Kasus Infeksi Akibat Bakteri 'Pemakan Daging' Melanda Jepang, Sudah Sampai Indonesia? Ini Kata Kemenkes

STSS adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus pyogenes kelompok A. Bakteri tersebut mendapat julukan "Pemakan daging".

oleh Dyah Puspita Wisnuwardani diperbarui 27 Jun 2024, 12:00 WIB
Diterbitkan 27 Jun 2024, 12:00 WIB
Bakteri pemakan daging Pseudomonas-aeruginosa (CDC)
Bakteri pemakan daging Pseudomonas-aeruginosa (CDC)

Liputan6.com, Jakarta - Infeksi yang disebabkan bakteri "pemakan daging" tengah melanda Jepang. Kasus sindrom syok toksik streptokokus (STSS) di negara tersebut telah lebih dari 1.000 sehingga menjadi perhatian global.

STSS adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus pyogenes kelompok A. Bakteri tersebut mendapat julukan "pemakan daging" karena bsia menghancurkan kulit, lemak, dan jaringan di sekitar otot dalam waktu singkat. Penularannya terjadi melalui pernapasan dan droplet (percikan ludah atau lendir) dari penderita.

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik dr Siti Nadia Tarmizi mengatakan, sampai saat ini belum ada laporan kasus tersebut di Indonesia.

"Kalau sampai saat ini di Indonesia belum ada laporan ya untuk kasus bakteri “pemakan daging," ujar Siti Nadia, dikutip laman Sehatnegeriku.

Meski demikian, Nadia mengatakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes ) terus memantau situasi melalui surveilans sentinel influenza like ilness (ILI) - Severe Acute Respiratory Infection (SARI) dan pemeriksaaan genomik.

Kasus STSS yang dilaporkan di Jepang, umumnya kasus di rumah sakit yang disebabkan bakteri streptokokus yang biasanya muncul dengan gejala faringitis atau peradangan pada tenggorokan atau faring.

Infeksi STSS bisa berakibat fatal karena pasien dapat mengalami sepsis dan gagal multiorgan. Namun, penyebabnya secara pasti masih belum diketahui karena gejala STSS biasanya ringan dan dapat sembuh dengan sendirinya dalam waktu singkat.

 

Penularan STSS Lebih Rendah dari COVID-19

Jepang telah melaporkan kasus infeksi streptokokus dalam sistem notifikasi surveilans sejak 1999. Pada 2023, terdapat 941 kasus, dan angka ini meningkat menjadi 977 kasus pada Juni 2024.

Meski mengkhawatirkan, tingkat penyebaran STSS jauh lebih rendah dibandingkan dengan COVID-19. Masyarakat diimbau agar tetap menernapkan perilaku hidup sehat, menggunakan masker ketika sakit, dan membiasakan rutin mencuci tangan.

"Yang paling penting saat ini, kebiasaan baik yang sudah terbentuk di masa pandemi COVID-19 terus dijalankan seperti cuci tangan pakai sabun dan memakai masker, sehingga meminimalisir perpindahan droplet lewat pernafasan” kata Nadia.

 

Tidak Ada Pembatasan Perjalanan dari dan ke Jepang

Selain itu, terkait STSS, hingga saat ini juga tidak ada pembatasan perjalanan dari dan ke Jepang.

Berdasarkan laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait peningkatan kasus iGAS atau invasive Group A Streptococcal disease, termasuk STSS, di Eropa pada Desember 2022, tidak ada rekomendasi pembatasan perjalanan ke negara-negara yang terdampak.

Pengobatan STSS dilakukan dengan pemberian antibiotik. Hingga saat ini, belum ada vaksin khusus untuk mencegah infeksi bakteri “pemakan daging” ini.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya