asma misalnya) maka segera berkonsultasi ke petugas kesehatan, atau setidaknya gunakan obat yang memang sudah dianjurkan untuk mengatasi perburukan keluhan," ujar prof Tjandra.
Selain itu, dengan sedang adanya polutan di udara maka jangan tambah polusi lain masuk ke paru dan saluran napas kita, seperti janganlah merokok dan jangan membakar, serta upayakan jangan melakukan kegiatan yang menambah polusi udara di sekitar kita, pungkasnya.